Amidhan Shaberah: Neraka Kelaparan di Gaza
Oleh Dr. KH Amidhan Shaberah
Ketua MUI 1995 -2015/Komnas HAM 2002-2007
ORBITINDONESIA.COM - Jalan-jalan di Gaza kini bukan lagi tempat orang berjalan, melainkan arena penderitaan. Tubuh-tubuh kurus berkeliaran tanpa arah, seolah kehilangan makna hidup. Namun tujuan mereka sesungguhnya sederhana: mencari sekotong roti dan seteguk air.
Selama dua tahun perang tanpa henti, Jalur Gaza menjelma jadi neraka kelaparan. Di wilayah sempit yang hanya seluas setengah Jakarta itu, sekitar dua juta jiwa kini hidup dalam kelaparan dan keputusasaan.
Israel menjadikan kelaparan sebagai senjata perang. Sebuah bentuk genosida yang perlahan tapi pasti menggerogoti tubuh dan jiwa rakyat Palestina.
Mencari Air di Antara Reruntuhan
Setiap pagi, Umm Mohammed, ibu lima anak berusia 40 tahun, berjalan menembus debu reruntuhan menuju dapur umum di Kota Gaza. Di tangannya, sebuah jeriken kosong. Harapannya cuma satu: menemukan air minum.
“Kadang kami hanya dapat, satu kali makan sehari. Sedikit nasi dan roti keras. Tidak cukup untuk mengenyangkan perut anak-anak,” ujarnya lirih. Rumah dan toko kelontong milik suaminya telah rata dengan tanah akibat bom Israel. Kini, keluarga itu hidup di tenda pengungsian, bertahan dari bantuan kemanusiaan yang semakin langka.
Air hampir mustahil didapat. Pipa saluran air dihancurkan, pusat pengolahan air minum dibom, dan air tanah sudah tercemar. Gaza tercekik blokade total. Truk bantuan dari luar ditahan di perbatasan, dan yang berhasil masuk sering dijarah oleh kelompok bersenjata atau berhenti karena serangan udara.
“Bantuan sering kali tidak pernah sampai kepada orang-orang yang paling membutuhkan,” kata Umm Mohammed. “Kami seperti dibiarkan mati perlahan.”
Fase Keamanan Pangan (IPC), lembaga global yang memantau krisis pangan dunia, melaporkan bahwa lebih dari setengah juta warga Gaza kini berada di fase kelaparan akut. Jika situasi tak berubah, angka itu bisa melonjak hingga 1,78 juta orang—nyaris 90 persen penduduk Gaza.
Yang paling menderita adalah anak-anak. Sekitar 132 ribu balita diperkirakan mengalami malnutrisi akut hingga pertengahan 2026.
Namun pemerintah Israel menolak laporan itu. “Tidak ada kelaparan di Gaza,” kata Kementerian Luar Negeri Israel dalam pernyataannya. Israel mengklaim telah mengizinkan lebih dari 100 ribu truk bantuan masuk sejak perang dimulai. Tapi realitas di lapangan bercerita lain.
Omar Hashem, pemuda 23 tahun dari kamp pengungsi Khan Younis, adalah salah satu korban krisis ini. Ia memutuskan berjalan belasan kilometer ke Rafah, di dekat perbatasan Mesir, demi mencari gandum untuk keluarganya.
“Saya tahu itu berbahaya. Tapi persediaan makanan sudah habis. Kalau tidak keluar, kami semua akan mati kelaparan,” katanya kepada Tempo.
Pagi itu, ia bersama puluhan warga menunggu pos distribusi bantuan dibuka. Tapi yang datang bukan roti, melainkan peluru.
“Rasanya seperti gerbang neraka terbuka,” ujar Hashem. Sebuah peluru tank mendarat lima meter darinya, menewaskan banyak orang di sekitarnya.
“Bau darah dan mesiu memenuhi udara. Mayat-mayat berserakan. Saya tidak akan pernah lupa pemandangan itu.” Hashem selamat, tapi luka di tubuh dan hatinya sulit disembuhkan.
Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), tujuh warga Palestina tewas dalam serangan terhadap titik distribusi bantuan di Rafah pada 4 September 2025. Kantor HAM PBB (OHCHR) mencatat, lebih dari 1.300 warga Palestina terbunuh saat berusaha mencari makanan.
Apa yang terjadi di Gaza bukan sekadar efek samping perang, melainkan strategi sistematis. Kelaparan dijadikan alat penundukan. Dengan menghancurkan infrastruktur pangan dan menutup semua jalur bantuan, Israel menciptakan situasi di mana hidup dan mati rakyat Gaza tergantung pada izin mereka.
Gaza kini bukan lagi medan tempur, melainkan kuburan terbuka. Kota-kota menjadi puing, rumah sakit tak punya obat, anak-anak meninggal bukan karena bom, tapi karena lapar.
Dalam dua tahun perang, Kementerian Kesehatan Palestina mencatat lebih dari 65 ribu warga Gaza tewas, termasuk 18 ribu anak-anak. Angka itu bukan sekadar statistik; itu nama, wajah, dan cerita manusia yang dilenyapkan dari dunia tanpa kesempatan memilih.
Kini dunia menyaksikan tragedi kelaparan di Gaza itu, Tapi mereka diam!
Negara-negara besar berdebat soal diplomasi dan politik, sementara bayi-bayi Gaza menjerit tanpa susu, tanpa air, dan htanpa masa depan.
Gaza hari ini adalah cermin paling kejam dari wajah kemanusiaan global. Ketika kelaparan dijadikan senjata, dan dunia hanya menonton, maka yang mati bukan hanya rakyat Palestina—yang mati adalah nurani kita semua.
Neraka kelaparan di Gaza bukanlah sekadar tragedi lokal. Ia adalah ujian moral dunia modern: apakah kita masih manusia ketika melihat anak-anak kelaparan dan memilih diam? ***