DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Satrio Arismunandar: Sekolah Muhammadiyah di Daerah 3T Bisa Jadi Model Dialog Antar-Umat Beragama

image
Dr. Satrio Arismunandar tentang sekolah Muhammadiyah.

ORBITINDONESIA.COM - Sekolah-sekolah Muhammadiyah di luar Jawa, khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), bisa menjadi salah satu model dialog antar-umat beragama. Hal itu dikatakan Sekjen SATUPENA, Dr. Satrio Arismunandar.

Satrio Arismunandar mengomentari diskusi bertema “Kristen Muhammadiyah. Apakah itu suatu aliran baru?” Diskusi di Jakarta, Kamis malam, 9 November 2023 itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai penulis senior Denny JA.

Diskusi  yang dikomentari Satrio Arismunandar itu menghadirkan pembicara Fajar Riza Ul Haq, penulis dan cendekiawan Muhammadiyah. Diskusi itu dipandu oleh Elza Peldi Taher dan Swary Utami Dewi.

Baca Juga: Hari Minggu, Taman Mini Indonesia Indah Gelar Parade Tari Nusantara, Claudia Ingkiriwang: Mengangkat Budaya

Menurut Satrio, hasil penelitian Fajar Riza Ul Haq bersama Abdul Mu’ti menunjukkan, sekolah-sekolah Muhammadiyah di luar Jawa, di mana banyak siswanya adalah nonmuslim, berhasil menjadi jembatan atau sarana bagi konvergensi sosial berbagai umat yang berbeda agama.

“Yang unik, para siswa Kristen atau Katolik yang belajar di sekolah Muhammadiyah itu tetap berpegang pada agamanya. Sedangkan siswa Muslim di sekolah Muhammadiyah juga tidak pindah agama setelah berinteraksi dengan mereka,” lanjut Satrio.

“Jadi perjumpaan atau dialog di sekolah antar-umat beragama itu meningkatkan toleransi dan saling pengertian, sekaligus menghilangkan berbagai prasangka, tanpa membuat seseorang berpindah agama,” ujar Satrio.

Satrio menuturkan, salah satu isyarat kesuksesan perjumpaan atau dialog itu adalah ada siswa Kristen yang lulus dari sekolah Muhammadiyah, dan lalu sukses berkarir di pemerintahan daerah.

Baca Juga: Kemenkumham dan Institut Leimena akan Gelar Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya

“Mereka bangga menjadi lulusan sekolah Muhammadiyah, bahkan merasa menjadi bagian dari Muhammadiyah. Padahal mereka itu nonmuslim. Ini hal yang menarik!” jelas Satrio.

Ada juga siswa Katolik, yang sesudah lulus dari sekolah Muhammadiyah, lalu diangkat menjadi pemuka agama Katolik di wilayahnya. Mereka tetap menjalin hubungan baik dengan para guru dan pengajarnya di Muhammadiyah.

Satrio menyatakan, dialog antaragama --seperti dicontohkan di sekolah Muhammadiyah-- melibatkan komunikasi yang terbuka dan saling menghormati antara individu atau kelompok yang berbeda tradisi agama.

“Tujuannya adalah untuk menumbuhkan pemahaman, meningkatkan toleransi, dan membangun jembatan antar umat beragama,” tambahnya.

Baca Juga: Dr Abdul Aziz: Robohnya Mahkamah Konstitusi Kami

Ada beberapa aspek penting dari dialog antaragama. Pertama, dialog antaragama dimulai dengan upaya tulus untuk memahami dan menghormati keyakinan, praktik, dan nilai-nilai orang lain. Ini melibatkan mendengarkan secara aktif dan kemauan untuk belajar satu sama lain.

Kedua, mengidentifikasi kesamaan dan nilai-nilai bersama merupakan aspek penting dalam dialog. Hal ini membantu membangun hubungan dan menekankan rasa kemanusiaan bersama, yang melampaui perbedaan agama.***

 

Berita Terkait