DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Kontroversi Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

image
Simulasi pelaksanaan Pemilu 2024, ada kontroversi sistem pemilu proporsional tertutup atau terbuka.

ORBITINDONESIA - Wacana perubahan sistem pemilu (pemilihan umum) kembali mencuat menjelang perhelatan politik tahun 2024. Ada sejumlah alasan yang mengemuka terkait perubahan itu, yakni politik biaya tinggi, liberalisasi politik, serta maraknya politik uang.

Gagasan penggunaan sistem pemilu proporsional tertutup kembali mengemuka, meskipun penggunaan sistem proporsional terbuka sudah diterapkan pada empat kali pemilu terakhir.

Kedua model sistem pemilu itu masing-masing memiliki plus-minus dan pernah digunakan beberapa kali di dalam sejarah pemilihan umum Indonesia.

Baca Juga: Film Autobiography Bawa Angin Segar Lewat Genre Suspense Thriller Wajib Banget Kamu Tonton Karena Ini!

Sistem proporsional memiliki akar historis di Indonesia, karena pertama kali diterapkan pada Pemilu 1955.

Sistem proporsional tertutup juga diterapkan dalam pemilu selama Orde Baru serta pemilu pertama setelah reformasi pada tahun 1999. Sedangkan sistem proporsional terbuka digunakan sejak Pemilu 2009 hingga 2019.

Di parlemen, dari sembilan fraksi, hanya fraksi PDI-P yang mendukung sistem pemilu kembali ke proporsional tertutup. Delapan partai politik lain menolak dengan alasan menghambat pengembangan demokrasi.

Dua organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, turut bersuara dalam polemik ini.

Baca Juga: Biaya Perjalanan Ibadah Haji Bakal Naik, Ini Rincian Ongkos yang Wajib Ditanggung Jemaah

Muhammadiyah mendukung sistem proporsional tertutup atau proporsional terbuka terbatas, sedangkan NU menyerahkan sepenuhnya pilihan sistem itu ke pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu.

Ketua KPU mengindikasikan pula dukungannya terhadap gagasan yang diusung PDI-P tersebut.

Menurut pendukungnya, sistem proporsional tertutup akan mampu menutup rapat timbulnya fenomena pemilihan caleg berdasarkan popularitas, bukan kapabilitas.

Artinya, sistem ini dapat mengurangi populisme politik, yaitu pemilihan tidak lagi berdasarkan efek ekor jas dari popularitas caleg di lapangan, melainkan kualitas partai politik secara umum.

Baca Juga: Coppa Italia: Menang Atas Monza, Juventus Tatap Perempat Final

Selain itu, sistem proporsional tertutup akan menguatkan peran partai politik dan sistem kepartaian. Penguatan partai politik menjadi krusial, sebab belakangan ini peran sentral partai politik dalam demokrasi terasa merosot.

Hal ini terlihat dari rendahnya party ID atau party identification, yaitu ukuran kedekatan dan kesukaan pemilih terhadap partai politik yang dipilihnya dalam pemilu.

Tingkat kedekatan warga Indonesia dengan parpol yang diyakininya hanya 11,7 persen, menurut hasil survei SMRC pada Desember 2017. Artinya, hanya 11,7 persen responden yang meyakini partai politik pilihannya dan akan memilih kembali partai politik tersebut itu kapan pun pemilu digelar.

PDIP, sebagai partai yang mendorong penggunaan kembali sistem proporsional tertutup berpendapat, peserta pemilu adalah partai politik, bukan individu.

Baca Juga: Budhy Munawar Rachman: Sekolah dan Lembaga Pendidikan Justru Mendorong Keberagamaan yang Eksklusif

Selain itu penerapan sistem proporsional terbuka selama ini membuat tokoh atau sosok dengan pemahaman politik dan idealisme kuat justru tersingkir karena kalah secara elektoral.

Pertimbangan lain yang mengemuka terkait penggunaan sistem proporsional tertutup adalah pengalaman dua pemilu terakhir yang menimbulkan pembelahan di tengah-tengah masyarakat dan banyak korban dari sisi penyelenggara (KPU).

Pada 2014, terdapat 144 orang wafat, sementara pada 2019 meningkat menjadi 817 orang, belum lagi yang jatuh sakit.

Gagasan ini menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat.

Baca Juga: Dikabarkan Henry Cavill tidak Perankan Superman Lagi, Sutradara James Gunn: Ini belum Waktunya

Moya Institute, sebuah lembaga kajian isu-isu stratejik, memandang penting agar persoalan di atas diurai dan dikaji lebih mendalam.

Moya Institute ingin mengulas, apakah sistem proporsional terbuka masih yang terbaik, atau perlukah meninjau kembali penggunaan sistem proporsional tertutup, mengingat banyaknya persoalan sebagaimana terurai di atas.

Moya Institute berpandangan, Pemilu 2024 memiliki peran penting, karena ia menjadi momentum untuk memperkuat kualitas demokrasi Indonesia, yang belakangan dihadapkan pada berbagai tantangan.

Polarisasi politik, perubahan generasi kepemimpinan, dan penguatan peran partai politik serta sistem kepartaian menjadi isu-isu penting yang menyertai Pemilu 2024.

Baca Juga: Kemenag Usul Biaya Perjalanan Ibadah Haji 2023 Sebesar Rp69 Juta Per Orang, Ongkos Naik

Publik perlu memperkaya wawasan tentang gagasan tersebut, sehingga kontroversi dapat turut diredam.

Persatuan dan kesatuan bangsa sangat diperlukan saat ini, agar bangsa Indonesia dapat melalui krisis energi, pangan, dan lingkungan yang diakibatkan oleh persaingan global.

Seperti termanifestasi antara lain dalam perang Rusia–Ukraina dan potensi konflik di kawasan stratejik Indonesia, Indo-Pasifik, di tengah-tengah munculnya ketrengginasan China di kawasan.***

 

Berita Terkait