Supriyanto Martosuwito: Robert Redford Dalam Kenangan Jurnalis
Oleh Supriyanto Martosuwito, wartawan senior
ORBITINDONESIA.COM - Bagi saya, dan bagi banyak penonton era 1980 - '90an, Robert Redford adalah pintu menuju dunia film yang lebih besar. Ia adalah Woodward muda dalam "All the President’s Men" (1976), sosok jurnalis yang dengan tekad dan kesunyian menguak skandal politik terbesar abad ke-20.
Film ini masuk Indonesia pertengahan 1980an - bukan sekadar drama investigasi, thriller politik, film ini adalah penghormatan pada jurnalisme, keberanian, dan demokrasi—dan Redford ada di pusatnya.
Diadaptasi dari buku karya dua jurnalis "The Washington Post" (1974) Bob Woodward dan Carl Bernstein, "All the President's Men" mengobarkan keyakinan saya - sebagai jurnalis muda pada masa itu - bahwa pers punya kekuatan menumbangkan tirani.
Redford bukan hanya bintang utama dalam film ini - duet dengan Dustin Hoffman - melainkan juga produser eksekutif . Redford ikut memastikan akurasi sinema bisa berdiri di garis depan sejarah dengan menciptakan penggambaran jurnalisme yang realistis. Juga mencerminkan perhatian aktor tersebut di luar layar terhadap penyebab politik.
Film tersebut mendapatkan delapan (nominasi Academy Award, termasuk untuk Film Terbaik dan Sutradara Terbaik (Alan J. Pakula ), sambil memenangkan Skenario Terbaik (Goldman). Film tersebut memenangkan Penghargaan Kritikus Film New York untuk Film Terbaik dan Sutradara Terbaik.
Tanpa "All the President’s Men", mungkin generasi saya tak pernah merasakan denyut sejarah Watergate dengan begitu nyata.
Hingga kini, film itu masih menjadi acuan bagaimana sinema bisa menjadi saksi sekaligus penggerak sejarah.
Lalu ada "Out of Africa" (1985), di mana Redford berpasangan dengan Meryl Streep. Di Afrika, di antara lanskap megah dan musik melankolis, Redford menjadi simbol cinta yang rapuh namun abadi. Siapa yang bisa melupakan adegan ikonik ketika ia mencuci rambut Streep di tepi sungai? Itu bukan hanya romantisme, melainkan catatan visual tentang kolonialisme, kerinduan, dan benturan budaya. Film itu adalah dokumen emosional tentang sebuah zaman yang berakhir.
Tentu tak terlupakan juga duet romantis sebelumnya dengan Barbara Streisand dalam film "The Way We Were" (1973)
Namun Redford bukan hanya aktor. Dan bukan hanya wajah tampan. Debutnya sebagai sutradara dalam "Ordinary People" (1980) langsung memberinya Oscar. Film itu adalah kisah keluarga Amerika yang retak—dokumen kecil tentang bagaimana duka bisa merobek rumah tangga modern. Ia melanjutkan dengan "A River Runs Through It dan Quiz Show", karya-karya yang merekam sisi lain sejarah Amerika: keluarga, moralitas, dan kerapuhan manusia.
Lebih dari itu, Redford meninggalkan jejak monumental melalui 'Sundance Institute dan Sundance Film Festival'. Ia membuka jalan bagi sineas independen, mereka yang kisahnya sering ditolak studio besar. Sundance menjadi ruang sejarah lain: dokumentasi tentang bagaimana film independen bisa mengubah wacana budaya, sosial, bahkan politik.
Berkat Redford, dunia mengenal sutradara-sutradara muda yang kemudian menjadi arus utama, tetapi tetap membawa semangat independen.
Di luar film, Redford juga seorang aktivis lingkungan. Ia memperjuangkan bumi sebagaimana ia memperjuangkan seni: dengan tekun, dengan keyakinan bahwa generasi mendatang berhak atas keindahan dan keadilan. Ia mengikat seni, sejarah, dan lingkungan dalam satu simpul yang tak terpisahkan.
Yang membuat Redford semakin istimewa adalah integritas pribadinya. Di dunia Hollywood yang sering tercoreng skandal, gosip, dan sensasi murahan, Redford berdiri tegak sebagai sosok yang relatif bersih.
Tidak ada catatan mabuk pesta yang memalukan, tidak ada kabar aib yang menenggelamkan prestasi.
Kehidupan pribadinya tentu tidak steril dari duka—ia kehilangan dua putranya, Scott di usia bayi dan James pada 2020—tetapi ia menjalani semuanya dengan ketenangan yang membuatnya dihormati. Ia membuktikan bahwa bintang film bisa bersinar tanpa harus terbakar oleh lampu sorot media.
Penghargaan datang silih berganti: Oscar, Golden Globes, Oscar Kehormatan, hingga Presidential Medal of Freedom. Tetapi penghargaan terbesar baginya mungkin adalah keyakinan bahwa film bisa menjadi dokumen hidup.
Dari Robert Redford saya disadarkan bahwa layar lebar bisa merekam sejarah sekaligus mengguncangnya.
Bahwa seorang aktor tidak berhenti pada wajah tampan, melainkan pada makna yang ia wariskan.
Pada 16 September 2025, di Sundance, Utah, Redford menutup usianya pada 89 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, tetapi juga warisan panjang: film-film yang jadi dokumen sejarah, festival yang jadi rumah kreativitas, dan integritas yang membuatnya begitu berbeda dari banyak bintang lain di Hollywood.
Dunia kehilangan Robert Redford bukan sekadar sebagai bintang, sebagai aktor, melainkan sebagai ikon budaya, sebuah wajah yang melampaui ketampanan, dan sebuah jiwa yang membuat film lebih dari sekadar hiburan.
"All the President’s Men" akan selalu jadi pengingat betapa pentingnya kebenaran.
"Out of Africa" akan selalu jadi pengingat bahwa cinta dan sejarah saling bertaut.
"Sundance Film Festival" akan selalu hidup sebagai bukti bahwa seorang aktor tampan bisa juga menjadi bapak spiritual sinema independen dunia.
Selamat Jalan sang Legenda! Damai di alam keabadian. ***