DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Strategi Nadiem: Belajar Bukan untuk Ujian

image
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim (Foto: Kemendikbudristek)

ORBITINDONESIA - Setelah Nadiem Anwar Makarim mengumumkan bentuk baru ujian masuk universitas negeri, di medsos dan mungkin dunia nyata banyak orang berkomentar:
"Ngapain belajar kalau nggak muncul di ujian?"

Ini komentar bodoh dari orang-orang yang tidak mengerti akan esensi pendidikan. Mirip dengan orang-orang bermental budak yang: cuma kerja baik kalau diawasi, mengikuti aturan lalu lintas kalau ada polisi, dan berbuat baik karena dicatat malaikat.

Kalau mereka ini orang tua, mereka cuma akan menghasilkan anak-anak yang akan menjadi lebih bodoh lagi.

Baca Juga: Kisah Danang Roesdiatmoko: Bau Pete yang Misterius di Kamar Mandi Kami

Saya ingin tanya: "Anak-anak Anda nggak perlu sekolah kalau nggak ada ujian?"

Nggak heran, mentalitas budak semacam ini yang menyebabkan banyak orang di Indonesia bergelar tapi nggak terdidik.

Orang belajar bukan karena akan diuji, tapi karena ingin tahu dan ingin bisa terhadap sesuatu yang dia sebelumnya belum tahu atau belum bisa.

"Ketahuan" dan "kebisaannya" itu akan menjadi modal hidupnya. Lulus ujian itu cuma implikasi waktu dia sudah bisa.

Baca Juga: Dibujuk Chelsea Untuk Kembali, Romelu Lukaku Pilih Bersama Inter Milan, Kenapa ya

Saya ambil contoh belajar berhitung dan matematika. Soal-soal matematika yang diajarkan dari SD sampai sekitar kalkulus dasar di semester 2 universitas itu sendiri remeh temeh.

Itu soal-soal yg sudah terselesaikan ratusan tahun yang lalu. Sekarang juga banyak formula solver di komputer yang dengan cepat dan tepat menyelesaikan persamaan differential dasar.

Jadi bisa menyelesaikan soal itu sendiri hampir nggak bernilai apa-apa. Menghapal jawaban atau cara menyelesaikannya lebih bodoh lagi. Pendidikan matematika yang baik, jauh lebih dalam daripada cuma menyelesaikan soal.

Yang dididik dalam matematika adalah kemampuan untuk berlogika secara sistematis.

Baca Juga: Derby Manchester, Roy Keane Dapat Cibiran dari Suporter The Reds

Seperti membuat strategi yang masuk akal untuk menyelesaikan soal, membagi soal yang sulit menjadi bagian-bagian yang lebih mudah, melakukan abstraksi dari problem yang nyata menjadi formula yg bisa dimanipulasi, melakukan inferensi ataupun deduksi.

Di matematika terapan, yang sangat penting adalah kempuan untuk melakukan analogi: mengubah sudut pandang untuk melihat satu persoalan baru dari perspektif lain yg lebih kita kenal.

Kemampuan seperti ini cuma bisa didapat kalau kita mengerti esensi, bukan menghapal. Dan kemampuan seperti ini akan berlaku secara universal di dalam kehidupan si pembelajar itu seterusnya, tidak berhenti di saat dia lulus ujian.

Ini makna dari belajar. Ini tidak berlaku cuma untuk matematika, tapi juga untuk bidang-bidang lain.

Baca Juga: Kisah Nabi Nuh dan Terciptanya Danau Takengon, Negeri di Atas Awan

Nadiem Makarim, ingin menjadikan kemampuan seperti ini dipunyai oleh anak2 Indonesia, karena kemampuan seperti ini yg peting utk berkompetisi di level global.

"Pintu masuk" dari strateginya adalah dengan menguji kemampuan ini pada test masuk universitas.

Jadi, pelajaran-pelajaran seperti matematika, ekonomi, fisika, biologi itu bukan tidak diujikan, tapi diujikan dalam level yg lebih dalam. Pelajaran2 itu adalah media utk mempelajari apa yg saya tulis di atas.

Tentunya ini memerlukan perubahan besar dari isi pendidikan itu sendiri. Kalau selama ini isi pendidikan di Indonesia hapalan-sentris dan ujian-sentris, mulai sekarang harus menjadi esensi-sentris.

Baca Juga: Laga Kedua Lawan Timnas Indonesia, Curacao Siap Tunjukkan Level Mereka Sesungguhnya di FIFA Match Day

Departemen pendidikan juga perlu melakukan sosialisasi dengan lebih baik untuk menerangkan isi dan tujuan strategi mereka dan apa strategi untuk pendidikan di tingkat dasar dan menengah.

Jangan cuma mengharap rakyat maklum. Kita ini rakyat, bukan umat yang mau untuk disuruh percaya apa saja.

Progam pendidikan yg baik itu lebih banyak menimbulkan pertanyaan baru daripada jawaban. Dengan begitu pembelajar akan maju selangkah lagi utk mengisi keingintahuan barunya.

Kalau ini diteruskan dia akan menjadi orang yg terpelajar yg tidak pernah berhenti utk belajar, karena dia butuh utk mengerti bukan butuh ijasan.

Baca Juga: Siapa Pendiri dan Pemilik Esteh Indonesia? Ternyata Bukan Nagita Slavina Loh...

Akan banyak muncul inovasi-inovasi baru dari manusia-manusia seperti ini. Mereka akan menjadi motor bagi kemajuan peradaban bangsanya.

Pada tulisan saya yg ini dan sebelumnya, saya tidak pernah mengatakan bahwa langkah Nadiem Makarim ini tepat dan akan berhasil utk Indonesia, karena saya tidak tahu persis situasi pendidikan di Indonesia beserta birokrasinya yg bisa buat Thanos mimisan.

Yang saya tahu, hasilnya selama ini hancur lebur dan kita sudah ketinggalan jauh dari negara-negara sekeliling.

Saya tidak mengerti, bobroknya pendidikan di Indonesia itu disebabkan oleh buruknya strategi pendidikan dari negara, atau memang kebodohan yg sudah mengendap berdekade-dekade yang menyebabkan timbul strategi pendidikan yg morat-marit. Rantai kebodohan ini harus diputus.

Baca Juga: Analisis Babo EJB: Jokowi dan Partai, Mencari Presiden Penerus yang Satu Visi

Setidaknya Nadiem Makarim sudah berani utk mencoba memotong rantai kebodohan yang dibiarkan selama berdekade-dekade terutama oleh menteri-menteri pendidikan sebelumnya yang nggak mengerti tentang pendidikan atau memang nggak berniat untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia.

Dia harus mulai dari satu titik dan tidak mungkin lagi menunggu sampai semua siap. Akan sukses kah dia?

He better be. Kalau nggak bukan cuma koleksi wacana mangkrak bangsa kita akan tambah satu, tapi kali ini taruhannya nasib generasi mendatang.

PS: ini opini saya sebagai pendidik. Mungkin benar mungkin juga salah. Saya bukan buzzernya Nadiem, nggak kenal dan nggak juga ingin kenal dia.

Baca Juga: Pengkritik Minuman Chizu Red Velvet PT Esteh Indonesia Makmur Minta Maaf, Akui Bikin Informasi Keliru

Saya juga bukan petugas partai, pegawai kemendikbud RI, nggak terima sepeserpun dari APBN, sudah punya kerja, nggak sedang mencari kerja di Indonesia, nggak butuh dan nggak ingin samasekali.

Kalau ada yg suka dengan tulisan ini ya terserah, kalau ada yang tersinggung, ya nasib loe.


(Oleh: Prof. Pitoyo Hartono) ***

Berita Terkait