Puisi Esai Denny JA: Bukit Itu Menangis Menimbun Satu Keluarga

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - (Musibah banjir besar di Sumatra bulan November 2025 telah menelan lebih dari 850 nyawa. Ini kisah bukit yang longsor yang menimbun satu keluarga) (1)

-000-

Aku adalah bukit yang sangat tua.
Jauh lebih tua dari riwayat semua keluarga,
yang pernah berteduh di bawah kakiku.

Dulu, hutan tumbuh di dadaku,
menjadi untaian doa yang tidak pernah putus.
Akar-akar panjang menahanku,
seperti tangan-tangan para leluhur
yang menjaga dunia tetap seimbang.

Warga desa memetik sedikit,
menebang satu pohon, lalu dua pohon,
untuk kayu dapur, untuk membangun rumah kecil,
untuk menghangatkan malam mereka.

Aku tidak pernah marah.
Aku tahu mereka menebang dengan hormat,
seperti anak meminta kepada ibunya
dengan suara pelan.

Mereka memotong,
tapi juga menanam.
Mereka mengambil
tapi juga merawat.

Aku tetap merasa dicintai.

-000-

Tapi mereka berbeda.
Gergaji tak lagi diayunkan oleh tangan desa.
Mesin-mesin besar
datang entah dari mana,
suara logamnya dingin, tanpa nurani.

Perusahaan-perusahaan itu
naik ke punggungku,
menjadi pasukan yang lapar,
menggunduli rambut hijauku,
menelanjangiku sampai ke tulang.

Setiap pohon yang tumbang
menjadi angka dalam laporan laba,
menjadi jembatan menuju rekening mereka,
bukan menuju kehidupan.

Akar-akar penjagaku dicabut,
bukan oleh orang yang merawatku,
melainkan oleh mereka yang
bahkan tak tahu nama desaku.

Para pekerja berseragam
mengiris tubuhku
seperti mengiris kue ulang tahun.
Namun tak ada doa,
tak ada permisi,
tak ada terima kasih.

Mereka datang untuk menumpuk uang,
bukan untuk menumbuhkan hutan.

Dan ketika setengah tubuhku botak dan kerontang,
mereka pergi,
meninggalkan aku berdiri sendirian,
di hadapan badai yang semakin ganas.

-000-

Pada malam itu,
hujan turun dengan deras yang mengguncang langit.
Ia mengetuk luka-luka lamaku
yang tak sempat sembuh.

Tanahku bergerak pelan.
Aku sudah ringkih,
seperti orang tua yang tak lagi pasti
mana kaki yang masih kuat untuk berdiri.

Aku mencari akar-akar yang dulu memelukku.
Tak ada.
Aku mencari pohon-pohon yang dulu menahan bahuku.
Tak ada.
Aku mencari suara burung
yang dulu mengingatkanku pada kehidupan.
Tak ada.

Yang tersisa hanya ruang kosong,
luka industri
yang baunya membuat bumi sendiri gamang.

Tubuhku pun menyerah.
Patah.
Runtuh.
Pecah.

Bukan karena aku ingin,
tapi karena aku tak lagi sanggup.

-000-

Di bawah tubuhku,
sebuah mobil putih kecil berhenti
hanya untuk istirah.

Di dalamnya ada keluarga
sedang menutup hari panjang
dengan tawa kecil yang lembut.

Gadis itu sempat memungut daun berbentuk hati,
dari pohon terakhir yang masih tersisa.
Aku melihatnya.
Aku merasakan kehangatan kecil itu,
seperti kenangan yang hampir punah.

Aku ingin melindungi mereka,
seperti dulu aku melindungi desa-desa kecil
yang tumbuh bersama akar-akar hatiku.

Tapi ketika tubuhku mulai bergeser,
aku tak lagi punya penyangga.
Tanah kehilangan kesabarannya.
Gravitasi menarik air mataku.

Dalam satu hentakan
yang membuat langit tercekat,
aku menutup mereka
dengan rasa bersalah yang tak terucapkan.

Enam nama kembali ke sunyi.
Dan aku, bukit tua yang dahulu ramah,
menjadi kuburan tanpa sengaja.

-000-

Ketika aku runtuh,
kampung-kampung kecil ikut hancur.
Sungai meluap,
membawa amarah yang lama disembunyikan.

Jembatan patah
karena janji yang tak pernah ditepati.
Rumah-rumah terbalik
menjadi hidup yang dikocok oleh tangan raksasa.

Orang-orang berkata:
“Hujan terlalu deras.”
“Tanah tak kuat.”
“Ini musibah.”

Tidak.
Ini bukan musibah.
Ini cermin raksasa.

Bukan hanya hujan yang turun malam itu,  
tetapi kontrak-kontrak bisnis,
yang dulu ditandatangani tergesa,  
jatuh satu per satu dari langit  
sebagai batu dan batang mati.  

Di balik setiap meter tanah yang melorot,  
ada tanda tangan yang menjelma longsor,  
ada stempel yang berubah menjadi arus banjir,
menelan nama-nama di kartu keluarga.

-000-

Kini aku terbaring,
separuh hilang, separuh menjadi kubur.

Namun yang paling hilang
bukan lahanku,
melainkan keyakinanku
bahwa manusia masih mampu membedakan
kebutuhan dari keserakahan.

Warga desa menebangku dengan cinta,
dengan hormat,
dengan seimbang.
Aku sanggup sembuh.

Tapi perusahaan menebangku
dengan ambisi,
dengan ketamakan,
dengan gelap mata.
Aku tidak pernah bisa pulih.

Di kota jauh, di ruang rapat ber-AC,  di sebuah perusahaan metropolitan,
angka-angka laba tumbuh di layar seperti hutan palsu.  

Grafik keuangan naik itu sesungguhnya peta jenazah,  
tiap garis hijau adalah nisan yang disamarkan.  

Di dalam rekening mereka,  
ada lumpur di antara digit,  
ada napas terakhir yang dipadatkan  
menjadi bonus akhir tahun.

Belajarlah
bahwa pohon bukan hanya kayu,
ia saudaramu sendiri,
tulang dunia.

Bahwa hutan bukan lahan kosong,
ia keluargamu sendiri,
jantung yang berdetak
untuk semua makhluk.

Jika manusia tak belajar,  
peta dunia pelan-pelan akan berubah warna:  
hijau menjadi daftar duka,  
cokelat menjadi arsip jenazah,
yang tak sempat dimakamkan.

Di langit, awan akan menyalin diri  
menjadi fotokopi surat protes,
yang tak pernah kalian baca,  
turun sebagai hujan yang menghapus alamat rumah,  
dari setiap kartu keluarga.

Dan bumi,
yang selama ini diam,
akan semakin marah,
karena ia ibu kandung
yang kalian khianati.*

Paris, 6 Desember 2025

CATATAN

(1) Satu keluarga tewas tertimbun bukit yang longsor

https://www.kompas.com/sumatera-utara/read/2025/11/28/134500188/kronologi-satu-keluarga-tewas-tertimbun-longsor-di-tapanuli-utara?utm_source=perplexity#

-000-

Berbagai puisi esai dan ratusan  esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1BeWaGCHF6/?mibextid=wwXIfr