Review Buku "Emotionally Healthy Spirituality": Menyembuhkan Luka, Menemukan Kedalaman

ORBITINDONESIA.COM - Buku Emotionally Healthy Spirituality karya Peter Scazzero mengajak kita untuk melihat sisi terdalam dari kehidupan spiritual yang sering diabaikan: kesehatan emosional.

Scazzero menekankan bahwa tidak ada kedewasaan rohani tanpa kedewasaan emosional.

Banyak orang berusaha menjadi “rohani” dengan doa, ibadah, atau pelayanan, tetapi masih terjebak dalam kemarahan, kepahitan, dan luka batin yang tidak pernah disembuhkan.

Inilah yang disebutnya sebagai paradoks kehidupan beragama: tampak saleh di luar, tetapi rapuh di dalam.

Scazzero berbicara dari pengalaman pribadinya. Ia seorang pendeta yang sibuk dengan pelayanan, tetapi rumah tangganya hampir runtuh.

Krisis ini membuka matanya bahwa spiritualitas yang sejati bukanlah pelarian dari emosi, melainkan keberanian untuk menghadapi emosi apa adanya.

Dari sinilah lahir gagasan bahwa pertumbuhan rohani harus berjalan seiring dengan penyembuhan emosional.

Salah satu gagasan penting adalah tentang mengenali luka masa lalu.

Scazzero menulis bahwa banyak orang beriman hidup dengan pola emosi yang diwarisi dari keluarga atau masa lalunya. Luka itu sering ditekan, dianggap tidak rohani, bahkan ditutupi dengan ayat-ayat.

Padahal, selama luka itu tidak dihadapi, ia tetap mengendalikan cara kita mencintai, mengampuni, atau melayani.

Spiritualitas yang sehat berarti berani masuk ke dalam “ruang gelap” diri, menghadapinya dengan jujur, lalu membiarkan kasih Tuhan menyembuhkannya.

Bagian menarik lain adalah tentang keheningan dan keterbatasan. Dalam budaya modern yang sibuk, banyak orang menilai kedekatan dengan Tuhan dari seberapa banyak aktivitas rohani yang dilakukan.

Scazzero justru menekankan disiplin keheningan, doa kontemplatif, dan penerimaan akan keterbatasan.

Ia percaya, dalam keheningan kita menemukan wajah sejati diri, dan dalam menerima keterbatasan kita belajar merendahkan ego. Spiritualitas bukan tentang produktivitas, tetapi tentang kehadiran penuh.

Scazzero juga menguraikan tujuh jalan menuju spiritualitas yang sehat secara emosional. D

i antaranya: menghadapi emosi dengan jujur, menembus lapisan kepalsuan diri, menghargai ritme sabat dan istirahat, serta belajar dari “kegelapan” atau penderitaan.

Salah satu yang paling kuat adalah dorongan untuk menerima penderitaan sebagai bagian dari perjalanan rohani. Penderitaan bukan kegagalan iman, melainkan ruang di mana kita bisa menemukan kedalaman dan kelembutan.

Pesan utama buku ini jelas: spiritualitas sejati tidak bisa dipisahkan dari kemanusiaan.

Menjadi rohani bukan berarti menolak emosi, melainkan merangkulnya dengan kasih. Menjadi dewasa secara spiritual berarti berani jujur pada diri sendiri, menyembuhkan luka lama, dan hidup dengan kesadaran penuh.

Kekuatan Emotionally Healthy Spirituality terletak pada kejujurannya.

Scazzero tidak berbicara dari menara gading, melainkan dari luka yang pernah ia alami. Buku ini terasa membumi, sederhana, tetapi penuh kedalaman.

Ia menolong pembaca untuk berhenti berpura-pura, lalu berjalan pelan dalam perjalanan iman yang lebih nyata.

Membaca buku ini seperti bercermin: kita diajak melihat sisi rapuh yang sering kita sembunyikan, tetapi justru di sanalah letak pertumbuhan.

Spiritualitas yang sehat secara emosional bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang keberanian untuk jujur, menerima, dan terus bertumbuh.***