Review Buku "When Things Fall APart" Karya Pem Chordron
ORBITINDONESIA.COM - Buku When Things Fall Apart karya Pema Chödrön lahir dari pengalaman hidup yang penuh luka dan pergulatan.
Pema, seorang biksuni Buddhis, menulis buku ini bukan dari ruang teoritis, tetapi dari pergumulan batin menghadapi ketakutan, kehilangan, dan rasa hancur.
Pesannya sederhana namun mendalam: penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup, dan jalan keluar bukanlah menghindar, melainkan hadir penuh di tengah rasa sakit itu.
Pema menekankan bahwa kita sering kali mencari kontrol atas hidup.
Kita ingin segala sesuatu berjalan sesuai rencana, kita ingin aman, kita ingin terbebas dari sakit hati. Namun kenyataan selalu membawa hal-hal di luar kendali.
Kehilangan orang yang dicintai, kegagalan, penyakit, atau perubahan besar sering membuat kita runtuh.
Di titik inilah, kata Pema, kita diundang untuk melihat kerapuhan bukan sebagai musuh, melainkan sebagai guru.
Salah satu gagasan penting adalah leaning into pain — keberanian untuk mendekat pada penderitaan alih-alih lari darinya.
Bagi Pema, menghindar hanya memperpanjang luka, sementara menghadapi rasa sakit dengan penuh kesadaran justru membuka pintu penyembuhan.
Ia mengajak pembaca untuk melihat ketakutan, kemarahan, dan rasa hampa tanpa penolakan. Ketika kita hadir, bahkan dalam rasa sakit, kita menemukan kebebasan yang lebih dalam.
Pema juga menyoroti konsep groundlessness, yaitu kenyataan bahwa hidup ini sebenarnya tidak pernah stabil. Kita terbiasa mencari pegangan: pekerjaan, status, identitas, bahkan keyakinan.
Tapi semua itu rapuh dan bisa runtuh kapan saja. Kesadaran akan ketidakpastian bukanlah kabar buruk, melainkan jalan untuk hidup lebih jujur.
Saat kita tidak lagi terikat pada kepastian palsu, kita belajar melepaskan, dan di situlah kita menemukan kedamaian.
Bagian lain yang kuat adalah ajakan untuk berbelas kasih, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Pema menekankan bahwa rasa sakit yang kita alami tidak hanya milik pribadi, tetapi juga bagian dari penderitaan universal manusia.
Saat kita bisa menerima rasa sakit sendiri, kita menjadi lebih mampu hadir bagi orang lain. Welas asih lahir dari keberanian untuk melihat luka, bukan dari penyangkalan.
Kekuatan buku ini terletak pada gaya Pema yang lembut, jujur, dan praktis. Ia tidak menawarkan solusi instan, tidak juga janji kosong.
Ia hanya menunjukkan jalan: duduk bersama rasa sakit, menerima ketidakpastian, dan melatih hati untuk terbuka.
Meski lahir dari tradisi Buddhis, pesan buku ini bersifat universal dan bisa menyentuh siapa saja yang sedang bergulat dengan kehilangan atau krisis.
When Things Fall Apart bukan sekadar buku tentang bertahan. Ia adalah undangan untuk melihat kejatuhan sebagai pintu menuju kebijaksanaan. Pema mengingatkan bahwa justru di saat semua runtuh, kita berkesempatan menemukan siapa diri kita sebenarnya.
Buku ini adalah teman bagi siapa saja yang merasa hancur. Ia tidak menghakimi, tidak menggurui, hanya menemani dengan kelembutan.
Membacanya seperti mendengar suara bijak yang berbisik: “Tidak apa-apa. Rasakan saja. Dari sini, kamu bisa tumbuh.”***