DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Agung Wibawanto: Coat Tail Effect, Bukti Partai Politik Tidak Memiliki Kader Andal

image
PSI saat menerima kunjungan capres Prabowo Subianto. PSI adalah partai politik yang memanfaatkan coat tail effect.

ORBITINDONESIA.COM - Ekor jas atau pengaruh ekor jas atau efek ekor jas (Bhs. Inggris: coat tail effect) adalah istilah umum yang merujuk kepada hasil yang diraih oleh suatu pihak (sebut saja: partai politik) dengan cara melibatkan tokoh penting atau tersohor, baik langsung maupun tidak langsung, melalui suatu perhelatan.

PSI merupakan salah satu partai politik di Indonesia yang kerap menggunakan strategi ini (atau malah sudah menjadi ideologi), meski partai lain juga.

Mengakunya sih sebagai partai politik yang egaliter (kaum muda) yang menentang keras menyebut kadernya sebagai "petugas partai". Mereka menyebut "petugas rakyat".

Baca Juga: Saran Mark Twain: Jangan Pernah Berdebat dengan Orang Goblok

Pada faktanya, mereka selalu menjual atau berjualan produk orang lain, yakni terutama Jokowi dan anak-anaknya. Sempat pula jualan Ahok dan Ganjar (karena juga dianggap masih orang dekat Jokowi). Bahkan anak-anak Jokowi pun mereka jual.

Tujuannya ya pasti ingin meraih simpatik publik kemudian bisa meraup suara saja, tidak lebih. Mereka tidak pernah jualan kader PSI mereka sendiri, misal Grace ataupun Giring atau juga Ade Armando dan lain-lain. Kenapa? Takut tak laku? Tidak punya kader yang mumpuni?

Atau misalnya, masih banyak tokoh lain yang juga punya pengaruh besar, seperti: Edi Baskoro (Ibas), AHY, Yenny Wahid (terakhir digunakan sebagai bacawapres Ganjar), Puan Maharani, Prananda Prabowo (puteranya Megawati), Prananda Paloh, dan lain-lain. Kenapa Jokowi dan anak-anaknya? Jelas ini strategi Coat Tail-Effect.

Ini persoalan besar bagi partai-partai di Indonesia yang tidak bisa mencetak kader andal dan hanya mengandalkan tokoh-tokoh lain di luar partai mereka. Lantas apa gunanya membentuk partai? Tentu sebagai sebuah strategi menjadi sah-sah saja, tapi juga penuh kritikan.

Baca Juga: Upaya Pemerintah dalam Menekan Polusi Udara Selama KTT ke-43 ASEAN Berlangsung, Langit Jakarta Jadi Cerah

Bisa dikatakan PSI bisa populer hanya karena Jokowi, karena merasa dekat dengan Jokowi, dan memang Jokowi memiliki magnet massa pendukung yang tidak sedikit (mengalahkan artis dan influencer). Apapun yang dikenakan dan dibranding Jokowi dipastikan laku keras di pasar. Inilah yang dilihat PSI.

Mengaku "petugas rakyat" tapi hanya tunduk, patuh dan mengikuti kata Jokowi. Ini kan aneh? PSI melalui Grace Natalie mengatakan bahwa sudah dipastikan oleh Jokowi bahwa Kaesang tidak akan maju Pilkada Depok.

Tapi pula, PSI Depok masih kukuh mendaulat Kaesang. Kenapa tidak menuruti Jokowi? Mekanisme di PSI sesungguhnya bagaimana?

Bahaya sekali jika partai tidak punya mekanisme, tidak punya tertib aturan, tidak disiplin. Diatur sesuka-suka kader atau pengurusnya saja. Dampak negatif lainnya adalah mengadu domba komitmen di keluarga Jokowi sendiri. Mereka yang menjual keluarga Jokowi justru menyesatkan.

Baca Juga: PT Pegadaian Sponsor Utama Kompetisi Sepak Bola Liga 2 Musim 2023/2024, Namanya Menjadi Pegadaian Liga 2

Mulailah untuk serius dalam berpartai terutama stop menjual tokoh lain (di luar partai). Lebih baik promosi kader sendiri meski tidak populer, ketimbang menjual kader dari partai lain. Dalam hal ini, saya lebih salut dengan PKS yang pede dengan kadernya sendiri. Meskipun nir-prestasi.

Bagaimana kelanjutan PSI jika Jokowi sudah tidak menjadi presiden? Apa tetap akan menjual nama dan keluarga Jokowi? Atau mulai menempel kepada presiden baru nantinya (siapapun itu)?

Dengar-dengar, PSI ingin "membajak" Jokowi dari PDIP untuk pindah ke PSI menjadi semacam Ketua Dewan Pembina. Mungkinkah?

(Oleh: Agung Wibawanto) ***

Berita Terkait