Puisi Esai Denny JA: Hari Itu Affan Kurniawan Tak Lagi Pulang ke Rumah

15 Puisi Esai Soal Aksi Protes dan Kerusuhan Agustus-September 2025 (1)

Oleh Denny JA

(Seorang pengemudi ojol bernama Affan Kurniawan wafat digilas mobil polisi dalam aksi protes di Jakarta, Agustus 2025. Ia memicu gelombang besar demonstrasi dan kerusuhan di 107 titik, di 32 provinsi Indonesia.)

Siang turun membawa tirai hitam,
menutup matahari Jakarta dengan kabut getir.

Di ruang tamu yang remang,
seorang ibu duduk membeku—
patung duka yang kehilangan suaranya.

Nasi di meja telah dingin,
sendok dan piring membatu.
Jam dinding berdetak menjadi palu hakim,
namun pintu tak kunjung diketuk.

“Affan janjinya pulang satu jam lalu…”
bisiknya lirih,
jari gemetar mengusap layar ponsel.

Pesan terakhir masih tertera:
“Bu, doa ya, semoga orderan hari ini lancar.”

Anak yang ia tunggu
ternyata terbaring di jalan protokol.
Helm hijaunya pecah.
Bendera sobek terinjak di sampingnya.

Darah meresap ke aspal, bercampur keresahan,
menciptakan peta negeri yang menangis.

“Kenapa ia harus di sana, ya Tuhan?”
monolog sang ibu melayang,
menjadi asap dupa yang hilang tertiup angin.

-000-

Affan bukan aktivis.
Ia hanya pengantar makanan—
anak yang ingin menebus obat ibunya,
membayar sekolah adiknya,
menambal lubang hidup
yang selalu bocor di tiap sudut.

Namun sejarah menjemputnya hari itu.
Aksi protes lahir dari perut rakyat yang lapar.
Harga kebutuhan pokok melambung,
sementara pekerjaan menjauh seperti bayangan.

Mahasiswa dan buruh turun ke jalan.
Suara mereka sederhana:
agar negeri ini adil,
agar pesta di gedung parlemen
tidak disulut dari lapar di rumah-rumah sempit.

Jakarta mendidih siang itu.
Gas air mata meledak, sirene meraung.
Orang-orang berlari.

Di pusaran ricuh itu,
seorang anak muda bernama Affan Kurniawan,
yang hanya sedang mencari nafkah,
ditelan arus sejarah yang tak pernah ia pilih.

Hidupnya direnggut
secepat api melahap kertas kering.

-000-

Video tubuh Affan beredar seperti kilat.
Jutaan mata menatap layar,
menyaksikan bunga muda dipetik paksa
di antara sirene dan gas air mata.

Komentar deras mengalir:
“Martir jalan raya.”
“Korban negeri yang gagal menjaga anak mudanya.”

Namun bagi ibunya,
Affan bukan martir.
Ia anak sulung yang suka bercanda,
yang menyisihkan uang tips
untuk menolong keluarga.

Malam berkabung berubah jadi hujan batu.
Ibunya memeluk jasad Affan, berbisik:

“Anakku, pulanglah dalam damai.
Engkau tumbuh dalam kesulitan,
namun pergi dalam cahaya
yang tak bisa dipadamkan.”

-000-

Affan tak lahir untuk jadi pahlawan.
Namun sistem yang timpang
mengangkatnya ke panggung sejarah.

Ia martir sederhana,
anak muda 21 tahun
yang hanya ingin hidup biasa.

Musim sudah berganti.
Tapi kota masih berbau gas air mata.  

Di antara reruntuhan spanduk dan batu berserak,  
sebuah nama terus tumbuh dari bibir rakyat: Affan.  

Ia hidup kembali dan dihidupkan lagi,
dalam seruan,  
dalam mitos,
dalam slogan,
bukan hanya sebagai korban,  
tetapi sebagai gema nurani  
yang menolak dilupakan.

Seorang penyair membayangkan apa yang tersisa:

Di sudut kamar Affan, seragam ojol masih tergantung—
keringat dan debu jalanan melekat di serat kain.

Di laci, ada daftar hutang yang belum terlunasi:
"Obat Ibu: 3 juta. Sekolah Adik: 5 juta..." 

Angka-angka itu kini menjadi nisan kedua, 
terukir di nadi zaman yang tak mau berhitung.

Sejarah mencatat.
Malam itu,
bukan hanya seorang ibu kehilangan anaknya.

Tetapi juga sebuah negara,
yang dipaksa bercermin—
dan mendapati wajahnya sendiri
retak seperti kaca jendela
dihantam batu,
pantulan yang hancur
namun tetap menatap balik
kepada kita semua.*


Jakarta, 28 September 2025

Catatan:
[1] BBC, “Pengemudi ojol Affan Kurniawan disebut ‘martir demokrasi’
https://www.bbc.com

-000-

Banyak puisi esai dan ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1GJU8Hz8cn/?mibextid=wwXIfr ***