DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Titik Balik Pendeta dan Bambu Gila, Konflik Maluku 1999-2002

image
Titik Balik Pendeta dan bambu Gila, Konflik Maluku 1999-2022.

Oleh: Denny JA

ORBITINDONESIA - Kembali terbangun pendeta itu.

Pukul 2.00, dini hari.

Pendeta tak nyenyak tidur.

Seminggu sudah.

Bangun dua- tiga kali dalam satu malam.

 

Doa diulang-ulang.

“Maafkan aku, Ya Tuhan.

Jika tindakanku salah,

hukumlah aku.

Kuterima semua.

Tunjukan aku jalan yang benar.”

 

Rasa sesal menggantung di langit-langit kamar.

Rasa salah menempel di bohlam lampu, di kaca jendela, hingga di dinding- dinding ruang itu.

Air mata pendeta mengaliri ubin- ubin di sana.

Baca Juga: Majma'al Bahrain dan Kepemimpinan Magis

Berita itu memukulnya.

Teramat keras.

Satu keluarga muslim di Maluku, sebanyak enam orang, mati dibantai. (1)

 

Ribuan korban memang telah mati.

Konflik di Maluku bertambah gila.

Laskar Kristus versus Laskar Jihad menjelma sekawanan harimau lapar.

Memangsa siapa saja yang bukan sekawanan.

 

Tapi, dibantainya satu keluarga muslim, suami-istri dan anak-anaknya, keenam-enamnya mati, itu puncak kegilaan.

 

Sayup terdengar, yang membantai mereka kelompok mawar.

Kelompok ini datang pada pendeta seminggu lalu.

Baca Juga: Bersuami Baba Arab, TKW Asal Madura Ini Berubah Jadi Madam Arab yang Dimanja Belanja  

Mereka bercerita dengan menangis.

“Pak pendeta, Ayah saya dibunuh. Padahal ia sudah tua renta. Mereka kejam sekali. Ibu saya trauma. Hingga kini diam, tak bisa bicara.”

 

Ada yang pamannya diparang mati di jalan.

Ada anaknya yang ditembak di kepala.

Ada yang gerejanya dibakar.

 

Mereka ketakutan.

Tak percaya diri.

Baca Juga: Piala Presiden: Meskipun Hanya Runner Up, Borneo FC Meraih Banyak Gelar

Pendeta menguatkan hati.

Doa bersama dilakukan.

Ujar pendeta: “membela diri,

membela agama, memperkuat gereja, itu perang suci.”

 

Robert nama pendeta itu.

Pendeta memberikan arahan.

“Kontak tokoh ini.

Ia akan memberi kalian senjata,

membela diri.

Membela agama.

Mempertahankan gereja.”

 

Pendeta memberi mereka bunga mawar.

Ini simbol keberanian.

Simbol kesucian.

Pendeta menamakan mereka kelompok mawar.

 

Sentuhan pendeta menjadi mantra.

Semut tumbuh menjadi gajah.

Mereka merasakan.

Kekuatan surga masuk dalam jiwa.

Mereka berteriak semangat:

“Haleluya! Haleluya!

Puji Tuhan!”

Baca Juga: Koentjoro Soeparno: Hasrat, Keinginan, Niat, Adalah Sumber Kehidupan yang Terdalam 

Tak pendeta duga.

Kelompok mawar kerasukan.

Mereka tak hanya bela diri.

Mereka menyerang.

Buas.

Liar.

Satu kelurga muslim dibantai.

Tiada sisa.

Semua mati.

 

“Ampun Tuhan, ampun Tuhan.

Bukan itu maksud beta.

Ampuuuuuuunnn.

 

Pendeta menangis meraung.

Dicium salip itu.

 

-000-

 

Tahun 2001,

Maluku bertambah gila.

Puluhan Mesjid dirusak.

Puluhan Gereja dibakar.

Ribuan Muslim dibunuh.

Ribuan Kristen dibantai.

Baca Juga: Koentjoro Soeparno: Hasrat, Keinginan, Niat, Adalah Sumber Kehidupan yang Terdalam

Anak- anak usia 10-13 tahun.

Mereka sudah membawa parang.

Mereka sudah pula membunuh.

 

Konflik meluas, tak hanya di Ambon, tapi menjalar ke semua pulau di Maluku.

Tak hanya di kota,

Tapi juga di desa.

 

Burung- burung kematian terbang di langit Maluku.

Setan dan iblis keluar dari neraka, menyerbu dan masuk ke tubuh para pembunuh yang merasa pejuang.

 

Darah mengalir dari parang dan kapak.

Amarah berbicara lewat tombak, panah, pisau, senapan dan bazoka.

Baca Juga: Sindung Tj: Pandemi Covid-19 Mematangkan Keaslian Manusia

Atas nama agama, atas nama kesucian, mereka cekik leher para bocah.

 

Allahu Akbar!

Lalu mereka membunuh.

Haleluya!

Lalu mereka membantai.

 

Di Maluku, dikenal Bambu Gila.

Itu tradisi sejak ribuan tahun lalu.

Ketika itu, Maluku menganut animisme.

 

Sepotong bambu, sepanjang dua setengah meter.

Diameter bambu 8 centimeter.

Tujuh lelaki kuat memegang itu bambu.

Kemenyanpun dibakar.

Seorang pawang membaca mantra.

Baca Juga: Berkah Perhutanan Sosial 

Abakadabra!

Bambu itu bergerak.

Berputar kanan dan berputar ke kiri.

Tujuh lelaki itu susah payah.

Tak kuasa menahan gerak bambu.

 

Roh bambu hanya berhenti.

Pawang menghentikannya.

 

Kini bambu gila itu menjelma dalam jiwa orang-orang Maluku.

Semua tak kuasa.

Bambu gila rajanya.

Rakyat banyak hambanya.

 

Bedanya, ini bambu gila menyuruh:

Bunuh!

Habisi!

Bantai!

Tembak!

Panah!

Parang!

Tusuk!

Baca Juga: Ungkit Khashoggi, Presiden Biden Tepis Anggapan Dirinya Tidak Menyalahkan Saudi

Dan,

tak ada pawang menghentikannya.

 

-000-

 

Satu hari Pendeta Robert mendengar kabar.

Itu yang membuatnya riang.

Upaya damai di Maluku dimulai.

 

Laskar Kristus, Laskar Jihad berjumpa di Malino, Sulawesi Selatan.

Pemerintah Pusat berinisiasi.

Senjata harus diserahkan.

 

Ada yang membuat pendeta Robert lebih senang.

Persahabatan Pendeta Jack Manuputty dan Ustad Abidin Wakano (2)

Baca Juga: HYOLYN Eks SISTAR Rilis Potret Terbaru Jelang Rilis Album iCE, Intip Potretnya di Sini

Mereka menjadi wakil masing-masing komunitas.

Kristen dan Muslim bersaudara.

Mereka bergerak dari masyarakat,

untuk masyarakat,

melalui masyarakat.

 

Mereka pertemukan kembali dua komunitas.

Komunitas Kristen mereka bawa berjumpa dan hidup dalam komunitas Muslim.

Komunitas Muslim mereka ajak datang dan hidup dalam komunitas Kristen.

 

Itu dua bocah dulu menjadi tentara.

Mereka juga berperang.

Kecil-kecil sudah membunuh.

Baca Juga: Daftar 30 Besar Indeks Reputasi Idol Girlband Kpop Dirilis, Arin Oh My Girl Urutan Teratas

Dari Kristen bernama

Ronald Regang.

Dari Islam bernama Iskandar Slameth.

 

Ronald baru berusia 10 tahun ketika ia masuk medan tempur.

Iskandar berusia 13 tahun ketika bergabung laskar Jihad.

 

Kini Ronald dan Iskandar bersahabat.

Mereka diangkat duta perdamaian. (3)

Mereka aktif, mengajak yang lain, menjadi provokator damai.

 

Pendeta Robert merenung.

“Apakah aku menjadi Judas Iscariot, yang menghianati Jesus, jika aku tak lagi mendorong komunitas Kristen untuk perang?

Baca Juga: Slamet Subekti: Menyikapi Perang Rusia vs Ukraina, Kita Perlu Konsisten dengan Prinsip Pancasila

“Apakah aku berkhianat jika kini bukan hanya komunitas Kristen, tapi juga komunitas Muslim yang aku lindungi?”

 

“Mereka semua putra-putri Maluku.

Mereka semua manusia,

punya rasa takut yang sama,

punya amarah yang sama,

Menyimpan cinta yang sama.”

 

-000-

 

Pendeta Robert berada pada titik balik.

Ia tak hanya menyimpan salib dan Injil.

Tasbih dan Alquran juga tersedia di meja kamarnya.

Ia akan pelajari.

 

Ia terima itu risiko.

Acapkali salah dimengerti.

Oleh komunitas Kristen,

ia dianggap berkurang militansinya membela gereja.

Oleh komunitas Islam,

ia dianggap mempelajari Islam, agar lebih mudah mengubah orang Islam menjadi Kristen.

Baca Juga: 10 Link Twibbon Bertema MPLS untuk SD, SMP, dan SMA, Desain Keren dan Kekinian

Tahun 2002,

Maluku masih rentan,

walau perjanjian damai sudah diterima.

Perang terbuka bisa pecah lagi.

 

Tapi ini pendeta Robert yang berbeda.

Ia lahir kembali.

Sinar datang entah darimana.

Hatinya berdebar,

tapi menyala api yang lain.

 

Sore itu, pendeta Robert lepaskan sepasang merpati, terbang ke langit Maluku.

Malaikat pembawa damai turun dari surga,

menyertai sepasang merpati,

menyebarkan kembali

benih cinta di Ambon.

Benih damai di Maluku. ***

 

Juli 2022

 

CATATAN

1. Satu keluarga Muslim, enam orang, dibantai mati dalam konflik Maluku. Hal yang sama terjadi dalam komunitas Kristen.

https://media.isnet.org/kmi/ambon/Gatra01.html

2. Persahabatan pendeta Jacky Manuputty dan Ustad Abidin Makano membawa spirit baru perdamaian di Maluku

https://www.cnnindonesia.com › pro...'Provokator' Perdamaian dari Ambon

3. Dua tentara anak dari kristen dan islam kini bersahabat menjadi duta perdamaian.

https://news.okezone.com/amp/2018/05/05/340/1894773/kisah-persahabatan-pendeta-dan-ustad-bawa-mantan-tentara-anak-ambon-jadi-duta-perdamaian

 

-000-

 

#Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku dayak versus madura di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang Bali dan penduduk Asli di Lampung (2012).

Berita Terkait