DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Puisi Esai Denny JA: Benda Pusaka yang Berdarah

image
Benda Pusaka yang Berdarah adalah Salah Satu Judul Puisi Esai dari Denny JA.

 

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA – Konflik antaretnis yang mengiris rasa kemanusiaan amat dirasakan oleh pegiat hak azasi manusia, Denny JA.

Salah satu konflik antaretnis di Lampung antara suku Bali dan Lampung adalah salah satu yang membuat keprihatinan mendalam seorang Denny JA.

Ia kemudian menulis puisi esai untuk menunjukkan keprihatinannya terhadap konflik antarenis di Lampung yang berlangsung pada 2012.

"Benda Pusaka yang Berdarah"

Langit di luar bergolak.

Tapi langit di dalam jiwa Prabu lebih bergolak lagi.

Hujan deras dan petir mengepung kota Jakarta.

 

Prabu duduk di Kafe.

Sendiri.

Terpisah.

Menarik jarak dari kerumunan.

Menjelang tengah malam.

 

Dibacanya lagi teks WA japri dari Ibunda tercinta:

 

“Prabu, pulanglah.

Mungkin ini terakhir kali kau melihat Ayahmu.

Keluarga sudah kumpul di sini.”

 

Tiga kali sudah Ibu mengirim pesan yang sama. Hanya  kata- katanya saja yang beda.

Tiga pesan dalam seminggu ini.

 

10 tahun sudah Prabu meninggalkan Lampung.

10 tahun sudah ia berniat tak lagi menemui Ayah.

 

Bekas luka di tangan kirinya tak hilang.

Luka di hatinya lebih membekas.

 

Keras sekali Ayah memukulnya, 10 tahun lalu.

Keras sekali suara Ayah kala itu: “Pergi kau dari sini. Kau bukan anakku lagi. Kau durhaka pada leluhurmu.”

 

Semua bermula dari konflik etnis Lampung dan etnis Bali, 2012.

10 tahun lalu.

 

Musik blues di kafe kota Jakarta terus mengalun.

Hujan deras saat itu menambah syahdu.

 

Prabu sudah 5 jam duduk di kafe.

Tapi pikirannya tidak di sana.

 

Prabu teringat awal mula pertengkaran kerasnya dengan Ayah.

 

Penduduk desanya, desa Agom, di Lampung Selatan, sedang membara.

Api berkobar di banyak hati pemuda desa.

 

Malam itu, Prabu bersama 500 orang menyerbu desa Balinuraga, pemukiman etnis Bali.

 

Berlindung di gelap malam, mereka mengendap.

Ada yang membawa kayu, senapan api, golok, parang.

Bayu sendiri membawa candung.

Ini golok khas Lampung.

 

Ketika sudah masuk desa Balinuraga, mereka mulai serentak bergerak.

“Serbu!

Serang!

Bakar!”

 

Malam yang sepi berubah.

Jeritan ketakutan, tangisan, bercampur makian, hujatan.

Angin gelisah.

Pohon-pohon berdiri kaku.

 

“Hei, kaum kafir.

Enyah kalian dari tanah kami.

Kalian pendatang.

Makan babi.

Penyembah berhala.

Kalian mau sok jagoan di sini.”

 

“Toloooong…”

Ampun…”

 

Tak lagi jelas siapa berteriak apa.

Suasana chaos.

Api di mana-mana.

 

Sekitar 2000 lebih orang Bali di sana terkocar-kacir.

Tewas 14 orang.

Puluhan rumah terbakar.

Lebih dari 1000 orang Bali mengungsi, dibantu polisi.

 

Esok pagi, Prabu masih tidur.

Ayah masuk ke kamarnya.

Ayah bangunkan Prabu, menarik dua kerah baju Prabu, memaksanya bangun, dan menyenderkannya ke dinding.

 

“Bangsat, kau!”

Bertubi-tubi tamparan dan pukulan mendarat di wajah Prabu.

 

Ibu ada di sana, hanya bisa menangis.

 

Ayah membawa candung itu, golok asli Lampung.

Masih ada bekas darah di sana.

 

“Hei, bangsat. Ini bukan sembarang candung.

Ini benda pusaka.

Ini warisan keluarga turun-temurun.”

 

“Ayah mati-matian merawatnya, menjaga kesuciannya.”

 

Lalu Ayah menunjuk candung itu.

 

“Ini darah siapa?

Kau membunuh orang dengan benda pusaka ini?

Sejak kapan kau menjadi pembunuh?

Tak ada jejak pembunuh sejak leluhur kita.”

 

“Kurang ajar, Kau!”

Kembali pukulan Ayah bertubi-tubi mendarat di wajah dan tubuh Prabu.”

 

“Cukup Ayah, cukup.”

Ibu melerai, sambil menangis.

“Ampun Gusti,” teriak ibu.

 

Prabu bisa saja memukul balik Ayah.

Badan Prabu lebih besar.

Tapi ia tak lakukan itu.

Prabu hanya membela diri:

 

“Dengar Ayah.

Aku membela warga desa.

Orang Bali di sana hampir memperkosa sahabatku.”

 

“Aku berdiri di sana.

Mengambil resiko.

Bersama pemuda lain.

Ayah di mana malam itu?

Ayah pengecut!

Memilih aman, berdiam di rumah.”

 

Ayah bertambah marah:

“Semakin kau kurang ajar!

Bukan Ayah pengecut.

Ayah tak punya darah pembunuh.”

 

Ayah kembali memukul Prabu.

Ibu yang menghalangi terpelanting, jatuh.

Ayah kaget melihat ibu jatuh. Ia menghampiri Ibu, membantu berdiri.

 

“Buka mata, Ayah,” sambung Prabu.

Itu golok biasa. Tak ada yang pusaka di sana. Ayah saja tergila-gila dengan benda pusaka.

Golok untuk memotong.

Bukan untuk pajangan.

Apalagi dikeramatkan!”

 

Kemarahan Ayah sampai pada puncak.

“Kau durhaka pada leluhurmu.

Keluar kau dari sini.

Aku tak ingin di rumahku ada pembunuh.

Kau bukan anakku lagi.”

 

Ibu menangis.

Itulah hari terakhir Prabu berjumpa Ayah.

 

Ibu mengatur kepergian Prabu, ke Jakarta. Prabu tinggal bersama Paman, adik ibu.

 

Langit berubah warna.

Hidup Prabu berubah arah.

 

Prabu awalnya merasa dibuang ke Jakarta.

Namun lama kelamaan, ia suka.

 

Di Jakarta, Prabu sudah bekerja.

Ia sudah menikah.

Ayah tak datang ketika ia menikah.

Hanya ibu dan adik-adik yang datang.

 

Ada rasa sedih di hati Prabu.

Ayah tak lagi hadir dalam perjalanan penting hidupnya.

 

Prabu juga tak pernah mengajak istrinya, orang Betawi, pulang ke Lampung Selatan menjenguk Ayah.

 

Ketika lahir anaknya,

Ayah juga tak pernah menyapa.

Selalu, hanya ibu dan adik-adik yang berkomunikasi.

 

Prabu menyatakan ke dirinya sendiri.

Ayahnya sudah mati.

“Aku tak lagi punya Ayah,” seru Prabu ditanamnya dalam-dalam di hati.

 

Tapi memang kisah konflik etnis Lampung dan Bali tak pernah hilang.

Prabu selalu dihantui ini peristiwa.

 

Prabu selalu ingin tahu perkembangannya.

 

Lima tahun sesudah konflik, di tahun 2017, Prabu membaca berita.

 

Mantan Kepala Desa Agom, Pak Mu ditangkap.

Ia dituduh memeras. (1)

 

Prabu teringat pertengkarannya dengan Ayah.

Itu sebelum desa Agom menyerbu Balinuraga.

 

“Pak Mu, bukan pemimpin yang baik. Jangan kau terlalu memujanya,” kata Ayah.

 

Saat itu, Prabu sangat yakin.

Pak Mu kepala desa teladan.

Pikir Prabu, Ayah hanya cemburu saja.

Prabu sangat dekat dengan Pak Mu.

 

Prabu juga masih ingat upaya damai dengan Balinuraga sebelum desa Agom menyerbu.

 

Pak Mu yang berdiri di depan. Ia memegang komando.

Tapi memang perundingan sangat alot.

 

Ujar Pak Mu: “Itu isu sudah melenceng jauh. Tak ada pelecehan seksual. “

 

Pak Mu juga membantah.

“Tak benar bentrokan disebabkan kesenjangan ekonomi.”

 

“Masih banyak warga desa Agom Lampung yang lebih mapan dibandingkan orang Bali.

 

Tapi memang Pak Mu tak berbuat lebih. Ia sebenarnya bisa mencegah.

Ia bisa menahan 500 penduduk desa Agom tak menyerang Balinuraga. (2)

 

Selaku kepala desa,

Pak Mu didengar.

 

Keluarga Lampung yang anak putrinya dilecehkan sudah mengalah.

Asalkan ada ganti rugi setimpal yang dibayar orang Bali, sesuai hukum adat.

 

Pak Mu mewakili desa Agom sudah berunding dengan desa Balinuraga.

 

Tapi kini Prabu menyadari.

Pak Mu hanya lincah meliuk- liuk dengan kata.

Tapi tak kuat dalam tindak nyata.

 

Setelah mendengar kasus Pak Mu ditangkap, 5 tahun kemudian, Prabu membenarkan pandangan Ayah.

Pak Mu bukan pemimpin baik.

 

Baik dan buruknya kepala desa menjadi kata akhir.

Itu jadi penentu amuk massa, penyerangan, kekerasan.

 

Gara- gara amuk massa itu, hidup Prabu berubah.

Prabu tak lagi merasa punya Ayah.

 

Prabu akhirnya mengalah.

Permintaan Ibu ia turuti.

Secepatnya, Prabu pulang ke Lampung Selatan.

Kembali ke desa Agom.

 

Ada rasa yang pilu. Hening. Senyap.

 

Itu saat Prabu menginjak kembali tanah desa Agom.

“Oh, di sini aku dilahirkan.

Di sini aku tumbuh remaja.

Ini tanah hampir saja aku lupakan.”

 

Sesampai di rumah,

Ayah sudah wafat.

Keluarga besar menangis.

Prabu heran, mengapa dirinya tak bisa menangis.

 

Jarak batinnya dengan Ayah sudah begitu jauh. Dingin.

 

Prabu ikuti saja pemakaman.

Ia hadir tahlilan hari pertama hingga hari ketiga kematian.

 

Di hari ketiga, Ibu mengajak Prabu bicara. Empat mata saja.

 

“Sebelum wafat, Ayahmu berpesan. Candung ini harus diserahkan kepadamu. Kau anak lelaki tertua. Nanti candung ini kau serahkan lagi ke anak lelaki tertuamu. Ini tradisi sejak leluhurmu.”

 

Prabu keberatan.

“Ibu saja yang simpan.”

 

Ibu marah.

“Jangan kau paksa Ibu melanggar permintaan Ayahmu.”

 

“Itu amanah. Ibu harus laksanakan. Setelah itu, terserah dirimu. Jika kau mau buang candung ini, itu resiko hidupmu sendiri.”

 

Prabu akhirnya menerima candung itu.

 

Prabu niatkan, ke Jakarta pulang naik kapal laut saja.

Di tengah laut, ia akan buang candung ini.

Ia tak percaya benda pusaka.

Candung ini pula penyebab kemarahan Ayah.

 

Kapal laut bergerak ke Jakarta, lewat Merak.

Di tengah laut, Prabu mengeluarkan candung.

Siap-siap, ia akan membuang candung  itu.

 

Dilihatnya Candung untuk terakhir kali.

Dirabanya pegangan candung.

Kata Ayah leluhurnya yang mengukir.

Didahului puasa 7 hari.

 

Prabu meraba pegangan golok Lampung itu.

Entah mengapa, ada rasa hening menyusup ke hati.

 

Ketika candung akan dilemparkannya ke Laut,

cahaya memancar dari candung.

 

Cahaya berkilau.

Cahaya memancar.

Sejuk sekali.

Silau sekali.

 

Ini peristiwa sekilas saja.

Hitungan detik.

 

Prabu terkaget.

Ia jatuh terduduk.

Cahaya dari candung itu

terasa gaib, aneh, unik, menyentak.

 

Cahaya itu menyihir Prabu kembali ke masa lalu.

Ia masih kanak- kanak.

Ada Ayah di sana.

 

Oh itu peristiwa.

Prabu masih ingat.

Usianya 5 tahun.

Kaki Prabu luka terkena kaca.

 

Ayah berlari mengendongnya, menuju rumah sakit terdekat.

“Tahan ya Nak, tahan sakitmu.

Bagi ke Ayah sakitmu.

Kau akan sembuh.”

 

Saat itu, Prabu menangis.

Sakit sekali.

Dipeluknya Ayah yang terus berlari mengendongnya.

Prabu merasa dilindungi.

Disayangi.

Dicintai.

 

Ayah ikut menginap di rumah sakit.

Prabu masih ingat.

Ayah selalu menemani.

Menyeka air matanya.

Menguatkan hatinya.

Memeluknya.

Hangat sekali.

 

Ibu di rumah, jaga adik-adik.

 

Pulang dari rumah sakit,

Ayah membelikan Prabu pedang-pedangan.

Prabu sudah minta itu dari dulu.

 

Di geladak kapal malam itu,

Dari Bakauheni ke Merak,

Prabu terdiam.

 

Rasa sedih, sedih sekali, dalam sekali, menyusup ke hatinya.

 

Prabu menangis tersedu:

“Ayah, Ayah. Maafkan aku.”

 

“Maafkan aku yang salah memahamimu.

Maafkan aku yang tak menjengukmu ketika kau sakit.

Maafkan aku tak ikut mendampingi ketika kau hembus nafas terakhir.”

 

Dalam sekali Prabu menangis.

Tanpa suara.

Hanya teriak di dalam gua hati.

Bergema di dalam saja.

 

Prabu memeluk candung itu.

Ia melihat candung  itu dengan mata berbeda.

Cahaya yang sempat keluar dari candung  itu tak lagi ada.

 

Prabu sempat ragu.

Benarkah tadi ada cahaya?

Atau itu ilusinya saja?

 

Tapi satu hal sudah berubah.

Dibatalkannya rencana membuang candung ke laut.

 

Prabu niatkan.

Candung ini akan ia simpan sebagai pusaka.

Dan akan diwariskan kepada anaknya.

 

Tradisi keluarga akan ia teruskan.

 

Prabu tersenyum.

Satu peristiwa di kapal laut mengubahnya.

Dulu ia mengkritik ayah soal pusaka.

Kini ia sendiri merawat pusaka. ***

 

CATATAN

1. Mantan Kades Agom diciduk polisi dalam operasi tangkap tangan

https://m.tribunnews.com/regional/2017/01/20/mantan-kades-minta-jatah-kompensasi-uang-pembebasan-jalan-tol-rp-375-juta

2. Perundingan desa Agom dan Balinuraga alot

https://nasional.tempo.co/amp/439268/bentrokan-lampung-selatan-dipicu-pelecehan-seksual

Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan drama di seputar konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012).

Berita Terkait