Ali Samudra: Taqwa dalam Kancah Kehidupan Modern
Oleh Ali Samudra*
ORBITINDONESIA.COM - Taqwa adalah salah satu konsep paling sentral dalam ajaran Islam. Sejak masa Nabi hingga hari ini, kata "Taqwa" terus melintasi zaman, meresapi ruang budaya, etika, dan spiritualitas umat Islam. Namun perjalanan panjang itu membuat makna taqwa tidak pernah benar-benar berhenti. Ia berkembang, beradaptasi, dan menemukan relevansinya kembali pada setiap generasi.
Di masa silam, taqwa menjadi fondasi masyarakat yang sederhana namun kokoh secara moral. Hari ini, ia menjadi energi kesadaran yang dibutuhkan untuk menghadapi kompleksitas dunia digital, tekanan produktivitas, serta problem moral yang semakin samar.
Di tengah kehidupan modern yang ditandai percepatan informasi, krisis identitas, polarisasi sosial, dan kelelahan mental, taqwa kembali tampil bukan sekadar tuntutan religius, tetapi kebutuhan eksistensial manusia modern.
Akar Makna Taqwa dalam Al-Qur’an
Kata taqwa berasal dari akar kata Arab waqā (و ق ى ) yang berarti “melindungi” atau “berjaga-jaga”. Makna dasar ini memberi nuansa bahwa taqwa bukan sekadar ketakutan, melainkan kesiapan moral untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang merusak hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.
Al-Qur’an menyebut kata taqwa sebanyak 258 kali , dengan penggunaannya dalam berbagai konteks:
Sebagai kesadaran moral: “Bertaqwalah kepada Allah di mana pun kamu berada.”(2:197)
Sebagai perlindungan batin: “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (66:6)
Sebagai syarat kemuliaan manusia: “Yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (49:13)
Sebagai energi kemajuan hidup: “Allah memberi jalan keluar dan rezeki bagi yang bertaqwa.” (65:2)
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa taqwa bukan hanya soal ibadah, tetapi kualitas kesadaran yang terintegrasi dalam keseluruhan hidup manusia.
Tafsir Klasik Hingga Kontemporer: Evolusi Makna Taqwa
Para mufasir klasik dan pemikir kontemporer memiliki cara berbeda memaknai taqwa sesuai kebutuhan zamannya.
Ibn Katsir, mendefinisikan taqwa sebagai menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
Al-Qurtubi, menekankan hubungan taqwa dengan kebersihan hati dan integritas lahir.
Ar-Razi, memperluasnya dengan dimensi psikologis: kesadaran moral yang hidup dalam diri.
Al-Ghazali, memetakan taqwa dalam tiga tingkat: awam, khusus, dan super-khusus. Ia melihat taqwa sebagai disiplin batin.
Muhammad Abduh, melihat taqwa sebagai fondasi moral masyarakat modern.
Ali Syariati, menekankan taqwa sebagai kesadaran sosial yang membebaskan masyarakat dari penindasan.
Fazlur Rahman, mengartikannya sebagai orientasi moral aktif dalam kehidupan publik.
Quraish Shihab, memaknainya sebagai kesadaran bertanggung jawab dalam seluruh aspek kehidupan.
Evolusi ini menunjukkan bahwa taqwa bukan definisi kaku. Ia hidup bersama zaman, tetapi selalu kembali ke akarnya: kesadaran moral dan orientasi kepada Allah.
Takwa bukan penjara bagi pikiran modern
Taqwa bukan bentuk penarikan diri dari dunia, bukan anti-kemajuan, dan bukan penolakan terhadap teknologi. Taqwa adalah kompas moral yang memungkinkan seseorang hidup di tengah perubahan tanpa kehilangan orientasi batin.
Dengan taqwa, manusia modern tetap dapat berkarier, membangun bisnis, mengelola teknologi, dan berperan di ruang publik, namun tetap menjaga integritas, kejujuran, dan kejernihan nurani. Taqwa bukan penjara bagi pikiran modern; ia adalah pengaman agar kecerdasan tidak berubah menjadi kelicikan, dan ambisi tidak berubah menjadi kerakusan.
Kesalehan Sosial sebagai Buah Taqwa
Al-Qur’an menegaskan bahwa kebaikan tidak hanya diukur dari ritual.
QS 2:177 menyatakan bahwa “bukanlah kebaikan itu sekadar menghadap ke Timur atau Barat,” tetapi meliputi moralitas sosial: kejujuran, keadilan, kepedulian, dan amanah.
Artinya, taqwa yang sejati harus menampakkan dirinya dalam perilaku sosial.
Ciri-ciri kesalehan sosial yang lahir dari taqwa:
1. Kejujuran, bahkan ketika tidak menguntungkan.
2. Tidak menyakiti orang lain, baik secara verbal maupun digital.
3. Memegang amanah, baik dalam pekerjaan maupun relasi.
4. Menolak manipulasi dan kezaliman, meski hal itu mudah dilakukan.
5. Menjadi teduh di hadapan manusia, bukan sumber kegaduhan.
Kesalehan sosial adalah bukti bahwa taqwa bukan hanya kesadaran pribadi, tetapi energi sosial. Taqwa bukan bentuk penarikan diri dari dunia, bukan anti-kemajuan, dan bukan penolakan terhadap teknologi. Taqwa adalah kompas moral yang memungkinkan seseorang hidup di tengah perubahan tanpa kehilangan orientasi batin.
Kebaikan moral apakah dapat menggantikan sholat
Pertanyaan besar manusia modern adalah: “Jika aku sudah baik, jujur, peduli, tidak menyakiti, apakah aku masih perlu sholat?”
Moralitas modern memang penting, namun tidak lengkap. Ia hanya mengatur hubungan horizontal sesama manusia dan tidak menjawab pertanyaan eksistensial: dari mana kehidupan ini berasal dan ke mana ia bermuara? Moralitas tidak memiliki horizon keabadian dan tidak memiliki sumber transendental; ia bisa berubah oleh budaya, tren, atau politik.
Dalam kerangka taqwa, sholat menjadi pilar yang menyempurnakan seluruh tatanan moral. Sholat memberikan kekuatan spiritual yang menjaga agar moralitas tetap jernih, konsisten, dan bertahan bahkan ketika tidak dilihat manusia.
Sholat lima waktu, misalnya, bukan penghalang modernitas, tetapi jeda untuk merapikan orientasi hidup. Zikir bukan pelarian dari realitas, tetapi cara menjaga kejernihan mental di tengah banjir informasi. Prinsip taqwa membuat seseorang lebih tegas menolak korupsi, lebih cermat mengambil keputusan, dan lebih berani bersikap adil dalam situasi sulit.
Al-Qur’an Sebagai Jangkar di Tengah Perubahan
Dalam dunia yang penuh percepatan dan perubahan, manusia membutuhkan jangkar. Dan jangkar itu adalah Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an bukan sekadar ritual, tetapi latihan kesadaran. Huruf-hurufnya menenangkan, menata ritme batin, dan memulihkan suara hati. Karena itu, dua langkah penting bagi manusia modern untuk:
1. Melek huruf Al-Qur’an: sebagai latihan kehadiran dan ketenangan.
2. Memiliki terjemahan Alquran kata-per-kata: memudahkan membaca ajaran Islam langsung dari kitab sucinya, suatu kesemptan yang mencerahkan jiwa, dan memenuhi kehausan rasa ingin tahu manusia modern akan makna sejati dari suatu kebenaran universal yang terkandung dalam Alquran.
Taqwa dalam visi manusia modern
Dalam konteks kreativitas dan inovasi, taqwa tidak mematikan eksplorasi intelektual. Ia hanya memastikan bahwa inovasi tidak melanggar martabat manusia dan tidak merusak bumi. Di era AI, robotika, dan transformasi digital, justru dibutuhkan nilai-nilai taqwa untuk menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan tanggung jawab moral.
Dengan demikian, taqwa dalam visi manusia modern bukan sekadar ibadah personal, tetapi kualitas hidup: mampu bertindak benar ketika tidak dilihat orang, mampu membuat keputusan etis di tengah sistem yang kompleks, dan mampu menjaga keseimbangan antara prestasi dunia dan ketenangan batin. Manusia modern tidak kehilangan marwah intelektualnya dengan taqwa; ia justru menemukan kedewasaan moral yang membuat hidupnya lebih terarah.*
Pondok Kelapa, 5 Desember 2025
Tulisan ini adalah pengantar diskusi Ba'da Salat Jum'at, 5 Desember 2025 Masjid Baitul Muhajirin - Pondok Kelapa - Jakarta Timur.
*Ali Samudra, Pembina Masjid Baitul Muhajirin. ***