Catatan Denny JA: Paris, Seni dan Minyak

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Malam itu, Paris seperti kanvas hidup. Hujan turun pelan, membasahi batu-batu tua di Rue de Rivoli, seakan menyeka debu sejarah yang menempel sejak revolusi pertama ditembakkan di kota ini.

Di kejauhan, gedung-gedung neoklasik berdiri seperti penjaga memori manusia.

Saya melangkah melewati Musée d’Orsay, tempat para impresionis menggantungkan cahaya mereka pada lukisan, Monet, Renoir, Degas.

Itu bayang Paris tahun 2017, terakhir kali saya ke sana. Namun kali ini, di tahun 2025, saya datang bukan untuk memandangi lukisan.

Saya dan tim datang untuk sesuatu yang lebih tak kasat mata. Lebih berat. Lebih menentukan nasib sebuah bangsa.

Ada ironi yang berbisik malam itu: di kota yang memuja seni, saya dan tim justru sedang mengejar minyak.

Saya menatap air yang jatuh di trotoar, membentuk riak kecil yang retak oleh lampu jalan. Dan di tengah riak itu, saya melihat refleksi aneh.

Ini refleksi tentang bagaimana seni dan minyak, dua dunia yang seolah terpisah sejauh bintang dan bumi, tiba-tiba bertaut dalam satu garis sejarah.

Karena di Paris inilah, salah cerita baru Pertamina Hulu Energi dimulai. Dan mungkin salah satu masa depan energi Indonesia akan ditentukan.

-000-

Tiga alasan mengapa Paris penting dalam sejarah industri minyak.

1. Paris: Tempat Lahirnya Diplomasi Energi Eropa

Di Paris, setelah Perang Dunia I, negara-negara Barat menandatangani perjanjian yang menentukan pembagian wilayah minyak Timur Tengah.

Di kota ini pula Eropa menemukan bahasa diplomasi baru: bahwa minyak bukan sekadar komoditas, melainkan urat nadi peradaban modern.

Di sini, minyak pertama kali dipetakan sebagai kekuatan geopolitik. Kota cahaya menjadi kota negosiasi, dan dunia energi tak lagi sama.

Dalam pandangan Daniel Yergin, yang ia uraikan dalam alur sejarah panjang industri minyak modern, Paris dan kota-kota Eropa ibarat panggung tempat minyak berubah dari bahan bakar menjadi instrumen kekuasaan. 

Ia menggambarkan bagaimana perjanjian-perjanjian di awal abad 20 mengangkat minyak menjadi pusat perebutan antarnegara, bukan lagi sekadar komoditas industri, tetapi landasan bagi tatanan politik baru yang mengatur arah dunia. 

Perspektif ini membuat Paris tidak hanya memiliki museum seni, tetapi juga museum tak kasat mata yang memajang evolusi kekuatan global berbasis energi.

2. Kelahiran Supermajor Modern: Total

TotalEnergies, raksasa energi dunia, bermula dari visi seorang diplomat Prancis yang menolak ketergantungan negaranya pada minyak Inggris-Amerika.

Paris menjadi rumah bagi salah satu jaringan energi global paling berpengaruh di bumi.

Total bukan hanya perusahaan, ia adalah simbol ambisi Eropa untuk tidak tunduk pada hegemoni energi Anglo-Saxon.

Ia tumbuh menjadi kekuatan besar di Afrika, Timur Tengah, Amerika Latin, wilayah yang kini juga menjadi prioritas langkah global Indonesia.

Dan kini, di kota ini, kita melangkah ke pintu yang sama.

Jean-Marie Chevalier, dalam pemaparannya tentang geopolitik energi, menekankan bahwa setiap negara besar akhirnya sampai pada kesimpulan yang sama. 

Kedaulatan energi tidak mungkin dicapai tanpa perusahaan yang mampu beroperasi pada skala global. 

Ia menjelaskan bagaimana perusahaan seperti Total menjadi instrumen diplomasi, investasi, sekaligus representasi aspirasi nasional Prancis. 

Melalui kacamata analisis Chevalier, Total menjelma menjadi wujud ambisi politik dan identitas Eropa untuk berdiri sejajar dengan kekuatan Anglo-Saxon. 

Pemikiran ini memperjelas mengapa Indonesia membutuhkan kendaraan global yang setara.

3. Prancis, Eropa, dan Revolusi Teknologi Energi

Dari Paris pula lahir inovasi energi bersih, dari nuklir generasi baru hingga hydrogen valley.

Eropa menjadikan kota ini pusat perjanjian iklim, ambisi green transition, dan cetak biru masa depan energi dunia.

Prancis bukan hanya pengagum seni, ia pengukir masa depan energi dunia.

Di Paris, lukisan dan minyak tinggal berdampingan, keduanya mengubah dunia, dengan caranya masing-masing.

-000-

Pada tahun 2017, melalui Pertamina Hulu Energi dan PIEP, Indonesia mengambil langkah berani.

Indonesia mengakuisisi 71 persen saham Maurel & Prom, perusahaan energi yang berakar di Prancis, namun beroperasi di Afrika, Amerika Selatan, dan berbagai kawasan strategis dunia.

Indonesia, negara yang dulu hanya menjadi pasar energi, kini memiliki kendaraan global.

Kita bukan lagi penonton dalam peta energi internasional, kita pegang kemudi.

M&P menjadi jembatan Indonesia ke minyak dunia.

Mengalirkan produksi dari Gabon, Tanzania, Angola, dan kelak Venezuela jika OFAC membuka pintunya.

Ia menjadi anak perusahaan pertama di Eropa yang dikendalikan penuh oleh Indonesia melalui struktur publik, transparan, independen, global.

Namun kepemilikan itu belum cukup. Seperti prajurit yang memegang pedang, ia perlu mandat untuk bergerak.

M&P bukan hanya aset.

Ia adalah kendaraan masa depan. Dan kini waktunya memberi otoritas baru.

-000-

M&P harus menjadi penyerang Indonesia dalam merger dan akuisisi global.

Selama bertahun-tahun, Pertamina Hulu Energi bermain aman. Namun dunia energi tidak memberi bonus bagi yang berhenti di garis aman.

Kita butuh penyerang.

Kita butuh ujung tombak.

Dan ujung tombak itu adalah M&P.

Dengan fleksibilitas hukum Prancis, akses kapital global, dan jejak operasional di tiga benua, M&P adalah entitas yang paling siap melakukan:

* akuisisi blok-blok strategis

* kerja sama crude supply

* konsorsium dengan supermajor

* ekspansi agresif ke Afrika dan Amerika Selatan

Di era ketika minyak adalah permainan geopolitik, Indonesia tak boleh berjalan perlahan.

Kita harus berlari.

Dan M&P adalah langkah tercepat yang kita punya.

-000-

Paris selalu memukau saya.

Kota yang membuat langit tampak seperti lukisan yang digoreskan Tuhan dengan tangan ringan.

Kota yang mengajarkan bahwa keindahan bisa lahir dari keberanian.

Dulu, setiap kali saya ke Paris, saya ingin mengeksplorasi dunianya, lukisan, musik, literatur, patung-patung putih di Museum Rodin yang berdiri seperti manusia yang sedang berpikir keras.

Tapi kini, yang saya eksplorasi bukan lagi seni. Yang saya cari bukan lagi cahaya Impressionis atau puisi Rimbaud.

Yang saya dan teman-teman eksplorasi adalah minyak, masa depan energi Indonesia, di kota yang selama seratus tahun menjadi panggung perebutan energi dunia.

Seni tetap memanggil, tetapi tugas negara memanggil lebih keras.

Paris, seni, dan minyak.

Di silang inilah masa depan Indonesia sedang ditulis.

Dan kita, bangsa yang besar,

tak lagi sekadar penikmat seni dunia. Kita sedang belajar menjadi pemain energi dunia.*

Paris, 4 Desember 2025

REFERENSI

Daniel Yergin, The Prize: The Epic Quest for Oil, Money, and Power, Simon and Schuster, 1991

Jean-Marie Chevalier, The Geopolitics of Energy, Edward Elgar Publishing, 2009

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/17f9xFzaeD/?mibextid=wwXIfr