DECEMBER 9, 2022
Buku

Hendrajit: Perempuan Batu, Novel Karya Tariq Ali yang Memikat

image
Buku Perempuan Batu karya Tariq Ali

ORBITINDONESIA.COM - Tariq Ali, wartawan senior Pakistan, dan penulis tetap New Left Review, setidaknya pernah nulis dua novel cukup bagus dan memikat. Sholahudin al Ayubi, dan Perempuan Batu.

Kali ini saya cuma mau ulas sedikit novel Perempuan Batu. Sholahudin saya ulas lain kali.

Perempuan Batu, mengambil setting Turki pada masa Kekhalifahan Utsmani pada 1899, ketika Turki pada masa kekuasaan Sultan Hamid II sedang mengalami masa jelang keruntuhannya.

Baca Juga: Mengeksplorasi Sejarah Turki Utsmani dari Kabilah Ke Imperium Lewat Buku Muhammad Khulaif Ats-Tsunayyan

Menariknya novel karya Tariq Ali ini, suasana kebatinan masyarakat Turki berhasil dipotret secara tajam lewat sudut pandang yang unik, yaitu lewat Keluarga Besar Iskander Pasha, mantan pejabat tinggi dan orang kepercayaan Sultan.

Melalui Putra putri Iskander Pasha, yang bergelut di berbagai ragam profesi, maupun para anggota keluarga yang bekerja untuk keluarga besar Iskander Pasha, sang pengarang berhasil memotret gejolak batin dan kegalauan berbagai elemen masyarakat Turki menjelang meletusnya Perang Dunia I 1914-1918. Yang mana empat tahun setelah PD I, kekhalifahan Utsmani runtuh, dan berubah jadi republik.

Melalui gejolak batin putra putri Iskander Pasha yang mewakili sudut pandang beberapa elemen masyarakat Turki seperti militer, pengusaha, guru dan seniman-budayawan, ada keyakinan kuat bahwa keruntuhan kekhalifan hanya perkara waktu.

Baca Juga: The Lost Art of Scripture, Seni Membaca Kitab Suci yang Merupakan Karya Terbaru Karen Armstrong

Masalah yang menggelisahkan era itu adalah, ketika kekhalifatan runtuh, kekuatan baru apa yang akan muncul sebagai kekuatan baru.

Salah satu putra Iskander Pasha adalah seorang jenderal angkatan darat yang Turki yang tergabung dalam gerakan para perwira pembaharu yang dikenal dengan sebutan The Young Turk.

Putra Iskander lainnya yang jadi pengusaha, atau menantunya yang kebetukan warga Turki dari etnik Yunani, secara pas menggambarkan ketidakpedulian pada umumnya kaum kelas menengah Turki pada waktu itu.

Baca Juga: Khofifah Indar Parawansa Ajak Masyarakat Jawa Timur Semakin Budayakan Literasi dengan Aktif Baca Buku

Mehmed, kakak kandung Iskander, yang tentunya berasal dari satu generasi tua produk abad ke-19 yang sama, mewakili gambaran kelas menengah terpelajar Turki yang galau, antara kagum dan takjub pada perkembangan pesat modernisasi Eropa yang sekuler.

Namun pada saat yang sama enggan untuk meninggalkan kenikmatan dan hak2 istimewa lingkaran elit pemerintahan maupun sistem kerajaan yang sarat dengan budaya feodalisme.

Sebagai orang yang dididik secara barat, Iskander dan Mehmed kalau mengikuti kata hatinya, mengakui bahwa kekhalifahan sedang sekarat dan dalam jalan menuju keruntuhan.

Baca Juga: Kitab Al Hikam, Buku Tasawuf Tingkat Tinggi Karya Syekh Ibnu Atha’illah yang Tokoh Tarekat Syadziliyah

Namun sebagai wakil dari klas elit lingkar dekat Sultan, enggan untuk mengakui secara terang-terangan karena tidak mau ambil resiko, tapi juga menikmati hak-hak istimewanya.

Melalui salah satu karakter novel ini, Selim yang merupakan cucu dari salah seorang tukang cukur Iskander, selain mewakili generasi muda Turki di peralihan akhir abad 19 ke abad 20, mewakli sudut pandang yang pas untuk menyuarakan krisis Turki jelang keruntuhan Utsmani.

Seperti istilah dari Nelofer, putri Iskander yang juga jadi narator orang pertama, meggambarkan Selim ibarat orang yang berada di dalam sekaligus di luar budaya Turki.

Baca Juga: Ketika Sutradara Garin Nugroho Menulis Buku tentang Pemilu, Politik dan Pendidikan Warga Negara

Selim sejatinya mewakili gejolak batin seniman dan budayawan Turki yang mulai galau bahwa Turki terlepas ada masa pernah mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 16 dan 17.

Namun kemudian menyadari dan akhirnya menyesalkan, bahwa kejayaan militer Turki tidak disertai dengan kemajuan yang sama jayanya di bidang soft power seperti kebudayaan, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi,

Sekaligus juga galau pada dirinya sendiri, apakah Turki harus memutus ikatan dengan tradisi untuk jadi orang modern, atau tetap mengelola tradisi dan modernisasi secara seimbang.

Baca Juga: Buku Alam Semesta Sebelum Adam Alaihissalam, Karya Unik Ali Muhammad Ash-Shallabi

Tariq Ali, yang sejatinya adalah wartawan dulu baru novelis, sangat jeli dalam memilih angle ihwal gejolak batin dan pergolakan pemikiran berbagai komponen bangsa Turki jelang peralihan dari era kekhalifahan ke era republik.

Sepertinya Tariq Ali hendak menyampaikan pesan, bahwa terlalu sederhana jika keruntuhan Utsmani hanya dilihat semata-mata soal ingin meruntuhkan imperium Islam.

Melainkan ada krisis peradaban yang mematikan kreativitas dan inovasi di kalangan masyarakat, yang tentunya masyarakat Islam dengan sendirinya yang paling mengalami dampak yang amat merusak.

Baca Juga: Hendrajit: Pesan Terakhir Franz Kafka pada Sahabatnya Max Brod Tentang Pemusnahan Buku Karyanya

Terputusnya mata-rantai lingkaran keadilan dalam sistem kekhalifahan Ustmani itulah, yang sepertinya jadi pesan sentral Tariq. Dan Sultan Turki berikut lingkar inti kekuasaan istana sebagai pusat syaraf peradaban Turki, justru jadi sumber kemacetan dan stagnasi. Sehingga memutus mata-rantai lingkaran keadilan.

Melalui Nelofer, putri Iskander Pasha, Tariq berhasil memotret Turki dari sudut pandang orang Turki yang berada dari dalam dan dari luar budaya Turki.

Keren.

Baca Juga: Mohammad Agung Ridlo: Perlu Masukkan Penanggulangan Bencana ke Dalam Penataan Ruang untuk Kurangi Risiko

(Oleh: Hendrajit, penulis geopolitik) ***

Sumber: Akun FB Hendrajit

Berita Terkait