Menjawab Kritik: Program Sosial Sebagai Investasi Jangka Panjang
Oleh Trubus Rahardiansah*
ORBITINDONESIA.COM - Aliansi Ekonom Indonesia pada 9 September 2025 merilis "Tujuh Desakan Darurat Ekonomi" yang menyoroti kualitas pertumbuhan, perlambatan upah riil, serta risiko fiskal dari sejumlah program sosial pemerintah.
Kritik ini perlu diapresiasi sebagai bagian dari masukan publik dalam perumusan kebijakan. Namun, untuk menghasilkan kebijakan yang tepat, penting juga melihat konteks dan bukti secara menyeluruh dari sisi kebijakan publik agar masyarakat memperoleh gambaran yang utuh.
Lasswell (1951) mengajarkan bahwa kebijakan publik pada akhirnya menentukan "siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana."
Sejak 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil di angka 5 persen. Namun, peningkatan ini belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat. Upah riil hanya naik sekitar 1,2 persen, dan sebagian besar, sekitar 80 persen, penciptaan lapangan kerja selama 2018–2024 terjadi di sektor informal dengan upah di bawah UMR.
Artinya, policy problem yang dihadapi adalah kesenjangan antara laju pertumbuhan dan manfaat nyata yang diterima masyarakat. Dengan 7 juta penganggur, 11 juta setengah pengangguran, dan 34 juta pekerja paruh waktu, fokus kebijakan perlu diarahkan pada penciptaan kerja formal yang layak.
Agenda Presiden Prabowo yang menekankan peningkatan kualitas SDM dan perluasan lapangan kerja formal merupakan respons kebijakan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Mandat politik dari 58 persen pemilih pada Pilpres 2024 telah diterjemahkan ke dalam kebijakan melalui UU RPJPN dan Perpres RPJMN.
Menilai kebijakan ini sebagai “tidak berbasis bukti teknokratis” justru mengabaikan proses kebijakan yang menggabungkan legitimasi demokratis dan pertimbangan teknis. Dalam kerangka policy process ala Easton, input politik yang sah telah diolah menjadi output kebijakan yang terstruktur.
Salah satu poin dalam rilis "Tujuh Desakan Darurat Ekonomi" yang menyoroti kualitas pertumbuhan, cukup menarik untuk dikaji. Aliansi ekonom menyinggung alokasi Rp1.414 triliun atau 37,4 persen APBN 2026 untuk makan bergizi gratis (MBG), hilirisasi, subsidi energi, dan Koperasi Desa Merah Putih yang disebut sebagai program populis yang mengorbankan pendidikan, kesehatan, serta tenaga medis dan guru.
Sejatinya, jika dikaji lebih jauh, program-program semacam itulah yang justru menopang langsung kualitas sumberdaya manusia. MBG di Jepang, Inggris, hingga India misalnya, mampu memperbaiki capaian belajar dan kesehatan anak sekolah, yang ujungnya menaikkan peluang kerja formal.
Studi data Indonesian Family Life Survey (IFLS) menunjukkan, dalam rentang waktu 1993 - 2014, sekitar 64 persen anak dari keluarga miskin tetap berada dalam kategori miskin. Artinya ada perangkap kemiskinan yang diturunkan (intergenerational poverty).
Sekolah Rakyat menargetkan anak-anak dari desil 1 dan 2, yaitu anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Baru di sana mereka merasakan punya kasur sendiri, makan tiga kali sehari, meja belajar, bahkan laptop.
Di banyak negara, sekolah berasrama untuk desil 1 dan desil 2 terbukti mengeluarkan mereka dari perangkap kemiskinan yang diturunkan, karena lulusan Sekolah Rakyat punya kans lebih tinggi untuk mendapatkan pekerjaan formal.
Desain ini sejalan dengan human development approach ala Amartya Sen: memperluas kapabilitas agar anak-anak bisa memilih masa depan yang lebih baik.
Kedua program ini boleh dibilang merupakan investasi sosial jangka panjang. Program-program tersebut juga sejauh ini tidak mengganggu fiskal karena defisit APBN masih aman di bawah 3 persen.
Menciptakan nilai publik
Dalam pendekatan public value governance (Stoker, 2019), pemerintah tidak hanya menjaga efisiensi pasar, tetapi juga menciptakan nilai publik. MBG adalah contoh kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) yang telah diterapkan di berbagai negara.
Di Indonesia, MBG tidak hanya meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi juga menciptakan co-benefits ekonomi: 1,6 juta pekerjaan formal di dapur, 3 juta di rantai pasok, serta pasar baru untuk 40 juta pekerja pertanian. Ini sejalan dengan kerangka policy integration yang menghubungkan sektor pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan.
Desain kebijakan yang baik membutuhkan waktu untuk menunjukkan hasil. Membatalkan program di tengah jalan justru berisiko menghilangkan potensi dampak jangka panjang. Program seperti MBG dan Sekolah Rakyat bukan sekadar bantuan sosial, tetapi fondasi strategis untuk membangun ekonomi yang inklusif, berkeadilan, dan berketahanan.
Keberlanjutan program menjadi penting. Rancangan kebijakan yang baik harus dijalankan cukup lama agar memberikan hasil yang terukur. Membatalkan program di tengah jalan justru menghilangkan peluang dampak jangka panjang.
Menggunakan kerangka kebijakan publik, program-program sosial yang dijalankan Pemerintahan Prabowo saat ini telah memenuhi tiga elemen penting: selaras dengan policy mandate (legitimasi politik), policy design (dirancang berdasarkan bukti), dan policy outcome yang diharapkan adalah meningkatkan kualitas SDM dan penciptaan lapangan kerja formal.
Kualitas pertumbuhan ekonomi memang perlu diperbaiki. Namun, jalannya bukan dengan menunda investasi sosial, melainkan dengan mempercepat agenda yang menghubungkan pendidikan, gizi, dan pekerjaan formal.
Kualitas pertumbuhan justru akan tercapai bila program-program sosial seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Sekolah Rakyat diteruskan sebagai fondasi peningkatan SDM dan lapangan kerja.
Kritik adalah bagian dari proses demokrasi, tetapi mari melihat secara proporsional: program sosial adalah pondasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkeadilan, dan berketahanan.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas memang tujuan kita. Tapi jalannya bukan dengan mundur dari program sosial, melainkan dengan berani melanjutkannya agar manfaatnya makin luas.
Kritik boleh, tapi mari jernih menilai: program sosial bukan batu sandungan, melainkan fondasi untuk ekonomi Indonesia yang merata, adil, dan tahan guncangan.
*Trubus Rahardiansah adalah pakar kebijakan publik Universitas Trisakti. ***