DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Alex Runggeary: Sang Perkutut dan Remah Gorengan

image
Alex Runggeary tentang pembangunan Papua.

Oleh: Alex Runggeary

ORBITINDONESIA.COM - Dalam satu grup WA di sana berkumpul orang pintar dari Papua dan dari seluruh Indonesia. Ada pula profesor dan doktor dari pelbagai perguruan tinggi.

Sekilas nampak sepertinya berkumpul para pemikir keren. Apalagi nama WAG ini keren habis. Semua masalah ada solusinya. Termasuk masalah pembangunan Papua yang tak habis didiskusikan dengan pelbagai pandangan hebat.

Kalau sudah seperti ini apa yang harus menyusahkan kehidupan ini. Yang menyusahkan adalah rakyat jelata itu menderita karena miskin. Dan kita di sini berbusa busa dengan argumen hebat.

Baca Juga: Kelas Jalan dan Jembatan Timbang Harus Jadi Perhatian Pemerintah Terkait Zero ODOL

Tapi tak bisa menerobos hambatan birokrasi pemerintah. Dan sebaliknya birokrasi pemerintah adalah seperti altar yang tak tersentuh. Maka genaplah nubuatan I.S.Kijne, "...tapi mereka tak akan memperdulikan manusianya."

Dan ternyata benar. Muncul berita menarik, di satu wilayah administratif di Papua, ada 6000 anak putus sekolah karena tak mampu bayar uang sekolah.[1] Masalah ini seperti biasanya didiskusikan sekilas saja dan dibiarkan tak bertuan. Tak bersolusi. Seperti biasanya.

Beberapa waktu sebelum ini ada pandangan yang dilontarkan anggota, "Pembangunan di Papua harus memperhatikan budaya setempat. Agar nilai nilai budaya tidak hilang." Nilai budaya seperti apa tak jelas.

Selama 20 tahun lebih bersama JDF, sepanjang waktu itu kami bekerja, tak pernah sekalipun kami berhadapan dengan kendala budaya, apapun itu.

Baca Juga: Dinilai Berkhianat, Demokrat Tunjukkan Bukti Surat Anies Baswedan Pernah Minta AHY Jadi Cawapres

Kemarin Sabtu 26 Juli ada pernikahan secara adat Batak di Jakarta. Ribuan orang diundang. Termasuk mereka yang secara adat - serumpun -. Bisa sampai lima marga. Atau lebih tepat - satu kekerabatan.

Orang makan, bernyanyi, menari dan tidak lupa wakil marga wajib pidato sebelum anggotanya menari.[2] Tak lupa Ulos merah marun itu tergantung di bahu kanan.

Artinya Adat Batak tumbuh berkembang tanpa ada campur tangan pemerintah. Ia hadir sepanjang masa dalam setiap tetes darah Batak karena masyarakatnya menghargai dan mempraktikkannya sepanjang waktu.

Kalau Batak bisa, mengapa Papua tidak bisa. Sudah tentu dengan keragamannya yang berbeda beda. Artinya, seharusnya faktor budaya tidak perlu dikhawatir akan memudar bersama berjalannya waktu selama masyarakatnya sendiri menghormati dan melakukan budaya atau adat itu dalam hal ini.

Baca Juga: Spoiler Drakor The Uncanny Counter 2 Episode 11, Plot Twist Ma Ju Seok Jadi Final Boss Do Ha Na

Orang sangat khawatir terhadap perobahan yang akan menggilas budaya. Tapi itu hal yang tak terhindarkan. Perubahan terjadi di luar kontrol siapapun. Terjadi di seluruh dunia. Dan nyatanya baik baik saja. Kenyataannya kitalah yang harus mampu menyesuaikan diri agar terus survive.

Tadi pagi aku akan melangkah ke jalan sepi itu untuk jalan seperti biasanya. Katanya olahraga jalan itu baik bagi lansia. Tiba tiba kepakan sayap khas itu membuatku kaget. Aku segera tahu, pasti itu perkutut yang setiap waktu bernyanyi di seputaran sini.

Ketika aku menengok ke arah bunyi itu, ternyata benar adanya. Seekor burung berwarna abu abu, seperti warna merpati, terbang dari atas tanah tepat dekat kereta dorong gorengan dan hinggap di dahan kayu di atasnya.

Pasti di sini dulunya hutan rimbun. Tempat hidup burung perkutut. Bertahun tahun kemudian, hutan lebat itu tergantikan dengan perumahan ramai padat.

Baca Juga: Sebelum Dikhianati, Demokrat Cium Aroma Upaya Penundaan Deklarasi Anies dan AHY

Ternyata si burung perkutut itu masih ada. Makanannya kini bukan lagi biji bijian, tetapi gorengan. Remah gorengan semalam tepatnya.

Kalau perkutut saja masih bertahan hidup sampai hari ini, akankah kita sebagai manusia kalah bertarung dengan zaman?

*Alex Runggeary adalah peneliti independen.

Catatan:
[1] fajarpapua.com/2023/08/28
[2] Sharing dengan salah seorang peserta. ***

Berita Terkait