Puisi Esai Denny JA: Ibu dan Janin Bayi Itu Pun Wafat Setelah Ditolak Empat Rumah Sakit
Sebuah Puisi Esai
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - (Irene Sokoy dan bayinya wafat karena tak satu pun rumah sakit membuka pintunya, di Papua, November 2025.
Puisi esai ini hanyalah fiksi, tapi nyeri yang menginspirasinya benar adanya. Nama disamarkan.) (1)
-000-
Pagi itu,
Kampung Hobong diselimuti napas embun,
Eva memandang bulan,
menggantung sunyi di balik jendela.
Eva tersenyum.
Seolah seluruh langit
menarik napas pelan,
bersiap membuka pintu
bagi cahaya kecil
yang kelak menyebutnya ibu.
Di tubuhnya,
janin memantul pelan,
sebuah matahari kecil
yang sedang mencari tanggal lahirnya sendiri.
Rumah itu,
sederhana tapi penuh doa,
sudah menyiapkan ruang untuk tawa baru.
Nama untuk sang bayi sudah dipilih;
kelambu sudah dicuci;
bahkan ibunya sempat bermimpi
tentang mata mungil yang akan selalu ditimang- timang.
-000-
Namun malam
berubah menjadi hutan gelap.
Kontraksi menghantam
bukan sebagai kabar bahagia,
melainkan sebagai lolongan
yang membuat tubuhnya bergetar.
Mereka bergegas
menembus gelapnya danau,
speedboat melajak tajam
dengan bunyi yang getir,
menjadi doa hening
yang sedang mencari langitnya.
Tiga puluh empat kilometer,
menuju rumah sakit.
Betapa jauhnya.
Ini bukan lagi perjalanan,
tetapi ujian terakhir
antara hidup dan nasib.
Saat tiba di rumah sakit,
yang datang bukan pertolongan,
melainkan kalimat kaku
yang mengeras menjadi kerikil
di dasar sungai:
“Maaf, kami tak mampu.
Silakan ke rumah sakit berikutnya.”
Air mata menetes,
tapi tak sempat jatuh ke tanah.
Perjalanan harus diteruskan,
ke rumah sakit lain.
Tapi rumah sakit lain menjawab dengan diam yang sama.
Susah payah,
Eva dipapah pergi ke rumah sakit lain lagi.
Rumah sakit itu sesak oleh angka-angka,
lebih sibuk menghitung uang, daripada detak nyawa.
Sementara napas Eva terseret pendek,
dan langkahnya gugur satu per satu,
lunglai menjadi daun yang kelelahan.
Pintu rumah sakit
menjadi gerbang besi tanpa hati,
menutup lagi,
menolak lagi,
mengusir lagi
dua nyawa yang hanya ingin disambut dunia.
-000-
Eva, dan kehidupan mungil yang ia bawa,
diredam menjadi data,
dicatat sebagai berkas tanpa wajah.
Satu cap menolaknya masuk,
satu surat rujukan membuangnya ke perjalanan baru.
Apakah rumah sakit ini setinggi istana,
hingga jeritan darurat tak sanggup menembus dindingnya?
Ataukah tubuh-tubuh yang menunggu itu
dianggap sekadar daun gugur,
tak cukup hijau
untuk menarik perhatian taman besar bernama layanan publik,
taman yang mengaku
tumbuh bagi siapa saja?
Di setiap rumah sakit,
alasan datang seperti ombak:
dokter menghilang, ruang tak bersisa.
Di dasar semuanya,
tersisa satu sunyi:
ketidakpedulian yang beku,
jauh, tak menyentuh.
-000-
Di dalam speedboat,
Eva menggenggam perutnya.
Bukan lagi karena sakit,
tapi karena ia ingin bayi itu tahu,
bahwa ibunya berjuang
di antara pintu-pintu yang menolak,
yang tak membuka diri.
“Nak, sabar ya nak.
Ibu terus berjuang.
Dunia akan menyambutmu.”
Namun malam itu,
ketika mesin speedboat memecah air,
pisau membelah kaca,
dua nyawa itu perlahan
menutup kisahnya sendiri.
Mereka wafat
bukan oleh penyakit,
melainkan oleh prosedur
yang lebih kuat dibandingkan cinta,
oleh birokrasi
yang lebih panjang ketimbang perjalanan mereka,
oleh ketidakmampuan administrasi
yang lebih dingin dibanding air danau beku malam itu.
-000-
Kematian Eva dan janinnya
menjadi cermin besar,
memantulkan wajah negeri,
yang masih mengukur manusia,
dari besarnya deposit,
bukan dari hak hidup.
Di atas tanah yang kaya emas,
tembaga, gas,
dan cerita purba,
mengapa seorang ibu
masih harus wafat?
Mengapa daun pintu rumah sakit itu
menjadi sekeras tutup peti mati,
hanya karena tangan yang mengetuk
tak menggenggam dana
yang dianggap layak?
-000-
Kisah Eva dan janinnya,
memaksa kita bertanya lebih pelan,
lebih jujur,
lebih dalam:
Jika rumah sakit bukan tempat mencari hidup,
harus ke mana seorang ibu berlari?
Jika rumah sakit tak hadir
di detik paling genting,
apakah ia benar-benar hadir
di detik lainnya?
Jika seorang bayi
tak diizinkan mencuri napas pertamanya
di negeri yang mengaku menjunjung kemanusiaan,
mungkin kita harus bertanya:
siapa yang sedang ditopang negara ini:
manusia, atau bayang-bayang kekuasaan?
Eva, melalui kematiannya,
telah menulis
sebuah puisi paling pedih
dari air danau Papua:
Bahwa kadang,
yang mematikan perlahan
bukan derita medis,
melainkan mesin administrasi
yang kehilangan denyut kasihnya.*
Jakarta, 24 November 2026
CATATAN
(1) Papua: Kematian ibu dan bayi di kandungan contoh 'bobroknya pelayanan kesehatan di Papua' - BBC News Indonesia
-000-
Berbagai puisi esai dan ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/1AQ9XEZdjg/?mibextid=wwXIfr