Resensi Buku: A Nation in Waiting Karya Adam Schwarz: Potret Indonesia yang Menanti Takdir Sejarahnya

ORBITINDONESIA.COM- A Nation in Waiting karya Adam Schwarz (1999), diterbitkan pada 1999 oleh Westview Press, merupakan salah satu karya paling berpengaruh dalam memahami Indonesia menjelang runtuhnya Orde Baru dan lahirnya Reformasi. Buku ini bukan sekadar laporan jurnalistik atau catatan perjalanan politik; ia adalah semacam bedah anatomi sebuah bangsa besar yang berdiri di ambang perubahan sejarah, terombang-ambing antara otoritarianisme dan cita-cita demokrasi.

Schwarz — jurnalis senior Far Eastern Economic Review — menulis dengan kedalaman riset, ketelitian antropologis, dan intuisi geopolitik yang tajam. Ia tidak hanya merekam peristiwa, tetapi membaca denyut nadi sebuah negeri yang selama puluhan tahun menekan hasrat politiknya dan membiarkan potensi besarnya tertidur.

Buku ini lahir pada masa penuh kegelisahan: krisis moneter Asia 1997 menghantam Indonesia paling keras; korupsi merajalela; konflik identitas mengemuka; dan Soeharto — simbol stabilitas sekaligus stagnasi — berada pada masa senjanya. Dalam konteks itu, A Nation in Waiting hadir sebagai upaya memahami bagaimana Indonesia sampai pada titik runtuhnya rezim, dan mengapa bangsa yang begitu kaya budaya dan sumber daya justru terperangkap dalam lingkaran pembusukan politik.

Schwarz tidak menulis sebagai orang luar yang dingin atau sinis; ia menulis sebagai pengamat yang memandang Indonesia dengan rasa ingin tahu, hormat, sekaligus keprihatinan. Suaranya seperti bisikan seorang sahabat yang melihat potensi besar negeri ini, namun juga memahami hambatan-hambatan struktural yang membelenggunya.

Isi dan Struktur Buku: Negara dalam Bayang-Bayang Kekuasaan

Struktur buku ini mengalir seperti kisah panjang sebuah bangsa yang sedang terjebak dalam episode ketidakpastian historis. Schwarz memulai dengan menggambarkan Orde Baru sebagai sistem politik yang dibangun di atas kompromi antara militer, teknokrat, birokrat, dan konglomerat. Stabilitas adalah mantra, pembangunan adalah dogma, tetapi di balik semua itu tersembunyi kerapuhan struktural yang sewaktu-waktu siap runtuh.

Dalam menggambarkan Soeharto, Schwarz tidak jatuh pada demonisasi maupun glorifikasi. Ia menampilkan Soeharto sebagai figur yang penuh paradoks: seorang prajurit Jawa yang tenang, penuh perhitungan, paternalistik, tetapi juga teguh mempertahankan kekuasaan dengan jaringan patronase dan intelijen yang rapat. Soeharto digambarkan sebagai pusat gravitasi politik Indonesia — segala sesuatu bergerak mengitari dirinya.

Schwarz kemudian menguraikan bagaimana Orde Baru membentuk masyarakat: depolitisasi besar-besaran, kultur ewuh-pakewuh, kooptasi organisasi mahasiswa dan buruh, serta pembungkaman oposisi. Semua dilakukan demi menjaga ilusi stabilitas. Namun stabilitas itu rapuh, karena ia berdiri di atas represi, ketimpangan ekonomi, dan ketergantungan terhadap modal asing yang mudah goyah.

Bab-bab berikutnya membawa pembaca menelusuri dinamika ekonomi yang menjadi fondasi Orde Baru. Schwarz menulis tentang konglomerat-konglomerat besar — beberapa di antaranya dekat dengan keluarga Cendana — yang menguasai sektor perdagangan, perbankan, dan industri strategis. Ekonomi tumbuh, tetapi ketimpangan melebar, dan rakyat kecil hanya merasakan sisa-sisa kue pembangunan. Ketika krisis 1997 melanda, struktur ekonomi yang rapuh itu langsung ambrol.

Schwarz juga memberi ruang yang luas untuk menggambarkan kekerasan sektarian, konflik etnis, dan keresahan sosial yang meningkat sejak awal 1990-an: ketegangan antara agama-agama, konflik pusat-daerah, sentimen anti-Tionghoa, dan munculnya gerakan pro-demokrasi. Semua ini adalah gejala bahwa di bawah permukaan, Indonesia sedang mendidih.

Pada akhirnya, Schwarz menggambarkan Indonesia sebagai bangsa yang “menunggu” — menunggu reformasi, menunggu keterbukaan, menunggu masa depan yang lebih manusiawi. Menunggu sesuatu yang sebenarnya sudah lama ingin lahir, namun selalu ditahan oleh struktur kekuasaan yang mapan.

Analisis Ideologi dan Pola Kekuasaan: Politik sebagai Teater Kepatuhan

Dalam membaca Orde Baru, Schwarz tidak hanya fokus pada peristiwa politik, tetapi juga budaya kekuasaan yang menopangnya. Indonesia di bawah Soeharto, dalam pandangannya, adalah sebuah teater politik: harmoni dipentaskan di panggung depan, sementara konflik dan represi terjadi di belakang layar. Konsep “penyeragaman” — baik dalam ideologi, ekspresi sosial, maupun partisipasi politik — menjadi instrumen utama.

Schwarz menunjukkan bagaimana Orde Baru memanfaatkan simbol-simbol tradisional Jawa: harmoni, paternalistik, dan hierarki, untuk melanggengkan kekuasaan. Namun ia juga menegaskan bahwa mitologi Jawa bukan satu-satunya faktor. Jauh lebih penting adalah jaringan patron-klien yang menjadikan Indonesia sebagai negara korporatis: hubungan kekuasaan dipenuhi transaksi, konsesi, dan loyalitas.

Schwarz juga menggarisbawahi peran militer sebagai “penyangga” rezim. Dwifungsi ABRI bukan hanya doktrin, tetapi struktur sosial-politik yang memengaruhi cara negara bekerja. Militer terlibat dalam segala hal — dari desa hingga istana. Namun pada akhir Orde Baru, bahkan ABRI pun terbelah, tidak lagi solid menopang kekuasaan.

Gaya tulis Schwarz terasa jernih namun kritis. Ia tidak mengutuk, tetapi menunjuk. Ia tidak berteriak, tetapi mengajak pembaca menyaksikan bagaimana negara modern bisa terjebak dalam pola feodalisme baru yang dibungkus jargon pembangunan.

Dalam analisisnya, Indonesia tidak hanya menjadi korban krisis ekonomi, tetapi juga korban keengganannya untuk membebaskan diri dari budaya ketakutan dan kepatuhan. Politik menjadi ruang sunyi, demokrasi hanya formalitas, dan rakyat belajar untuk diam — hingga krisis memecahkan kebisuan itu.

Konteks Historis dan Pengaruh Intelektual

A Nation in Waiting terbit pada momen yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia modern. Ketika buku ini keluar pada 1999, Soeharto baru saja jatuh, dan Indonesia sedang memasuki transisi politik yang penuh harapan sekaligus ketidakpastian. Dalam konteks itu, buku ini tidak hanya berfungsi sebagai analisis, tetapi juga sebagai penjelasan sejarah yang membantu masyarakat internasional memahami bagaimana Indonesia sampai pada titik tersebut.

Pengaruh buku ini sangat besar di kalangan akademisi, jurnalis, diplomat, dan pengamat politik Asia Tenggara. A Nation in Waiting menjadi salah satu referensi paling otoritatif tentang Orde Baru, setara dengan karya-karya Benedict Anderson, Harold Crouch, atau Robert Hefner.

Schwarz berhasil memetakan pola kekuasaan Orde Baru bukan sebagai anomali, tetapi sebagai bagian dari dinamika politik negara-negara berkembang: otoritarianisme pembangunan, kapitalisme kroni, militerisme, dan represi. Ia juga menunjukkan bagaimana Indonesia, meski punya keragaman budaya yang luar biasa, sering gagal mengelola pluralisme itu karena terjebak dalam pola integrasi yang dipaksakan negara.

Relevansi dan Refleksi untuk Indonesia Hari Ini

Dua puluh lima tahun setelah Reformasi, A Nation in Waiting tetap relevan — mungkin lebih relevan dari yang dibayangkan Schwarz ketika menulisnya. Banyak pola Orde Baru yang ia jelaskan ternyata bertahan: oligarki yang kuat, politisasi identitas, sentralitas elite, dan ketimpangan ekonomi. Indonesia memang telah berubah secara politik, tetapi struktur sosial dan jaringan oligarkinya masih menunjukkan jejak-jejak masa lalu.

Kata-kata Schwarz tentang bangsa yang “menunggu” terasa seperti peringatan: bahwa demokrasi tidak otomatis menghasilkan keadilan, dan bahwa reformasi institusional tanpa reformasi budaya politik hanya akan melahirkan bentuk-bentuk baru dari kekuasaan lama.

Buku ini menantang pembaca untuk bertanya: Apakah Indonesia masih “menunggu”?
Menunggu kepemimpinan baru? Menunggu rakyat menjadi lebih kritis? Menunggu institusi menjadi lebih kuat?

Atau sebenarnya Indonesia telah lama siap, tetapi selalu tertahan oleh elite yang enggan melepaskan pola lama?

Penutup: Indonesia sebagai Janji yang Belum Selesai

Adam Schwarz melalui A Nation in Waiting tidak menulis untuk menghakimi Indonesia, tetapi untuk memahami luka-luka historis dan potensi terpendamnya. Ia menghadirkan potret jujur sebuah bangsa besar yang terus menunda takdirnya sendiri: antara modernitas dan feodalisme, antara demokrasi dan patronase, antara harapan dan ketakutan.

Buku ini adalah cermin — cermin yang memantulkan wajah Indonesia apa adanya, tanpa kosmetik retorika pembangunan. Dalam setiap halamannya, Schwarz mengingatkan bahwa bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menunggu, tetapi bangsa yang berani melihat ke dalam dirinya sendiri, mengakui kesalahannya, dan bergerak maju.

A Nation in Waiting tetap menjadi karya esensial bagi siapa pun yang ingin memahami politik Indonesia — bukan hanya masa lalu, tetapi juga pergulatan masa kini dan kemungkinan masa depan.***