Isti Nugroho: Hariman Siregar, Sang Demonstran Intelektual

Oleh Isti Nugroho*

ORBITINDONESIA.COM - Yang terbayang ketika Hariman Siregar menerima anugerah gelar Tokoh HAM  dari Kementrian HAM RI adalah sosok demonstran militan yang gigih melawan tirani.         

Frasa ‘sang demonstran’ menghadirkan imajinasi yang teatrikal, ideologis, heroik, keras kepala, nyali besar dan penuh tuntutan perubahan. Bayangkan: siang yang panas, anak-anak muda berteriak-teriak, mengepalkan tangan, menyampaikan banyak tuntutan perbaikan nasib rakyat, lalu tentara dan polisi berjaga-jaga di sela-sela kepulan asap hitam.

Dipompa didih heroisme, protes demonstran pun semakin tajam,  Kata-katanya sangat sensitif. Para  petinggi negeri pun dihujat. Pihak keamanan terpancing jadi emosional. Chaos pun terjadi. Sangat teatrikal.

Di mata saya, imaji itu hingga kini masih melekat pada sosok Hariman Siregar, tokoh peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) tahun 1974, yang dituduh dengan pasal-pasal subversif (penggulingan pemerintah) dan diancam hukuman mati pada era Orde Baru.

Hingga kini sosok demonstran masih saya temukan dalam diri lulusan Fakultas Kedokteran UI itu. Kritis. Tanpa kompromi. Bicaranya tegas bahkan sering meledak-ledak. Tapi tetap manusia, berjiwa  lembut dan baik hati. Dan punya altruisme tinggi.

Setelah hampir 51 tahun, negara –melalui Kementerian Hak Asasi Manusia-- memberikan Anugerah Gelar Tokoh HAM kepada Hariman Siregar (10 Desember 2025). Lima tokoh lainnya yang juga mendapatkan anugerah yang sama adalah Jimly Asshiddiqie (Ketua MK), Makarim Wibisono (mantan Duta Besar Indonesia untuk PBB), Haris Azhar (aktivis), Yan Christian W dan mendiang Muhammad Imam Aziz (tokoh pluralisme yang menggalang gagasan rekonsiliasi para korban konflik 1965). Pemberian gelar bertepatan dengan peringatan Hari HAM Sedunia 2015. Menurut Menteri HAM Natalius Pigai, keenam tokoh tersebut punya jasa besar dalam mewujudkan Indonesia yang demokratis.

Anti Ekonomi Pertumbuhan dan Modal Asing

Hariman Siregar lahir 1 Mei 1950. Ia menggerakkan demonstrasi –yang kemudian dikenal dengan Malari 1974-- bersama tokoh mahasiswa: Syahrir Chiil, Muhammad Aini Chalid, Judilherry Justam dan lainnya.

Sikap politik Hariman Siregar dan kawan-kawan yang mencuat dalam Malari 1974 adalah anti terhadap ekonomi berlanggam pertumbuhan yang menjurus pada dominasi ekonomi kelompok elite. Sedangkan gagasan yang diperjuangkan Hariman dan kawan-kawan adalah ekonomi berlanggam pemerataan yang dianggap lebih relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia, di mana saat itu angka kemiskinan dan pengangguran  sangat  tinggi.

Selain itu, Hariman dan kawan-kawan juga mengkritisi pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang menelan dana besar dan dianggap sebagai pemborosan. Juga, mempersoalkan  korupsi yang dilakukan Presiden Soeharto yang didukung kroni-kroninya. Tak ketinggalan, reaksi keras mereka  terhadap  Pemilu 1971 yang dianggap curang.

“Jadi Malari itu dipicu persoalan nasional yang menumpuk dan menimbulkan kekecewaan kaum mahasiswa dan masyarakat,” kenang Hariman.

Menurut Kantor Arsip Universitas Indonesia, saat terpilih sebagai ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) Hariman dan rekan-rekan membuat Petisi 24 Oktober 1973 untuk pemerintah.  

Petisi ini kemudian memantik perkembangan gerakan protes dari dewan mahasiswa seluruh Indonesia yang berpuncak pada peristiwa Malari pada 15 Januari 1974.

Kala itu para mahasiswa menggelar demonstrasi menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. PM Tanaka  dianggap sebagai simbol modal asing. Hariman mengatakan bahwa ia sempat diundang untuk rapat bersama dengan Tanaka, tetapi ditolak.

“Saya dapat undangan untuk diskusi dengan Tanaka tanggal 15 Januari. Karena kita (sedang) rapat di Student Center (tentang hal terkait), diputuskan semua pada nggak mau (hadir). Ya, terpaksa undangannya nggak kita layani, kita demo besoknya,” jelas Hariman.

Sayangnya, demonstrasi mahasiswa itu diwarnai kericuhan akibat pembakaran. Hariman mengaku bahwa mahasiswa tidak tahu-menahu mengenai kisruh yang terjadi.

Namun rezim tetap butuh orang-orang yang untuk dijadikan tertuduh. Dan Hariman, para tokoh dan beberapa mahasiswa pun akhirnya  dituduh melakukan subversi—upaya menggulingkan pemerintah. Hariman dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan sempat diancam hukuman mati. Meski begitu, ia hanya menjalankan hukuman tiga tahun penjara dan bebas di tahun 1976.

Konsistensi Hariman Siregar

Saya merasa beruntung bisa mengenal dan dekat dengan Hariman Siregar –yang akrab disapa Bang Hariman. Intensitas interaksi saya dengan Bang Hariman terjadi sejak tahun 1994-- setelah saya bebas dari penjara akibat tuduhan subversif—hingga kini. Saya juga dekat dengan salah satu tokoh PSI Soebadio Sastrosatomo, bahkan beliau meminta saya untuk tinggal di Rumah Rakyat Guntur 45 Jakarta.

Ada beberapa hal yang menarik dari sosok Bang Hariman. Pertama, jiwa demonstran sekaligus aktivis politik-demokrasi, yang selalu menolak berpikir mapan, selalu gelisah melihat kondisi masyarakat dan negara yang sakit. Dalam konteks itu, Bang Hariman selalu  mencari berbagai kemungkinan gagasan yang mendekati ideal untuk memperbaiki keadaan. 

Jiwa itu tetap hidup dalam diri Bang Hariman sampai kini. Gerakan Malari yang dilakukannya dan kawan-kawan, hingga kini menjadi tonggak penting dalam sejarah perubahan sosial, politik dan kultural di Indonesia. Gerakan Malari menginspirasi munculnya Gerakan 1978. Lalu Gerakan 1980-an, 1998 Reformasi, dan seterusnya.

Kedua, otentisitas Bang Hariman sebagai cendekiawan yang konsisten pada prinsip-prinsip hidupnya, yaitu mencari kebenaran dan selalu peduli dengan nasib mereka yang lemah dan dilemahkan, baik oleh kultur maupun struktur yang berwatak meminggirkan nilai-nilai kemanusiaan. 

Itu dilakukan secara personal maupun sosial. Misalnya melalui forum INDEMO (Indonesian Democracy Monitor) Bang Hariman selalu menyalakan berbagai pemikiran kritis, merawat akal waras dan berpikir logis/rasional serta memproduksi nilai-nilai gagasan demi Indonesia yang lebih baik dan lebih bermartabat. 

Bang Hariman adalah sosok intelektual yang ideologis dan  selalu sadar pada garis batas antara civil society dan rezim penguasa. Dan dia memilih posisi yang memperkuat civil society daripada menjadi instrumen atau piranti penguasa. 

Konsistensi sikap ini yang menjadikan Bang Hariman tetap berwibawa, baik di kalangan aktivis maupun penyelenggara negara dan rezim. Ia pun jadi teladan atau panutan sekaligus mentor  bagi anak-anak muda, di tengah sangat mudahnya kaum  intelektual dikooptasi kekuasaan.

Ketiga, kepribadian Bang Hariman sangat menarik. Ia berwatak solider, selalu membuka ruang bagi orang lain (liyan, the others)  untuk berkembang berdasarkan potensi-potensinya. Saya merasakannya. 

Selain itu, Bang Hariman memiliki altruisme yang tinggi. Ia sangat sering menolong atau membantu banyak teman aktivis yang berada dalam kesulitan, baik secara finansial maupun non-finansial. Ini merupakan cara dia untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan; puncak dari seluruh perjuangan nilai.

Keempat, Bang Hariman memiliki jiwa filantropi: pilihan nilai untuk mewakafkan atau mendarmakan diri demi kebaikan manusia dan dunia. Aktivitas kontinu dan intens INDEMO adalah salah satu contohnya. INDEMO menjadi kawah candradimuka atau medan penggodokan anak-anak muda untuk mampu menjadi pemimpin masa depan bangsa. Selain itu juga, memproduksi nilai-nilai dan gagasan yang konseptual serta konstruktif untuk penguatan nilai-nilai demokrasi. di negeri ini.

Menariknya, Bang Hariman lebih memilih di belakang panggung. Tidak suka menonjolkan diri seperti tokoh-tokoh lain yang mabuk pencitraan itu. Menurut saya, ini gaya khas orang PSI dalam pengkaderan: selalu menjadi “penganyam proses” bagi anak-anak muda untuk menemukan dunianya.

Saya kemudian teringat peran budayawan Umar Kayam yang menjadi mentor Rendra, Sardono W Kusumo, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Prof Faruk sampai para seniman lainnya seperti Indra Tranggono dan kawan-kawan yang rajin reriungan di rumah Pak Kayam di Yogya. 

Interaksi yang hangat pun saya temukan pada sosok Om Kiyuk (Soebadio Sastrosatomo) dan dua sosialis Yogya: Imam Yudotomo serta  Fauzie Ridjal, hingga saya “basah kuyup” dalam kolam PSI, sampai kini.

Bagi saya Bang Hariman adalah sosok demonstran, aktivis demokrasi, intelektual organik- humanis dan inspirator yang memiliki peran signifikan dalam  menggerakkan dan mendinamisasi politik dan kebudayaan di Indonesia. Sehingga dalam konteks peradaban, Indonesia terhindar dari kebekuan atau stagnasi. Kemudian terjadi perubahan dari model negara otoriter ke negara demokratis, seperti saat ini.

Dalam demokrasi, hak-hak manusia sudah seharusnya dijunjung tinggi. Karena itu sangat tepat Kementrian HAM menganugerahkan gelar Tokoh HAM dan Demokrasi bagi Bang Hariman. 

*Isti Nugroho, aktivis demokrasi dan seniman, aktif di INDEMO dan Yayasan Kebudayaan Guntur 49. ***