Iyyas Subiyakto: Partai Itu Butuh Figur
ORBITINDONESIA.COM - Saya lagi baca-baca hasil pemilu sejak 2004-2019. Perolehan suara partai bervariasi dan sangat nyata membutuhkan figur. Bukan ketua umum ya.
Sejak 2004-2019 partai yang stabil peringkatnya adalah PDIP, Golkar, PKB, PKS, disusul pada tahun 2014-2019 Gerindra dan Nasdem.
Kita fokus pada Gerindra dan PDIP yg akan menjadi rival pada 2024. Ini adalah pengulangan yang ketiga di mana mereka harus bersaing karena ego yang mengalahkan kepentingan bangsa.
Baca Juga: Jadi Polisi Arogan hingga Punya Kekayaan Tak Wajar, AKBP Achiruddin Hasibuan Akhirnya Dipecat!
Kita lihat figur yg hadir. Megawati walau sebagai ketum sosoknya tidak berpengaruh pada pilihan masyarakat. PDIP pernah digerus Demokrat pada pemilu 2009. Suara PDIP yang pada 2004 berjumlah 21 juta, hanya tersisa 14,6 juta.
Sementara suara Demokrat dari 8,3 juta melejit ke angka 21,7 juta sekaligus mengantarkan SBY sebagai presiden. SBY diuntungkan oleh statement TK yang mengatakan bahwa SBY jenderal kekanak-kanakan.
Makanya hati-hati kalau sesumbar. Jangan mengulang-ulang kalimat murahan dan terkesan arogan.
Fakta angkanya : Pemilu 2004 PDIP meraih 21 juta suara, 2009 meraih 14,6 juta, 2014 meraih 23 juta dan 2019 meraih 27 juta suara. Dua pemilu terakhir jelas karena ada figur Jokowi.
Petugas partai ini tidak pernah kalah pada pilkada dan pilpres, sementara ketum partainya dua kali kalah pilpres. Ini fakta ya, bahwa figur itu harus piawai berisi lahir batin. Bukan perang batin. Apalagi melulu prihatin.
PS, dia masih punya pasar. Masyarakat yang suka akan ketegasan melihat PS sebagai sosok pilihan karena dia eks tentara. Walau style sebagai presiden tidak harus teriak-teriak.
Dalam pilpres sebenarnya peta pemilih tidak jauh beda dengan pilpres 2019. Di mana Gerindra didukung PKS dan sejenisnya.
Jadi memang tidak sia-sia mempertahankan FZ yang tetap menjaga pasar radikal. Ini yang kita amati, walau PS di kabinet Jokowi, FZ tetap dipasang sebagai sosok penyerang Jokowi. Padahal dia Waketum Gerindra.
Baca Juga: Bioskop Trans TV: 12 Strong Tampilkan Chris Hemsworth yang Pimpin pergi Perang Afghanistan
PS tahu, saat dia mengambil resiko gabung Jokowi, banyak kaum radikal menyoal dan kesal. Tapi kalau sekarang PS balik menjadi rival PDIP, maka kawan lama akan balik bersama.
Apalagi kalau Anies jadi cawapresnya. Klop perang Bharatayudha bakal terulang untuk kali kedua. Hanya head on nya sekarang dengan Ganjar.
Megawati harus legowo bahwa figur untuk memimpin Indonesia bukan dia pilihannya. Setelah Jokowi, PS harus berhadapan dengan Ganjar yang relatif lebih segar.
Partai final ini sudah kebaca, yang lain hanya pelengkap peserta. Tapi diperlukan untuk meramaikan. Di sana ada BAB, ada AHA, ada MMD. Kalau AHY itu hanya kelas SCBD lari pagi bareng Sandi.
Kita berharap pesta demokrasi ini menjadi panas-panas kopi pagi, diseruput menghangatkan, tidak membuat sakit perut.
Karena Indonesia butuh kelangsungan untuk hidup, bukan sekadar disebut-sebut. Terus ribut. Itu namanya demokrasi nggak sumbut!
(Oleh: Iyyas Subiyakto) ***