Aktivis-Seniman Isti Nugroho Terbitkan Antologi Cerpen: Mengkritik Kekerasan Negara dengan Spirit Cinta
ORBITINDONESIA.COM - Aktivis demokrasi dan seniman Isti Nugroho menerbitkan antologi cerpen “Negara Merobek Selimut Ibu”. Buku setebal 146 halaman ini telah dirilis pertengahan Desember 2025 dan mendapatkan apresiasi dari publik sebagai karya yang secara tajam tapi estetis mengritik kekerasan negara, dengan spirit cinta.
Buku itu memuat tiga cerpen bertema selimut. Yaitu, “Selimut Merah” karya Isti Nugroho, “Selimut Janda Sugiyah” karya Kamerad Kanjeng dan “Selimut Membungkus Bulan” karya Indra Tranggono.
“Tiga cerpen itu menggali dan mengeksplorasi pengalaman ibu tiri saya bernama Sugiyah. Ia menderita karena terimbas kasus politik yang saya alami. Pada tahun 1988, Orde Baru menahan dan menyiksa saya, karena saya dituduh menyebarkan paham kiri. Penderitaan saya paralel dengan penderitaan ibu tiri saya,” ujar Isti Nugroho di Jakarta, Senin, 15 Desember 2025. Buku ini diterbitkan Yayasan Budaya Guntur 49 yang dikelola Isti Nugroho dan kawan-kawan. Beayanya, diupayakan secara mandiri.
Isti menceritakan, Bu Sugiyah setiap waktu melipat selimut yang biasa dipakai Isti tidur. Lalu, selimut itu dia bongkar kembali, kemudian dilipatnya lagi berulang kali.
“Itu merupakan cara ibu saya untuk bertahan, di mana ia selalu merasakan saya hadir dalam pelukannya. Lewat selimut itu, ibu saya juga berupaya memberikan kehangatan batin untuk saya, yang berada di tahanan militer. Ada kehangatan, ada juga doa…” tutur Isti.
Pembocoran Dunia Korban
Cerpenis Joni Ariadinata, dalam epilognya di buku ini mengatakan, tiga cerpen tentang selimut merupakan transformasi kreatif atas pengalaman Isti Nugroho sebagai korban kekerasan Orde Baru. Yang dikupas bukan hanya kekerasan negara, tapi juga persoalan-persoalan manusiawi tokoh-tokoh yang terlibat sebagai korban. Meskipun berbasis pada pengalaman riil, tiga cerpen ini tetap hadir sebagai dunia alternatif imajiner yang menggugah dan menyentuh.
“Saya harus memuji selipan unsur romantis yang membuat cerpen Karya Isti Nugroho menjadi indah, dan mengundang lebih dalam sisi empati. Tokoh Arum yang dimunculkan pada adegan seperempat akhir, mencairkan sisi keras penuh dendam, menjadi lebih seimbang. Ada potret kebinatangan yang banal, tapi ada potret kemanusiaan yang lembut menyejukkan,” ulas Joni Ariadinata yang menggolongkan tiga cerpen bertema selimut ke dalam sastra terlibat.
Sedangkan penyair, budayawan, dan peneliti Denny JA dalam prolognya mengatakan, “Buku ini adalah zikir kemanusiaan di tengah reruntuhan ideologi. Di sini para penulis cerpen menegaskan bahwa pelipat selimut, janda, dan aktivis yang disiksa bukanlah tokoh pinggiran—mereka lah penjaga moral bangsa. Di tengah kekuasaan yang menindas, tugas manusia bukan sekadar melawan, tapi tetap menjadi manusia.”
Dikatakan Denny JA, dari tiga cerpen “selimut”, tiga dunia lahir: realisme getir, sejarah subversif, dan spiritualitas yang puitik. Kisah ini bukan fiksi belaka. Ia berakar pada pengalaman nyata Isti Nugroho. Ia mantan aktivis mahasiswa yang ditahan di Kodim Yogyakarta tahun 1988 karena mendiskusikan karya Pramoedya Ananta Toer. Ini sastrawan yang kala itu dianggap berbahaya hanya karena menulis tentang kemanusiaan. Di zaman ketika membaca Pram adalah tindak subversif, makna “selimut” bukan lagi sekadar kain penghangat. Ia menjadi penanda kasih seorang ibu di tengah negara yang membeku oleh ketakutan.
Respons Menteri HAM
Natalius Pigai, Menteri Hak Asasi Manusia RI memberikan respons positif. Cerpen bisa melampaui dirinya sebagai karya sastra ketika berhasil menghadirkan persoalan-persoalan besar bangsa, misalnya hak asasi manusia.
“Dalam konteks HAM dan demokrasi, ketiga cerpen dalam buku ini menjadi penanda penting atas masa represif Orde Baru. Di dalamnya ada warning , jangan sampai represi yang menggerus hak asasi manusia kembali terulang,” ujar Natalius Pigai.
Ifdhal Kasim, advokat dan Ketua Komnas HAM 2006-2021 mengatakan judul Negara Merobek Selimut Ibuku, sangat metaforik tentang selimut. Selimut sebagai penanda metaforik kehangatan di kala dingin melanda; metafora negara yang seharusnya melindungi kreativitas warganya, namun nyatanya telah dirobek dan dibuang oleh banalitas kejahatan Orde Baru. Negara bukan lagi selimut hangat melainkan diubah oleh rezim menjadi selimut pocong nan horor.
Ketiga penulis: Isti Nugroho, Kamerad Kanjeng dan Indra Tranggono berusaha mengisahkan sejarah Orde Baru sebagai pocong yang menakutkan bagi kaum muda pada masa itu.
“Antologi cerpen ini sangat tepat diterbitkan saat ini, ketika para penjahat HAM justru dipahlawankan. Sangat penting dibaca oleh kaum muda saat ini guna mengetahui sejarah kelam sebagai pembelajaran tentang berbagai kemungkinan kekelaman yang bakal terjadi pada masa depan,” tutur Ifdhal Kasim.
Sementara itu, seorang lulusan S2 bernama Aurora Larasati mengatakan, “Saya lahir tahun 1991. Tidak mengalami represi Orde Baru. Namun, membaca tiga cerpen yang dimuat di dalam buku ini, hati saya benar-benar tergetar. Nurani saya pun tergedor. Betapa kejamnya rezim militer Orde Baru. Kekejaman itu telah melampaui batas kemanusiaan. Tiga cerpen karya Isti Nugroho, Kamerad Kanjeng dan Indra Tranggono mampu melukiskan dengan indah penderitaan tokoh utama dan ibu tirinya.”
Seorang peneliti feminis Ruth Indah Rahayu mengatakan, buku ini menjadi bukti konsistensi Isti Nugroho dalam mengembangkan literasi politik dan budaya, sejak tahun 1980-an hingga kini. Dia selalu siap menerima risiko. Tidak kapok, meskipun pernah dipenjara. Buku ini menghadirkan sejarah kelam politik yang bisa jadi pembelajaran bagi anak-anak muda.
Penyair Fatin Hamama menilai cerita pendek karya Isti Nugroho, Kamerad Kanjeng dan Indra Tranggono menjadi airmata yang lebih pekat dari hitam kopi. Kesudahan yang pahit pada zamannya di tirai sejarah. Kita merenung di dalamnya . Dalam tangis bersama.
Penikmat sastra Azelia Yinka Wulandari, lulusan Universitas Bina Nusantara jurusan HI tahun 2023 yang kini bekerja di BP Taskin mengatakan, Isti Nugroho, Kamerad Kanjeng, Indra Tranggono, tiga penulis hebat yang telah menciptakan karya berisi nilai kebenaran dan keadilan, yang kerap hilang dari ingatan manusia. Mereka menulis dengan cara sederhana, tapi amat menyentuh hati.
“Membaca tiga cerpen karya mereka, saya merasa sedang menyusuri lorong sejarah yang terlupakan. Berbicara lewat kasih, tanpa penghakiman,dan usaha untuk menggurui. Karya yang berisi makna untuk menunjukkan bahwa di balik politik dan kekuasaan, selalu ada ruang kecil bernama cinta yang menolak padam,” ujar Azelia.
Adapun menurut Dewi Ratnawulan, adviser Gender and Social inclusive ad Rapi Asia Co ltd, para penulis berhasil menghidupkan episode-episode ini, mencampurkan yang personal, politik, dan sejarah dengan cara yang inspiratif tapi juga bikin kita berpikir.
“Buat siapa pun yang ingin mengerti keberanian untuk bicara benar ke penguasa—dan harga manusiawi yang sering harus dibayar—cerita-cerita ini jadi pengingat yang kuat,” tandasnya.
Isti menekankan, penerbitan buku cerpen ini menjadi bagian dari pewarisan nilai-nilai pengalaman, sejarah dan pengetahuan melalui karya sastra. Terutama bagi generasi milenial dan Gen Z.
“Legacy literasi macam ini penting bagi mereka untuk tahu dan paham bahwa kebebasan yang kini dinikmati secara bersama tidak lepas dari perjuangan para aktivis senior melawan rezim tiranik. Itu bisa menjadi modal kultural bagi anak-anak muda untuk menghadapi distopia politik ke depan, yang akan terjadi dan mungkin lebih kompleks dari distopia yang dihadapi angkatan sebelumnya,” tutur Isti. ***