DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Alex Runggeary: Candu

image
Alex Runggeary

ORBITINDONESIA.COM - Pada masa Belanda, kami anak-anak Jongens Vervolg School - JVVS - setara kelas 4 - 6 SD sekarang, belajar bahasa Melayu 1960-62.

Kisahnya tentang orang mengisap candu. Penggemar candu kurus kering, kurang tidur dan tulang rusuk menonjol. Gambarnya seorang Cina tua tukang madat.

Jauh pada kemudian hari, saya baru paham apa itu candu ataupun narkoba yang sangat berbahaya bagi kesehatan siapapun. Tidak hanya terbatas di Jakarta dan atau Sumatra. Kini bahkan sampai ke Papua nun jauh di sana.

Baca Juga: Satrio Arismunandar: Untuk Majukan Kebudayaan, Pemerintah Bisa Beri Insentif Pajak untuk Pekerja Budaya

Candu atau madat tidak hanya secara literary/letterlijk menunjuk benda berbahaya itu saja. Kini bahkan sudah merasuk masuk dunia literasi sebagai perumpamaan.

Ketika orang yang berbicara tentang kekuasaan, kata orang, itupun sebagai candu. Orang yang rakus kekuasaan itu sama dan sebangun dengan mengidap sakit candu kekuasaan.

Pada mula pertama ketika Jokowi berkampanye sebagai kandidat presiden 2014, ia dijuluki media luar negeri dengan penampilan kampungness, lugu, jujur dan kerakyatan. Suatu label yang positif dalam citra masyarakat pemilih. Mereka kemudian memilih beliau sebagai presiden.

Pada masa jabatan pertama dan keduanya beliau telah berhasil membangun hilirisasi industri dan jalan tol. Juga meningkatkan utang dari China (?). Khusus untuk Papua ada 2 kebijakan yang dikeluarkannya yaitu Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tanggal Tahun 2020 tanggal 29 September 2020 dan Perpres Nomor 121 Tahun 2022 tanggal 21 Oktober 2022.

Baca Juga: Fakta Baru Kasus Mertua Tega Bunuh Menantu yang Hamil di Pasuruan: Suka Main PSK!

Walau ada niat baik dari beliau, namun tetap saja bermasalah karena masalah utamanya tak tersentuh, yaitu kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama pembangunan. Mengapa?

Menurut pendapat saya ada tahapan dalam proses perencanaan yang terlewatkan. Strategic metodologis yang tidak pas. Saya sudah baca Rencana Induk Pembangunan Papua juga Rencana Jangka Panjangnya, tetap saja mengandung potensi masalah.

Hal pertama yang meragukan adalah angka target yang tercantum di sana tak satupun angka absolut alias dari data primer. Semuanya angka relatif alias angka dari data sekunder.

Ingat, bahaya dari kita menggunakan angka relatif sebagai acuan dasar adalah bisa saja hasil yang kita capai disumbangkan oleh kegiatan pihak lain yang secara kebetulan saling berhubungan. Atau kata kasarnya, kita mungkin saja nanti secara sepihak menglaim keberhasilan pihak lain.

Baca Juga: Kejagung Tetapkan Anggota BPK Achsanul Qosasi Jadi Tersangka Baru Kasus Korupsi BTS 4G

Yang paling mungkin terjadi adalah ketika satu program didanai dari beberapa sumber pendanaan. Kita tidak tahu dengan yakin apakah hasil yang dicapai semata mata dari mata anggaran kita. Ini agak teoretis tapi mungkin saja bisa terjadi.

Artinya, penyusunan rencana pembangunan Papua tanpa melakukan survei lapangan secara langsung atau yang saya namakan Baseline Survey itu tetap saja mengandung risiko. Dari mana akan kemana? Hal ini juga yang telah dengan telak membuat aspek evaluasi pembangunan tak memiliki dasar patokan.

Ibarat kapal tanpa tujuan, terhanyut oleh arus laut dan sampai disini. Dan jarak hanyut itu kita hitung sebagai hasil kita. Padahal hanya suatu kebetulan tanpa kita rencanakan sebelumnya. Suatu kejadian kebetulan.

Walau bagaimanapun kita sangat menghargai upaya Bappenas bekerjasama dengan BP3OKP telah menghasilkan RIPP dan rangkaian produk lainnya sebagai acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam pembangunan di Papua.

Baca Juga: Piala Dunia U17 2023: Maroko Rilis 21 Pemain yang akan Melawan Timnas Indonesia

Saya melihat ini sebagai bagian kesungguhan pak Jokowi membangun Papua. Ini yang tak ada pada kurun waktu 20 tahun terakhir. Ini suatu kemajuan tentunya.

Kita tinggalkan dulu pembangunan Papua yang sudah selangkah lebih maju dalam perspektif proses perencanaan. Kita kembali ke topik kita, candu. Jelang akhir masa jabatan pak Jokowi, timbul isu masa jabatan boleh 3x. Atau perpanjangan masa jabatan.

Itu gejala kecanduan yang pertama. Dan semakin menjadi jadi ketika Paman Gibran Rakabuming Raka, Anwar Usman sebagai ketua, turut serta dalam proses sampai mengeluarkan keputusan MK No.90 yang menegaskan tentang batas umur calon presiden dan atau wakil presiden. Dan pak Jokowi tak sedikitpun terganggu dengan kejanggalan yang terjadi.

Hari ini beberapa pihak pengadu didengarkan dasar aduannya oleh Majelis Kehormatan MK. Yang kasat mata adalah aduan pelanggaran kode etik. Tapi yang menjadi kabur adalah aduan pidananya yaitu nepotisme. Ini bisa berkepanjangan. Apakah Gibran akan lolos?

Baca Juga: Media Asing Soroti Dinasti Politik Indonesia, Gibran Rakabuming dan Kepanjangan Tangan Kekuasaan Jokowi

Kalau Gibran lolos, ada banyak kemungkinan bisa terjadi seperti demo besar besaran yang bisa berakhir rusuh. Jalan yang paling efektif adalah melalui hak angket DPR. Posisi PDIP dipertaruhkan dalam hal ini.

Karena tanpa itu, rakyat pemilih yang tak memahami duduk soal dengan baik karena latar pendidikan yang relatif terbatas akan salah memilih karena faktor Jokowi. Menurut LSI, Gibran masih di atas angin selama rakyat pemilih tak diberikan pencerahan yang baik dan benar. Artinya tetap ada peluang besar Gibran maju sebagai cawapres Prabowo dan menang.

Tokoh seperti Goenawan Mohamad dan Butet Kartaredjasa dan tokoh lainnya telah bersuara. Jokowi sudah pasti mendengarkan keluhan mereka.

Connie Rahakundini bahkan khawatir jangan sampai ada pergerakan, "Ingat kita memiliki latar belakang pergerakan. Jangan sampai rakyat jadi korban". Mendengarkan argumen Denny Indrayana ketika menjelaskan mengapa dia mengajukan gugatan ke MK itu sangat mencerahkan. Kita bisa paham bagaimana kekeliruan MK yang terjadi.

Apakah beberapa hari ke depan ini ada pernyataan pak Jokowi ataukah Gibran, kita tunggu. Kita lagi sedang mempertaruhkan tidak hanya negara hukum tetapi juga negara demokrasi. Mana yang kuat, akal sehat ataukah candu kekuasaan.

(Oleh: Alex Runggeary, pemerhati independen) ***

Berita Terkait