DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Kapitalisasi Identitas Arab

image
Ilustrasi: Identitas Arab tak jarang dikapitalisasi secara tidak proporsional (Dok/Freepik)

ORBITINDONESIA.COM - Sebagian orang menganggap semua orang Arab itu keturunan Nabi Muhammad yang harus dimuliakan dan ditaati. Identitas Arab lalu dikapitalisasi atau dikomodifikasi untuk berbagai kepentingan: sosial, politik, dan ekonomi.

Bagi sebagian masyarakat Muslim Indonesia, Arab itu identik dengan Islam. Menampilkan kearaban atau menggunakan atribut Arab bukan sekadar persoalan kultural, melainkan merupakan simbol keislaman dan kesalehan.

Identitas Arab bahkan dipandang sebagai simbol kedekatan dengan Tuhan karena ada keterhubungan dengan tanah suci Mekkah-Madinah, kota yang menjadi asal Islam dan tempat Ka’bah yang merupakan kiblat umat Islam berada.

Baca Juga: Hasil Liga Inggris: Man United Keok di Kandang West Ham, Blunder David De Gea Jadi Pemicu

Karena itu, proses tercepat ”menjadi Arab” bisa dilakukan dengan melaksanakan ibadah haji dan umrah.

Sebagian masyarakat kita secara salah juga menganggap semua orang Arab itu merupakan keturunan Nabi Muhammad yang harus dimuliakan dan ditaati.

Dengan hidup dan berkembangnya pandangan seperti itu, mereka yang dari Arab atau berwajah dan berpenampilan Arab lantas bisa dengan mudah diterima dan mendapat tempat terhormat di masyarakat.

Tak jarang, mereka langsung dianggap memiliki otoritas keagamaan dan intelektual meski tak pernah menempuh pendidikan agama atau latar belakang kehidupannya tak pernah dekat dengan kesalehan sekalipun.

Baca Juga: Syaefudin Simon: Menulis di Kota Suci

Identitas Arab, karenanya, bisa dikapitalisasi atau dikomodifikasi untuk berbagai kepentingan, termasuk memperkuat posisi sosial dan politik seseorang serta memperoleh manfaat ekonomi tertentu.

Inilah yang menyebabkan munculnya fenomena habib-habiban, born-again habib, imitasi penampilan Arab di medan dakwah dan berbagai media massa.

Bagaimana sebagian masyarakat kita itu begitu terobsesi dengan kearaban (Arabness). Mereka kerap meniru atau berusaha menjadi Arab dalam mode berpakaian, mengikuti gestur (gerak-gerik) orang Arab, mendengarkan musik padang pasir, memakai nama-nama Arab, mengikuti selera kuliner Arab, dan bahkan menggunakan kosmetik Arab.

Peristiwa budaya seperti ini mudah dijumpai pada saat ritual keagamaan, seperti acara haul (peringatan kematian). Juga bisa dilihat pada upacara keberangkatan dan kepulangan ibadah haji.

Baca Juga: Arsenal Sukses Bawa Pulang 3 Poin Dari Kandang Newcastle United, Perebutan Posisi 4 Besar Kian Menarik

Identifikasi Arab ini pula yang menjadi salah satu landasan dalam berpolitik dan berorganisasi sosial masyarakat kita.

Karena identifikasi Arabnya lebih banyak, misalnya, dulu orang lebih tertarik bergabung ke ormas Islam radikal seperti Front Pembela Islam (FPI) yang sekarang sudah di bubarkan.

Kerancuan terjadi ketika gelombang habib-habiban belakangan ini memanfaatkan penghormatan masyarakat terhadap kearaban untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka. Seperti halnya dengan FPI, politisasi dan komersialisasi identitas Arab itu juga berhasil dalam beberapa kasus.

Contoh yang paling menonjol tentu saja dalam bidang dakwah dengan popularitas dai atau penceramah yang berpenampilan dengan mode Arab atau mengidentifikasi dirinya sebagai habib.

Baca Juga: Contoh Gampang Materi Amanat Pembina Upacara Bendera Hari Senin untuk SD, SMP, SMA tentang Kebersihan

Untuk menghindari upaya politisasi dan menjual identitas untuk kepentingan ekonomi dan keagamaan tertentu, sebagian keturunan Arab di Indonesia berusaha menghilangkan identitas Arab dari dirinya.

Ini di antaranya dilakukan oleh Haidar Bagir yang dengan penuh kesadaran tidak memakai marga Alhabsyi dalam namanya karena tak ingin diidentifikasi sebagai ’Arab’ dan lebih senang dianggap sebagai bangsa Indonesia.

Hal serupa juga dilakukan ayahnya yang menolak memakai pakaian Arab dalam berceramah dan lebih memilih memakai pakaian khas Indonesia dengan sarung dan songkok hitamnya, bukan jubah dan kopiah putih ala habaib.

Ia juga mengubah nama sekolah yang didirikan keluarganya yang semula bernama Rabithah al-Alawiyah menjadi Sekolah Diponegoro. Langkah ini mengikuti apa yang pernah dilakukan sebagian besar walisongo yang melepaskan identitas Arab dalam proses akulturasi dan menyatu dengan masyarakat.

(Oleh: Mbah Toyib) ***

Berita Terkait