Gunawan Trihantoro: Desember yang Bersaksi
Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah dan Ketua Satupena Kabupaten Blora
ORBITINDONESIA.COM - Desember selalu identik dengan penutup tahun, refleksi, dan perenungan atas perjalanan hidup manusia. Di titik inilah Bulan Puisi Esai hadir sebagai ruang bersama untuk menyimpan kesaksian, bukan sekadar kenangan.
Bulan Puisi Esai bukan hanya agenda sastra, melainkan gerakan literasi yang memiliki kesadaran sosial. Ia mengajak publik menjadikan pengalaman hidup, luka sejarah, dan fakta sosial sebagai teks yang bernyawa.
Gagasan ini berakar dari pemikiran Sang Maestro Denny JA, yang melihat sastra tidak boleh berhenti pada estetika. Sastra, dalam pandangannya, harus berani menyentuh realitas dan menghadirkan empati berbasis data.
Puisi esai lahir sebagai genre hibrida yang menyatukan daya gugah puisi dan ketajaman esai. Ia tidak malu mengutip fakta, statistik, bahkan catatan kaki untuk memperkuat kejujuran narasi.
Dalam puisi esai, imajinasi tidak terbang bebas tanpa pijakan. Metafora justru tumbuh dari kenyataan, dari peristiwa nyata yang dialami atau disaksikan manusia.
Inilah pembeda utama puisi esai dengan puisi liris konvensional. Puisi esai berpijak pada kesaksian, bukan sekadar perasaan personal yang abstrak.
Bulan Puisi Esai menjadikan Desember sebagai momentum yang simbolik dan strategis. Akhir tahun dipilih karena manusia cenderung membuka ingatan dan nurani pada fase ini.
Menulis di bulan Desember berarti menulis dengan kesadaran waktu. Ada jarak reflektif antara peristiwa dan penulisan, sehingga emosi lebih jernih dan tanggung jawab lebih matang.
Gerakan ini mendorong setiap orang menjadi saksi atas zamannya sendiri. Kesaksian itu penting agar ketidakadilan tidak mengendap menjadi lupa kolektif.
Dalam sejarah, banyak tragedi berulang karena manusia gagal menuliskannya. Puisi esai hadir untuk memutus rantai lupa tersebut melalui bahasa yang menggugah.
Berbasis fakta, puisi esai menolak manipulasi emosi yang kosong. Ia justru mempertemukan empati dan akurasi dalam satu ruang estetika.
Catatan kaki dalam puisi esai sering disalahpahami sebagai beban akademik. Padahal, ia adalah penanda etika, bahwa rasa harus bertanggung jawab pada kebenaran.
Di sinilah puisi esai menjadi jembatan antara sastra dan ilmu sosial. Ia dapat dibaca dengan hati, sekaligus diuji dengan nalar.
Bulan Puisi Esai juga menghadirkan ekosistem pembelajaran yang inklusif. Program “Kakak Asuh dan Kurator Puisi Esai” membuka ruang dialog lintas generasi penulis.
Penulis berpengalaman tidak berdiri sebagai hakim estetika. Mereka hadir sebagai pendamping yang membantu mengasah kejujuran dan struktur berpikir.
Model ini menumbuhkan budaya literasi yang sehat dan berkelanjutan. Menulis tidak lagi menjadi aktivitas elitis, tetapi kerja kolektif yang membumi.
Hasil dari proses ini bukan sekadar teks digital yang cepat hilang. Buku antologi puisi esai menjadi arsip sosial yang bernilai jangka panjang.
Upaya yang dilakukan oleh komunitas dan organisasi seperti Satupena Jawa Tengah menunjukkan daya replikasinya. Puisi esai tidak terpusat, melainkan tumbuh di berbagai daerah dengan konteks lokal yang kuat.
Ini menandai masa depan sastra Indonesia yang lebih demokratis. Sastra tidak hanya lahir dari pusat, tetapi dari pinggiran yang selama ini sunyi.
Bulan Puisi Esai juga relevan dengan generasi muda yang hidup di era pascakebenaran. Di tengah banjir opini, puisi esai menawarkan narasi yang terverifikasi dan reflektif.
Ia mengajarkan bahwa bersuara tidak cukup lantang, tetapi harus jujur. Bahwa keindahan bahasa seharusnya memperkuat makna, bukan menutupinya.
Masa depan puisi esai sangat terbuka dalam dunia pendidikan. Genre ini dapat menjadi media literasi kritis di sekolah dan perguruan tinggi.
Siswa tidak hanya belajar menulis indah, tetapi juga berpikir etis dan kontekstual. Mereka diajak memahami realitas sosial melalui bahasa yang manusiawi.
Dalam jangka panjang, puisi esai berpotensi menjadi dokumen peradaban. Ia merekam suara mereka yang sering tidak tercatat dalam sejarah resmi.
Desember, melalui Bulan Puisi Esai, berubah menjadi ruang arsip nurani bangsa. Setiap puisi adalah saksi kecil yang menolak diam.
Denny JA, dengan gagasan ini, tidak sekadar melahirkan genre baru. Ia membuka jalan agar sastra kembali menjadi alat peradaban.
Puisi esai mengingatkan kita bahwa kata-kata memiliki tanggung jawab sosial. Bahwa menulis adalah tindakan moral, bukan hanya estetika.
Bulan Puisi Esai akhirnya bukan tentang siapa yang paling puitis. Ia tentang siapa yang berani bersaksi dengan jujur dan bertanggung jawab.
Di tengah dunia yang mudah lupa, puisi esai memilih untuk mengingat. Dan Desember menjadi bulan ketika ingatan itu dirayakan bersama. ***