DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Hadapi Kemungkinan Politik Balas Dendam, Rocky Gerung: Yusril Layak Jadi Perisai Hukum Presiden Jokowi

image
Diskusi publik bertajuk

ORBITINDONESIA.COM - Pengamat politik Rocky Gerung menilai Profesor Yusril Ihza Mahendra layak menjadi perisai hukum ketika Joko Widodo akrab disapa Jokowi tidak lagi menjabat sebagai presiden.

"Baiknya ajak Yusril. Cuma Yusril yang bisa melakukan penyelamatan," ujar Rocky saat menjadi pembicara pada acara diskusi publik bertajuk Harkat, Martabat, dan Keselamatan Seorang Mantan Presiden di Jakarta, Jumat 1 September 2023.

Kelihaian hukum Yusril, menurutnya, efektif dalam  mengatasi fenomena “balas dendam” politik setelah masa tugas Jokowi selesai.

Baca Juga: Beredar Luas, Undangan PKB Deklarasi Capres dan Cawapres Anies-Muhaimin Sabtu Siang Ini di Surabaya Jawa Timur

Rocky menjelaskan secara antropologi, politik di Indonesia berbasiskan dendam.

Ini diawali ketika Ken Arok menjadi raja sampai fenomena antarpresiden di Indonesia.

Misalnya, dijatuhkannya Presiden Gus Dur, sampai inharmonisasi hubungan politik Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan ketika Jokowi tidak lagi menjabat sebagai Presiden, katanya, bisa jadi akan mendapat serangan dari presiden terpilih.

Baca Juga: Ahli Komunikasi Politik Emrus Sihombing: Presiden Jokowi Beri Sinyal Duet Ganjar-Prabowo

"Ada perisai hukum, hingga culture tersedia. Akan tetapi, perisai yang paling tangguh adalah batin presiden sendiri," ujarnya.

Masalahnya, ungkap Rocky, perisai batin Presiden Jokowi dianggap retak, sedangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih stabil karena memiliki kendaraan politik yang melindunginya, yaitu Partai Demokrat.

"Anda bayangkan Jokowi, tidak punya partai. Kecemasan tiba-tiba hilang kekuasaan," ujarnya.

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti juga mengamini kelihaian Yusril terhadap Presiden Soeharto. 

Baca Juga: Heru Subagia: Ganjar - Anies Sebuah Peristiwa Perjodohan Politik yang Dipaksakan

Yusril pembuat teks pidato Soeharto ketika meninggalkan jabatannya.

Dalam pidato itu, kata dia, Soeharto menyebutkan bukan mengundurkan diri sebagai presiden, melainkan berhenti.

Secara hukum, makna mengundurkan diri dan berhenti itu memiliki arti berbeda. Nah, di sinilah kelihaian seorang Yusril menjaga wibawa Soeharto kala itu.

"Pidato Soeharto itu bukan mengundurkan diri, tetapi berhenti. Itu yang bikinin Pak Yusril. Kalau mundur, artinya sudah tidak sanggup. Berhenti, ya, berhenti karena tidak mendapatkan lagi mandat rakyat," ungkap Bivitri. ***

Berita Terkait