DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Goenawan Mohamad: ELIEZER

image
Goenawan Mohamad tentang Eliezer. Dok.instagram @goenawan8239

— untuk Richard Eliezer Pudihang Lumie (yang tak membaca tulisan ini)

Goenawan Mohamad

ORBITINDONESIA - Berdirilah tegak, Richard. Kau duduk di depan mahkamah, dan keluar dari sidang pengadilan, bukan lagi seorang polisi yang membunuh. Kehadiranmu sebuah metamorfosa. Kau sebuah ambiguitas.

Baca Juga: New Year Gaza 24 B

Di depan para hakim, kau polisi dan kau juga pelanggar hukum; di ruang pengadilan itu, kau sebuah titikkumpul di mana berbaur, dan berbenturan, keadilan dan ketidak-adilan, hukum dan empati, sakit hati dan rasa belas.

Kau terdakwa yang membuat Yosua jadi korban, tapi juga kau seorang korban. Kau subyek — yang menembak Yosua, dan tanganmu berdarah — tapi juga obyek — yang, seperti boneka, digerakkan atasanmu.

Baca Juga: Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Women Leaders Sektor Ekonomi Menuju Indonesia Berdaulat dan Maju

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas PSI yang Dipimpin Kaesang Hanya 1,5 Persen, Gerindra Salip PDI Perjuangan

Kau pelengkap penderita sebuah kekuasaan, tapi kau pelengkap penyerta proses keadilan. Kau penolong agar setidaknya bapak-ibu Yosua, pacarnya, dan kami semua tak terhimpit sesak dan sedih sebagai korban kekuasaan.

Seseorang mengatakan, kau dibaptis dengan nama yang dipakai dalam sebelas cerita Alkitab: Eleizer, “Tuhan penolongku”, dipakai Musa untuk menamai anaknya yang kedua sebagai pengingat akan Tuhan yang menolongnya lari dari hukuman Firaun.

Eleizer juga nama seorang budak Abraham. Ia hanya disebut namanya satu kali sebagai bagian dari percakapan dengan Tuhan, tapi ia penting dalam riwayat majikannya.

Baca Juga: Ditemani Erick Thohir, Prabowo Subianto Makan Siang Bersama Pelaku Usaha Muda

Ada iman dan kerendahan-hati dalam nama baptismmu. Tak banyak yang mengetahui cita-cita kebaikan di situ, tapi agaknya dengan harapan baik yang sama banyak orang memandangmu.

Baca Juga: Viral Seorang Ibu Syok Lihat Kelakuan Anaknya, Rumahnya Tiba tiba Diserbu Ratusan Kurir Bawa Paketan

Ketika jaksa mengabaikan jasamu (kau adalah pengungkap kejahatan besar pembunuhan Yosua), dan menuntut agar kau dihukum 12 tahun, orang ramai marah. “Sabar, Chad”, di pintu gedung pengadilan seseorang berseru menyebut namamu.

Baca Juga: Yasonna H Laoly Dampingi Megawati Soekarnoputri Selama Jadi Juri Jayed Award 2023 di Roma

Dan kau sabar. Kau sanggup. Sebab sejak mula cerita ini, kau menjalani hidup tanpa loncatan. Kau pemuda pedalaman yang mencoba mendaki piramida terjal birokrasi kepolisian — dan baru sampai di tingkat paling rendah.

Kau datang dari keluarga di udik Sulawesi yang bangga hanya karena melihatmu mengenakan seragam Brimob, meskipun tanda pangkat itu cuma satu garis miring berwarna merah.

Selama proses peradilan, dengan posisi yang berubah-ubah bak dalam kaleidoskop, kau jadi point de capiton. Kau jadi buhul yang memberi makna ke dalam tali-temali tafsir yang tak habis-habisnya atas peristiwa itu.

Baca Juga: Jadi Juri Zayed Award 2024, Megawati Diwawancarai Radio Vatikan

Baca Juga: WhatsApp Rancang Fitur Baru yang Memungkinkan Pengguna Kirim Foto dengan Kualitas Asli

Citramu — muda dengan ekspresi yang lurus — jadi penanda hal-hal yang positif: kejujuran, keberanian mempertaruhkan diri bagi kebenaran — meskipun juga dengan nasib yang tak beruntung.

Kau menyentuh siapa saja. Kau ditatap dengan haru. Kau pelan-pelan jadi satu sosok tempat berbagai orang menemukan rasa senasib.

Baca Juga: Dugaan Operasi Tangkap Tangan Gubernur Abdul Gani Kasuba, KPK Gelandang 3 Pejabat Maluku Utara ke Jakarta

Ya, berbagai orang — tapi umumnya seperti engkau: dari lapisan bawah. Sejarah sosial mereka seperti sejarahmu: dengan masa depan yang samar-samar, dengan masa lalu yang tak bermodal, dan dengan masa kini yang tak stabil.

Tidak, mereka tak menggerutu. Mereka bukan pengeluh. Seperti kau dan ayah-ibumu, mereka hanya warga yang berada di tepi jalan, kadang terluka ketika sejarah Republik berjalan, dengan rapi dan mantap atau dengan kacau dan sewenang-wenang.

Baca Juga: Sudah Tidak Tahan, Venna Melinda Tetap Teguh Ambil Keputusan Gugat Cerai Ferry Irawan

Baca Juga: BMKG: Hujan Lebat Berpotensi Turun di Beberapa Kota

Seperti Eleizer dalam Alkitab, mereka hanya disebut sesekali. Tapi mereka penting dalam bangunan sosial, karena mereka tak menghendaki ketidak-adilan.

Dan kau memilih jadi polisi. Kau jadi penegak hukum. Di zaman dulu orang akan menyebutmu “hamba wet”. Kau tak bertanya — kau tak boleh bertanya — apa gerangan “wet” itu, apa hukum itu, selain sendi ketertiban masyarakat.

Kau, hamba, tak menyidik kemungkinan bahwa aturan dan undang-undang yang jadi hukum itu jangan-jangan hanya bungkus bagus buat penindasan dan rasa haus kekuasaan.

Baca Juga: Peringati Hari Bela Negara, Ibnu Chuldun: Bersatu dan Berkontribusi untuk Indonesia Maju

Sebenarnya tak amat jauh untuk melihat kenyataan itu. Kau bagian sebuah organisasi yang ditentukan hukum berhak memegang senjata dan menggunakan kekerasan. Dalam posisi istimewa itu, dua kemungkinan bisa terjadi.

Baca Juga: BRI Liga 1:Prediksi dan Link Streaming Rans Nusantara Melawan Bali United, Saatnya Kembali ke Jalur Kemenangan

Pertama, organisasimu — Kepolisian Republik Indonesia — akan merasa dipercayai dan sebab itu membalas hormat kepada jutaan orang yang mempercayainya, jutaan orang yang disebut “rakyat”.

Baca Juga: Permohonan Layanan Melonjak, Sandi Andaryadi: Imigrasi DKI Jakarta Harus Bekerja Prima

Kedua sebaliknya: kalian yang dengan sah mengggunakan senjata akan merasa begitu kuat dan begitu menakutkan, hingga tak gampang ditentang dan digugat.

Kekuasaan macam itu bisa tak terkendali. Banyak yang tahu, di kamar-kamar tahanan polisi, penyiksaan dan pemerasan tak jarang dilakukan, dan hampir selamanya dibiarkan. Pelan-pelan, brutalitas itu jadi “kebudayaan”.

Itu yang juga kau saksikan dalam perbuatan atasanmu, Jenderal Sambo. Ia personifikasi “kebudayaan brutalitas” itu.

Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah

Baca Juga: BRI Liga 1: Prediksi dan Link Streaming Persija Melawan PSM, Adu Kekuatan Demi Nomor Satu di Klasemen

Ia membunuh Yosua karena sakit hati pribadi, bukan untuk keamanan Republik; ia memerintahkan anak buahnya siap menembak dan menghapus jejak. Dengan jumawa ia yakin, saat itu ia akan bebas.

Kau terlibat, Richard, tapi aku tak ingin Negara menghukummu. Kau telah berubah. Kau-lah yang justru mengungkapkan kekejian itu, apapun motifmu.

Baca Juga: Kepala Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta Ibnu Chuldun Resmikan Laboratorium Peradilan Pidana Universitas Yarsi

Kau berhenti jadi mesin dan kembali jadi Eliezer. Di depan mahkamah, disaksikan jutaan orang, kau menyesal. Kau bukan lagi seorang polisi yang membunuh. Kau bukan Sambo.

Berdirilah tegak. Banyak orang, dengan iman yang berbeda-beda, berdoa buat kau. Juga buat keadilan.

Goenawan Mohamad***

Baca Juga: Pembunuh Petugas Imigrasi Tri Fattah Firdaus Jadi Tersangka, Sandi Andaryadi: Kami Apresiasi Polda Metro Jaya

 

 

Berita Terkait