Satrio Arismunandar: Betulkah Presiden Prabowo Janjikan Bantuan Rp 17 T untuk Pelestarian Hutan Brazil?
Oleh Satrio Arismunandar, mantan anggota pecinta alam KAPA FTUI
ORBITINDONESIA.COM - Di media sosial beredar tudingan bahwa Presiden Prabowo akan memberi bantuan Rp 17 T untuk konservasi hutan Brazil, tetapi mengabaikan hutan Indonesia sendiri. Betulkah informasi tersebut?
Memang, ada komitmen nyata Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto untuk mendukung upaya konservasi hutan tropis global di Brasil, tetapi angka yang sering disebut Rp 17 triliun tidak sepenuhnya akurat menurut laporan yang tersedia saat ini.
Faktanya: Indonesia telah berkomitmen ikut serta dalam Tropical Forest Forever Facility (TFFF) — sebuah dana kerja sama internasional yang dipimpin oleh Brasil dan beberapa negara lain untuk perlindungan hutan tropis dan pencegahan deforestasi.
Komitmen Indonesia itu dinyatakan oleh Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, atas nama Presiden Prabowo Subianto. Besaran yang diumumkan adalah sekitar US$1 miliar, setara dengan sekitar Rp 16,6 triliun (asumsi kurs Rp16.600 per dolar) untuk pendanaan tersebut.
Jadi, angka Rp 16,6 – 17 triliun itu berasal dari konversi komitmen US$1 miliar tersebut — bukan janji fiktif atau spekulatif, tetapi bukti komitmen pendanaan nyata Indonesia dalam forum multilateral COP30 di Brasil untuk konservasi hutan hujan tropis.
Namun perlu ditegaskan: Ini bukan bantuan “langsung ke hutan Brasil” dalam bentuk uang tunai yang dicairkan ke pemerintah Brazil saja, melainkan kontribusi terhadap fasilitas investasi bersama (TFFF) yang bertujuan mendukung konservasi hutan tropis secara global, termasuk wilayah Amazon dan wilayah tropis lain.
Komitmen tersebut adalah bagian dari kerja sama internasional di COP30 dan bukan janji tunggal Presiden kepada satu negara tanpa konteks forum internasional.
Singkatnya: Indonesia di bawah Prabowo mencanangkan dukungan sekitar US$1 miliar (~Rp 16,6 triliun) untuk dana pelestarian hutan tropis yang dipelopori Brasil. Angka tersebut sering dibulatkan menjadi sekitar Rp 17 triliun, tapi konteksnya adalah komitmen multilateral, bukan pemberian langsung tanpa mekanisme kerja sama internasional.
Sekarang mari kita bedah Tropical Forest Forever Facility (TFFF) secara jernih, naratif, dan strategis—serta apa maknanya bagi Indonesia dan diplomasi lingkungan global ke depan.
Apa itu Tropical Forest Forever Facility (TFFF)?
TFFF adalah sebuah mekanisme pendanaan global jangka panjang yang digagas Brasil (terutama menjelang COP30) untuk menjaga keberlanjutan hutan hujan tropis dunia, bukan hanya Amazon.
Intinya sederhana tapi ambisius: Negara-negara pemilik hutan tropis akan “dibayar” secara berkelanjutan agar hutan tetap berdiri, bukan ditebang demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Berbeda dari skema hibah konvensional, TFFF dirancang sebagai dana investasi (investment facility).
Bagaimana Mekanisme Kerja TFFF?
Pertama, Dana Abadi (Endowment Fund). Negara-negara dan lembaga internasional menyetor modal awal. Dana tersebut diinvestasikan di pasar keuangan global (obligasi, instrumen aman, dsb.). Hanya hasil investasinya (return) yang digunakan, bukan pokok dana. Artinya: Dana ini bersifat permanen dan lintas generasi.
Kedua, Insentif Berbasis Kinerja. Negara pemilik hutan (Brasil, Indonesia, Kongo, Peru, dsb.) akan menerima dana jika memenuhi indikator tertentu, seperti: Menekan deforestasi; menjaga tutupan hutan; tata kelola kehutanan yang transparan; perlindungan masyarakat adat.
Jika deforestasi meningkat, insentif bisa dikurangi atau dihentikan. Ini penting karena: Menghindari “cek kosong”dan menjawab kritik lama soal bantuan lingkungan yang tak berdampak.
Ketiga, Skala Global. TFFF menargetkan dana hingga US$125 miliar dalam jangka panjang. Jika tercapai, ia akan menjadi: Mekanisme konservasi hutan terbesar dalam sejarah; dan penopang utama agenda iklim global pasca-Paris Agreement
Mengapa Indonesia Ikut Berkontribusi, Bukan Sekadar Menerima?
Ini poin strategis yang sering disalahpahami publik.
Pertama, Indonesia Tidak Diposisikan sebagai “Penerima Bantuan.” Dengan berkomitmen sekitar US$1 miliar, Indonesia naik kelas menjadi co-architect tata kelola lingkungan global, tidak lagi hanya “objek” tekanan Barat soal deforestasi. Secara simbolik: Indonesia duduk di meja perumus aturan, bukan di kursi terdakwa.
Kedua, Konsistensi Narasi Global South. Langkah ini selaras dengan posisi Indonesia di G20, BRICS, dan pemimpin negara berkembang (Global South). Indonesia mengirim pesan: Negara Selatan bisa memimpin solusi, bukan sekadar diminta berkorban.
Ketiga, Investasi Diplomatik, Bukan Sekadar Lingkungan. Kontribusi Indonesia memberi leverage diplomatik dalam isu iklim, karbon, dan perdagangan hijau. Ini juga modal tawar dalam negosiasi carbon market, CBAM Uni Eropa, pembiayaan transisi energi. Dengan kata lain: Ini investasi geopolitik hijau.
Apakah Ini Menguntungkan Indonesia Secara Langsung?
Secara jangka pendek, mungkin tidak terasa. Namun secara jangka menengah–panjang, potensinya besar.
Yakni, akses preferensial pendanaan iklim; pengakuan internasional atas model pengelolaan hutan Indonesia; penguatan posisi Indonesia dalam pasar karbon global; dan proteksi kepentingan sawit, kehutanan, dan UMKM hijau dari diskriminasi kebijakan Barat.
Mengapa Ada Resistensi dari AS dan Negara Tertentu? Hal ini karena TFFF mengurangi dominasi lembaga keuangan Barat tradisional, dan memperkuat peran negara berkembang dalam desain rezim iklim. Ini bisa menjadi preseden baru: negara kaya membayar secara adil, bukan menggurui. Bagi sebagian kekuatan lama, ini menggeser pusat gravitasi tata kelola iklim global.
Kesimpulan Strategis
Komitmen Indonesia terhadap TFFF bukan kedermawanan naif, melainkan langkah strategis, simbolik, dan struktural. Ini merupakan upaya menegosiasikan ulang hubungan Utara–Selatan.
Ini juga penempatan Indonesia sebagai aktor penentu masa depan tata kelola iklim Jika dikelola konsisten, TFFF bisa menjadi: “OPEC-nya hutan tropis”—di mana hutan bukan beban, tetapi aset geopolitik dan ekonomi.
Depok, 13 Desember 2025 ***