Blontank Poer: Heboh di PBNU dan Lain-lain, Semua kok Karena Jokowi?
Oleh Blontank Poer, jurnalis
ORBITINDONESIA.COM - Semua kok karena Jokowi?
Ketika risalah rapat harian Syuriah PBNU berisi keputusan agar Ketua Umum, Gus Yahya Staquf, mengundurkan diri beredar, publik langsung gaduh. Respons negatif bermunculan, sebagian menyerang Gus Yahya dengan berbagai tuduhan, termasuk soal “kemaruk harta” karena menerima konsesi tambang.
Serangan-serangan itu kemudian dikaitkan lagi dengan Pak Jokowi. Ada yang menyebut beliau sebagai “antek”, pengikut, bahkan sampai istilah-istilah yang lebih kasar.
Kasus kuota haji pun sama. Gus Yaqut ikut diseret dan dituding menerima aliran dana dari dugaan korupsi, lagi-lagi dikaitkan dengan Jokowi.
Lamanya Jenderal Listyo Sigit menjabat Kapolri, masih juga ditarik ke Jokowi. Pokoknya, apa pun yang tidak disukai, ujung-ujungnya dikaitkan dengan beliau. Yang lebih celaka, yang paling keras bersuara terlihat jelas sebagai “residu Pilpres”.
Bahkan kehadiran Wapres Gibran di KTT G20 sebagai utusan Presiden Prabowo pun dicari-cari kurangnya. Mulai dari membaca teks, dianggap tidak percaya diri, sampai kemampuan bahasa Inggris yang disindir “hanya sedikit lebih baik dari ayahnya”.
Semua kok serba Jokowi?
Padahal status sosial Pak Jokowi sekarang sama saja seperti kita: warga negara biasa. Soal masih dikawal Paspampres, itu bukan keistimewaan pribadi, melainkan penghormatan negara—yang juga diterima Pak SBY, Bu Mega, Bu Sinta, Pak Ma’ruf Amin, Pak JK, sampai Pak Try Sutrisno.
Yang justru menggelitik pikiran saya: Kenapa mereka tidak berani protes atau marah-marah kepada Pak Prabowo, yang jelas-jelas masih dekat dengan Pak Jokowi? Situ sehat?
Gus Yahya disudutkan habis-habisan dengan cap “antek rezim”, tapi tak satu pun berani menyentuh nama Pak Prabowo. Kenapa?
Padahal, kalau yang terpilih kemarin itu Ganjar atau Anies, Gus Yahya akan tetap bersikap sama: menghormati pemimpin yang terpilih secara sah. Itulah sikap dasar NU.
(Lagi pula, soal konsesi tambang, kenapa organisasi keagamaan lain yang dapat perlakuan sama tidak dipersoalkan?)
Kalau saya jadi Pak Jokowi, mungkin batas sabar sudah lewat sejak bertahun-tahun dihina, dicaci, dan diserang kehormatannya.
Andaikan beliau mau buka-bukaan soal borok elite partai dalam praktik bisnisnya, mungkin semua partai akan kelabakan. Baik partai koalisi maupun non-koalisi—kelakuannya sama.
Praktik patgulipat kekuasaan dan bisnis kotor sudah berlangsung sejak lama, sejak Indonesia merdeka. Itu fakta yang sulit dibantah.
Ambil contoh proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Kalau dibuka apa adanya, mungkin akan terlihat siapa saja tokoh yang “mengkapling” wilayah, membeli tanah saat banyak orang belum tahu, lalu menjualnya kembali ke konsorsium dengan harga berlipat. Yang dapat untung siapa? Jokowi?
Belum lagi politisi yang punya perusahaan “kosong”—hanya resepsionis di gedung besar, jadi kedok pencucian uang. Di Jakarta, bisnis seperti itu umum, konon jumlahnya banyak.
Sekitar setahun lalu saya pernah menghadap Pak Jokowi, yang saat itu sudah purnatugas. Saya menyampaikan dokumen capaian lembaga pencegahan kebocoran uang negara, sekaligus titipan pesan agar lembaga itu diperkuat Presiden Prabowo.
Tahun lalu, lebih dari Rp 1.000 triliun kebocoran berhasil dicegah. Sepertiganya bahkan berupa potensi pendapatan baru—selama ini tidak pernah ditarik karena aturan abu-abu atau tumpang tindih.
Saat saya jelaskan bahwa ini adalah salah satu legacy penting pemerintah sebelumnya, beliau tampak gembira. Dan komentarnya membuat saya tertegun:
“Ramai penangkapan lewat KPK, Polri, kejaksaan itu cuma dapat gemanya saja, Mas. Duit yang balik gak seberapa. Tidak signifikan.”
Beliau menambahkan: “Saya lebih senang kerja senyap seperti ini. Aturan dibuat ketat, semua patuh, kebocoran ditutup. Tidak perlu ribut-ribut. Hasilnya nyata.”
Saya percaya, apa yang dilakukan Gus Yahya kurang lebih sama dengan pendekatan Jokowi dulu—bedanya hanya lingkupnya. Yang satu memimpin negara, yang satu memimpin organisasi besar.
Soal tambang, banyak orang salah sangka. Mereka mengira konsesi berarti duit instan. Saya pernah sowan ke Gus Yahya karena ada teman didatangi dua orang yang sama-sama mengaku utusan beliau untuk minta dibuatkan rencana bisnis tambang.
Jawaban Gus Yahya kala itu: “Banyak yang ngamen ke mana-mana mengatasnamakan aku. Padahal aku masih pusing mikir mau dijalankan seperti apa, dengan siapa, dan sebesar apa manfaatnya untuk NU dan rakyat. Itu saja masih dalam kajian. Masa sudah ditawarkan ke mana-mana?”
Jawaban yang bikin saya lega, dan sekaligus menunjukkan betapa besar risiko pencatutan nama.
Baru memimpin organisasi sebesar NU saja repotnya luar biasa—apalagi memimpin negara.
Kepada Pak Jokowi, Mas Gibran, Gus Yahya, dan Gus Yaqut, saya tetap percaya dan menaruh hormat.
Kalau ada yang menyebut saya “antek rezim” atau “penjilat”, ya terserah. Tuduhan itu cuma kata-kata. Wong tidak dianggep saja mereka bisa stress sendiri, tiap hari hidup dari curiga dan prasangka.
Kasihan mereka yang berusaha menjauhkan Pak Jokowi dari Pak Prabowo, mengadu Gus Yahya dengan pemerintah, seolah ingin menimbulkan kerenggangan atau permusuhan—demi bisa “menggoyang” Pak Prabowo seperti dulu mereka pernah melengserkan Soekarno dan Gus Dur.
Tujuannya jelas. Pelakunya juga mudah ditebak. ***