Podcast Bisa Menjadi Produk Jurnalistik tapi Tidak Otomatis, Pembicaranya Tidak Kebal Hukum
ORBITINDONESIA.COM - Apakah Podcast itu produk jurnalistik? Apakah pembicara di podcast bebas dari tuntutan hukum? Jika ada tuntutan hukum, dia bisa berlindung di bawah UU kebebasan pers?
Pertanyaan ini menarik, karena menyentuh wilayah abu-abu antara karya jurnalistik dan konten kreatif.
Secara umum: Podcast tidak otomatis produk jurnalistik. Bentuknya hanyalah medium—seperti kertas bagi surat kabar atau layar bagi TV. Yang menentukan sifat jurnalistiknya adalah proses dan tujuan produksi:
Apakah ada verifikasi fakta, rencana liputan, dan tanggung jawab redaksional? Apakah ada struktur kerja redaksi atau kode etik yang diacu?
Kalau iya, podcast itu bisa dikategorikan sebagai produk jurnalistik (misalnya The Daily dari New York Times). Tapi kalau sekadar obrolan, curhat, atau opini tanpa proses jurnalistik, maka tidak.
Kebebasan berpendapat ≠ kebebasan dari tanggung jawab hukum
Pembicara di podcast tidak otomatis bebas dari tuntutan hukum. Jika dalam podcast ada unsur fitnah, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, atau penyebaran hoaks, maka bisa diproses dengan hukum umum (KUHP, UU ITE, dll).
Perlindungan UU Pers hanya berlaku bagi pekerjaan jurnalistik sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 UU No. 40 Tahun 1999: kegiatan mencari, memperoleh, mengolah, dan menyebarluaskan informasi yang memenuhi prinsip-prinsip jurnalistik.
Untuk bisa berlindung di bawah UU Pers, pembuat podcast harus dapat membuktikan bahwa:
a) kegiatannya merupakan kerja jurnalistik,
b) medianya berbadan hukum pers,
c) tunduk pada Kode Etik Jurnalistik dan mekanisme Dewan Pers.
Jika tidak, maka ia tidak bisa menggunakan “kebebasan pers” sebagai tameng hukum.
Jadi ringkasnya:
*Podcast bisa menjadi produk jurnalistik, tapi tidak otomatis.
*Pembicara podcast tidak kebal hukum.
*Perlindungan UU Pers hanya berlaku untuk konten yang memenuhi syarat kerja jurnalistik dan berada di bawah lembaga pers yang diakui.***