DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

ANALISIS: Posisi Rawan Misi PBB di Afganistan, Maju Kena Mundur Kena di Bawah Rezim Taliban

image
Misi PBB terjepit di Afganistan, ketika rezim Taliban melarang perempuan bersekolah (twitter)

ORBITINDONESIA.COM - Posisi misi PBB di Afganistan, untuk membantu jutaan rakyat yang terancam kelaparan, kini tersandera oleh perilaku pemerintahan Taliban yang berkuasa. Istilah populernya “maju kena, mundur kena.”

Afganistan telah menjadi anak bermasalah di dunia. Negeri itu dikendalikan oleh para fanatik agama yang perilakunya tidak dapat diprediksi. Meski ditegur oleh PBB, rezim penguasa Taliban tetap menjalankan maunya mereka sendiri.

PBB serba salah, bagaimana cara efektif menangani populasi Afganistan yang nyaris kelaparan dan menjadi korban misogini pemerintah Taliban yang mengerikan.

Baca Juga: Hasil Pertandingan Liga Inggris: Man City vs Leeds United, Haaland Tak Berdaya Gundogan Borong Gol City

PBB, yang dikritik oleh banyak orang sebagai birokrasi yang membengkak, telah mencapai momen eksistensial di Afganistan.

PBB didorong ke posisi yang tidak mungkin oleh Taliban yang keras kepala. Seorang pejabat PBB yang berbicara tanpa menyebut nama, menggambarkan situasinya sebagai “tidak ada solusi yang jelas dan tidak ada hasil yang baik.”

Misi PBB dihambat oleh keputusan Taliban untuk mematuhi Piagam PBB. Namun PBB juga berkewajiban untuk meringankan penderitaan rakyat Afganistan yang mengerikan.,

Misi PBB harus membuat pilihan antara menjaga integritas PBB ataukah berkolaborasi dengan kehendak Taliban. Jika tetap pasif, PBB berisiko menjadi alat Taliban, seperti pada 1990-an.

Baca Juga: PDI Perjuangan: Antara Hak Prerogatif Ketua Umum Versus Manuver Politik Para Kader Internal Partai

Waktu itu misi PBB beroperasi bertentangan dengan mandatnya. Ini seolah mengirim pesan ke rezim represif di mana pun di dunia bahwa mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan, tanpa konsekuensi.

Jika PBB mengakhiri misinya di Afganistan, dengan alasan ia tidak dapat berfungsi sesuai dengan prinsip dasar nondiskriminasi, berarti PBB akan menyerahkan nasib 40 juta penduduk negara itu ke tangan geng misoginis pengedar narkoba yang kejam dan melanggar hukum.

Badan-badan PBB di Afganistan tampaknya tidak dapat menyetujui langkah bersama yang terpadu, untuk mengatasi kondisi tersebut. Perdebatan di internal badan-badan PBB ini menjurus ke "kekacauan total".

Kondisi ini adalah hadiah bagi penguasa Taliban, yang mahir mengeksploitasi perpecahan lawan dan teman untuk keuntungan mereka sendiri.

Baca Juga: Buku Paul Kennedy, Trivialisme vs Demokrasi

Situasi tersebut tidak terbantu oleh kurangnya visi terpadu di antara negara-negara anggota PBB, yang masih menaruh minat dan kepentingan di Afganistan.

Bagi banyak negara tetangga, termasuk China, Pakistan, Iran, Rusia, dan negara-negara Asia Tengah, masalah kontraterorisme, perdagangan, dan isu-isu seperti pembagian air dianggap lebih penting daripada mencegah kelaparan dan keruntuhan ekonomi di Afganistan.

Negara-negara Barat pada umumnya, yang was was tentang kebangkitan kembali Taliban, juga sangat prihatin dengan penindasan rezim terhadap kaum perempuan, serta momok kelaparan dan kemiskinan massal.

Baca Juga: Bournemouth vs Chelsea: Kemenangan Pertama The Blues di Liga Inggris Usai 7 Pertandingan Berlalu

Perpecahan tersebut dimainkan oleh Taliban. Ini memungkinkan mereka memperkuat kekuasaan.

Sambil menegakkan dekrit yang menjadikan Afganistan satu-satunya negara di dunia, di mana anak perempuan dilarang masuk sekolah menengah dan universitas.

Perempuan tidak diizinkan untuk bekerja, dan sekolah diubah menjadi madrasah untuk melatih anak laki-laki membaca Quran. ***

Berita Terkait