DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Pelajaran Dari Seorang Pejuang Tua

image
Bendera merah putih terpasang di jembatan Gentala Arasy.

ORBITINDONESIA - Seorang tua duduk di kursi tua berkata, “Hari ini angin menisik teras rumah. Di atas gemerisik atap, cahaya kuning pucat, tenang dan sengat. Bersinar-sinar melalui daun-daun. Suara-suara yang mendayu tepian bukit. Embusannya lembut membawa aroma bunga. Segar dengan embun yang jatuh. Ini hari jadi seluruh negeri.”

Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.

Seorang tua duduk di kursi tua berkata, “Dan di bawah jendela halaman rumah ini, berkilauan cahaya kehijauan seperti permadani. Kelompok bunga bermekaran. Kecipak ikan semarak di kolam. Kepak kupu-kupu mendebarkan dada.

Baca Juga: Liga Inggris: Sheffield United Jadi Tim Pertama yang Terdegradasi

Baca Juga: Jelang Tanding Lawan Persebaya Surabaya, PSS Sleman Dibayangi Rekor Buruk Bermain di Kandang

Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.

Seorang tua duduk di kursi tua berkata, “Oh, malam itu indah sekali, langit kesumba namun rawan menakutkan. Jari-jariku bergetar menyentuh pelatuk senapan tua. Dadaku meruang altar doa. Berdetak dan kebas mengucap segala doa dan duka merupa. Setiap kata mengetuk janji suci pada negeri, juga perjuangan diri.”

Baca Juga: Liga 1: Persib Bandung Pastikan Masuk ke Championship Series

Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.

Seorang tua duduk di kursi tua mulai berteriak, “Aku terbangun dalam kesakitan; wajah-wajah luka ada di semua mata. Datang berkerumun ribuan gugur bunga. Katanya mati satu tumbuh seribu. Tapi udara penuh bau darah dan mesiu, menuntut mati satu tumbuh beribu-ribu.”

Baca Juga: Enggan Penuhi Permintaan Shin Tae Yong, Persija Jakarta Hanya Lepas 5 Pemain untuk Bela Timnas Indonesia U19

Baca Juga: Megawati Sampaikan Surat Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan ke Mahkamah Konstitusi: Semoga MK Bukan Ketok Palu Godam

Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.

Seorang tua duduk di kursi tua mulai berteriak teramat kencang, “Aku tahu yang aku dengar, kita merdeka! Indonesia telah merdeka! Gema bahagia membilas duka buritan masa. Oh, merdeka milik siapa? Milik kalian semua. Tapi aku juga akan kibarkan benderaku di dalam hati—bendera hati tinggi-tinggi. Kemerdekaanku sendiri—merdeka sendiri sampai mati.”

Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.

Baca Juga: Presiden Jokowi Menikmati Libur Idulfitri Bersama Cucunya di Objek Wisata Satwa Deli Serdang

Seorang tua yang duduk di kursi tua tersenyum dan berbisik lirih, “Lihat, lihat itu, bendera yang berkibar di halaman rumah ini berusia 77 tahun,” jari tuanya menunjuk ke luar jendela melewatiku.

Baca Juga: Prediksi Susunan Pemain, Head to Head dan Tebak Skor PSS Sleman Melawan Persebaya Surabaya

Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum.
Kedua mata pejuang tua itu buta sejak 77 tahun yang lalu, ketika sebuah granat meledak di dekatnya.

Baca Juga: Todung Mulya Lubis: TPN Ganjar-Mahfud Minta Mahkamah Konstitusi Hadirkan Kapolri Dalam Sidang PHPU Pilpres

Dalam apa yang telah dikatakannya, aku belajar perihal negeri ini. Jauh lebih banyak, dari semua yang aku dapat sejak masa kanak-kanak.

- Mahesa Jenar
Yogya, 16 Agustus 2022***

Berita Terkait