DECEMBER 9, 2022
Kolom

Berthold Damshäuser: Pilpres 2024, Pandangan Seorang Pengamat dari Jerman

image
Berthold Damshäuser (foto: koleksi pribadi)

ORBITINDONESIA.COM - Saya penggila ironi yang serius. Maka tulisan ini selain mengandung pendapat dan pandangan saya yang serius, juga mungkin akan ditaburi dengan unsur ironi di sana-sini. Saya berharap bahwa baik pembaca yang memahami ironi maupun yang mencarinya dengan sia-sia, tidak akan merasa tersinggung oleh tulisan ini.

Awal Maret 2024, dua pekan usai pemilihan presiden di Indonesia yang membawa kemenangan mutlak bagi pasangan Prabowo-Gibran, kekecewaan masih merajalela di kubu yang kalah.

Di antara yang kecewa, cukup banyak pribadi dari elite intelektual dan akademisi Indonesia, yang dengan tegas menolak pasangan Prabowo-Gibran serta Presiden Joko Widodo yang mendukung pasangan itu.

Baca Juga: Pimpinan Tiga Majelis Partai Persatuan Pembangunan Dukung Langkah Politik DPP PPP Terkait Pemilu 2024

Suara-suara terkemuka dari kalangan intelektual-akademis itu memperingatkan bahwa demokrasi di Indonesia terancam, bahwa ada bahaya kembalinya “Orde Baru”, dan bahwa masa depan Indonesia mulai menggelap.

Suara-suara pesimis demikian telah terdengar jauh sebelum pilpres, disertai dengan rasa kecewa dan kesal terhadap presiden Jokowi, yang dianggap mencurangi demi membuka jalan untuk Prabowo dan putranya sendiri.

Keluhan-keluhan atas strategi dan tindakan Presiden juga telah disuarakan dengan penuh drama oleh seorang tokoh budaya Indonesia. Tokoh senior itu bahkan meneteskan air mata saat diwawancarai mengenai kekecewaannya.

Baca Juga: Mochamad Afifuddin: KPU Siapkan Strategi untuk Hadapi Gugatan Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi

Selama kampanye pilpres, terkadang tercipta kesan bahwa pemilihan itu adalah pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, di mana pasangan Prabowo-Gibran dan Jokowi digambarkan sebagai yang jahat. Sementara pasangan lain, terutama pasangan Ganjar-Mahfud dianggap sebagai yang baik.

Saya teringat pada Pilpres 2019, di mana persepsi serupa terdapat di kalangan intelektual dan akademisi, tentu juga di kalangan mereka yang disebut sebagai “aktivis”. Pada saat itu, Jokowi dianggap sebagai wakil kebaikan, sementara Prabowo dianggap wakil kejahatan dan ancaman bagi masa depan Indonesia.

Saya sendiri terpengaruh oleh pandangan demikian, nyaris punya pendapat yang sama. Saya pun tiba-tiba cukup pesimis terhadap masa depan (demokrasi) Indonesia,  seperti saya ungkapkan dalam sebuah wawancara di Deutsche Welle dengan mengatakan, bahwa “Indonesia is on the brink of disaster”.

Baca Juga: Peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa: Gugatan di MK Berlawanan dengan Logika Publik yang Menerima Hasil Pilpres 2024

Bayangkan, kejutan dan kekagetan saya ketika Jokowi (sang baik) memilih Prabowo (sang jahat) sebagai Menteri Pertahanan. Tak masuk akal. Tetapi, setelah saya merenungkan peristiwa itu secara mendalam, ia lambat laun memasuki juga akal saya.

Saya mulai melihat logikanya dan menyadari, bahwa pilpres atau pemilu di Indonesia bukan “pesta demokrasi” sejati. Tetapi ini lebih mirip teater topeng yang seru, di mana para calon seolah-olah bertarung dengan sengit, sementara rakyat diajak untuk menjadi aktor utama dalam menentukan nasib mereka sendiri. Sebenarnya itu semua cuma sandiwara, di mana rakyat dipertontonkan sebagai tokoh penting atau bahkan tokoh utama.

Saya juga mulai memahami bahwa hubungan antara para calon dalam pilpres di Indonesia sebenarnya didasarkan pada persahabatan berbentuk persekutuan antarkonco.

Baca Juga: Pengamat Politik Yusa Djuyandi: Perlu Siapkan Tiga Hal Agar e-Voting Dapat Diterapkan Dalam Pemilu dan PIlkada

Bagaimana tidak? Bukankah mereka semua sebagai elite politik adalah bagian dari oligarki? Ikut menguasai negara bersama dengan elite ekonomi atau mereka sendiri telah menjadi anggota elite politik dan elite ekonomi sekaligus.

Atau, sebagai anggota elite politik ingin juga menjadi anggota elite ekonomi, berarti mau menjadi kaya. Dan karena itu sebaiknya berkonco dengan sesamanya. Perilaku seperti itu sangat manusiawi, sangat lumrah.

Saya juga menyimpulkan sebagai berikut: Tindakan Jokowi, yaitu mengulurkan tangan dan mengangkat Prabowo sebagai menteri, adalah langkah politik yang bijaksana. Lebih baik menjadikan Prabowo sebagai konco sejati daripada mengambil risiko bahwa lawan politik dalam pilpres tadi menjadi musuh yang berbahaya.

Baca Juga: Risi Grisna Yurika: Program Guru Penggerak Pascapemilu

Karena pada dasarnya, ada kemungkinan bahwa lawan tadi, yaitu seseorang yang memiliki dana atau pendukung berdana, punya dukungan tertentu di kalangan TNI, tiba-tiba bermain api dan berusaha mempersulit atau bahkan menjatuhkan presiden. Misalnya, dengan memanfaatkan isu-isu agama, berkolaborasi dengan organisasi agama yang fanatik, lalu menggalang massa dalam demonstrasi besar-besaran.

Hal-hal seperti itu tentu akan merupakan ancaman bagi keamanan dan stabilitas negara. Bahkan berpotensi menimbulkan malapetaka nasional, di mana rakyat kecil akan menjadi korban pertama.

Maka, perilaku Jokowi, yang sesuai dengan perilaku umum elite politik Indonesia, sebenarnya adalah berkah bagi negara dan bangsa. Sistem per-konco-an yang terjadi di kalangan elite menjamin bahwa semuanya punya akses ke sumber-sumber kekayaan, dan itulah yang menjamin keamanan dan stabilitas.

Baca Juga: Pengamat Politik Kunto Adi Wibowo: Masyarakat Tak Boleh Terpecah Karena Konflik Elite Politik Usai Pemilu

Bayangkan, jika elite Indonesia kehilangan kekompakannya dan mulai bermusuhan, memobilisasi massa, saling memerangi. Hal itu dapat mengakibatkan kekacauan nasional, merusak perekonomian, seperti terjadi di berbagai negara di Afrika dan Amerika Selatan.

Dalam keadaan seperti itu, rakyat Indonesia akan menjadi korban terbesar, akan jauh lebih menderita daripada akibat ketidakadilan sosial dan masalah-masalah lain yang dihadapi saat ini.

Pemikiran ini telah terbentuk dalam diri saya sejak mengalami kejutan atas langkah Jokowi pada 2019. Setelah itu, saya harap, saya telah melepaskan naivitas politik dan tidak akan terkejut jika di masa depan terjadi hal serupa.

Baca Juga: Pengamat Politik Hendri Satrio: Anies Baswedan Jangan Turun Level dari Pilpres 2024 ke Pilgub DKI Jakarta

Misalnya, jika Gibran Rakabuming Raka, yang akan mendirikan partai baru dan mencalonkan diri sebagai presiden, memilih Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo sebagai calon wakilnya.  Atau memilih orang yang lebih tidak diduga, barangkali Ibu Megawati, supaya ada semacam koalisi antara partai barunya Gibran dan PDIP.

Atau, bahkan memilih ayahnya sendiri sebagai wakilnya dengan alasan yang sangat bisa dimengerti. Yaitu, ingin membahagiakan ayahnya, yang akhirnya kembali bisa menjadi presiden, karena seorang wakil presiden juga semacam presiden.

Lalu, bagaimana dengan demokrasi Indonesia? Terancamkah ia seperti yang dikhawatirkan oleh banyak cendekiawan dan akademisi? Dan apakah kita akan melihat munculnya "Orba" baru di Indonesia?  

Baca Juga: Todung Mulya Lubis: TPN Ganjar-Mahfud Minta Mahkamah Konstitusi Hadirkan Kapolri Dalam Sidang PHPU Pilpres

Jawaban saya: Mustahil, selama tidak ada peristiwa besar seperti perang atau krisis ekonomi parah yang diiringi krisis pangan, dan sebagainya, mirip dengan kondisi pada 1998 yang memungkinkan dan menyebabkan pergantian sistem.

Terlepas dari kenyataan bahwa perlu prasyarat utama untuk perubahan sistem (meninggalkan demokrasi atau menjauh dari bentuk demokrasi yang sekarang), ada dua alasan lain untuk kemustahilan itu:

Pertama, para elite politik dan ekonomi (oligarki) di Indonesia telah menerima bentuk demokrasi yang ada, telah menyesuaikan diri kepadanya, dan tidak merasa dirugikan olehnya, sehingga mereka tidak memiliki motivasi untuk mengubah sistem.  

Baca Juga: Ekonom Helmi Arman: Sengketa Pemilu Tak Pengaruhi Minat Investor Asing untuk Menanam Modal di Indonesia

Kedua, andai pun ada upaya demikian, akan digagalkan oleh masyarakat sipil yang telah berkembang menjadi sangat kuat. Ini seperti yang terbukti setiap hari oleh pers yang kritis, cendekiawan, akademisi, mahasiswa, aktivis, dan juga oleh masyarakat luas Indonesia.

Maka, demokrasi di Indonesia dalam keadaan aman, walau tidak bisa diabaikan kemungkinan akan ada upaya tertentu dari pemerintah untuk melemahkan atau “menggangu” demokrasi. Namun, dampak dari proses itu tidak akan terlalu berat. Menurut sejumlah pengamat kritis, proses demikian telah dimulai sejak beberapa tahun.

Sedikit komentar tambahan tentang suara yang begitu prihatin dan alarmis, sehubungan dengan “terancamnya” demokrasi di Indonesia: Terkadang terkesan, ada pihak yang lebih peduli dengan demokrasi daripada dengan rakyat (demos).

Baca Juga: Sabtu Ini, Mahkamah Konstitusi Mulai Rapat Permusyawaratan Hakim Usai Sidang PHPU Pilpres 2024

Sebagai pendukung demokrasi (karena tidak bisa membayangkan bentuk pemerintahan yang lebih baik), saya tidak setuju dengan anggapan bahwa kemunduran demokrasi secara pasti berarti penderitaan bagi rakyat.

Bahkan di negara yang tidak memiliki demokrasi sama sekali, rakyatnya belum tentu menderita. Mungkin rakyat di sana justru merasa nyaman, terutama jika situasi ekonomi membaik. Bukankah Republik Rakyat Tiongkok adalah bukti nyata?

Di samping itu, menggunakan istilah "demokrasi" tanpa definisi yang jelas sebenarnya kurang bermanfaat. Dan mereka yang sekarang merasa begitu kecewa dengan hasil pilpres di Indonesia seharusnya mengajukan proposal untuk mereformasi demokrasi di Indonesia.

Yakni, agar rakyat (demos) --yang mayoritas terdiri dari individu yang kurang berpendidikan, rentan terpengaruh dan gampang disesatkan-- tidak dibiarkan untuk membuat pilihan, yang oleh kaum elit yang terpelajar dan intelektual dianggap salah.

Barangkali dengan menghapus prinsip bahwa setiap suara memiliki bobot yang sama. Atau, menerapkan bentuk demokrasi di mana hak pilih hanya dimiliki oleh kaum terpelajar. Pokoknya, sebuah demokrasi yang menjamin bahwa calon terbaik di mata kaum itu yang dipilih, bukan calon yang mengadakan kampanye paling mahal dan canggih, atau mampu menyewa konsultan yang paling mahir.

Di atas, saya telah menyampaikan kritik yang cukup tajam, ironis, bahkan sinis, terhadap elite politik Indonesia. Juga kurang adil. Ketidakadilan penilaian saya menjadi jelas ketika kita melihat nama-nama presiden Indonesia (mulai dari Sukarno hingga Jokowi) dan mengamati perjalanan sejarah dari bangsa muda bernama Indonesia sejak 1945.

Sejarah itu merupakan kisah sukses yang gemilang, yang dapat mengisi ratusan buku. Tentu saja, kesuksesan itu relatif dan tingkat kesuksesan Indonesia hanya dapat diukur dengan membandingkannya dengan negara-negara muda lain di Global Selatan, di mana sebagian besar tidak seberuntung Indonesia.

Indonesia telah berhasil menjamin kesejahteraan penduduknya, yang jumlahnya telah berkembang dari sekitar 70 juta pada tahun 1945 menjadi sekitar 270 juta saat ini, dengan kondisi kehidupan yang semakin baik. Saya yakin bahwa semua tujuh Presiden Indonesia sejauh ini memiliki andil dalam menciptakan kisah sukses ini. Mereka semua punya jasa tertentu.

Saya tidak bisa memberikan bukti yang rinci di sini, namun saya percaya bahwa bangsa Indonesia cukup beruntung telah memiliki elite politik/pemimpin yang bertanggung jawab dan kadang-kadang brilian dalam posisinya sebagai presiden.

Semua presiden itu memang memiliki kelemahan, beberapa di antaranya bersifat otoriter dan haus kekuasaan. Namun, semuanya adalah patriot sejati, mencintai bangsa dan berkeinginan untuk mengabdi kepadanya, ingin dikenang sebagai pengabdi bangsa yang berhasil.

Tak lama lagi, Prabowo Subianto akan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia dan akan mulai menentukan nasib bangsa Indonesia. Prabowo adalah sosok menarik dan flamboyan dengan beragam sisi, dan, setidaknya bagi saya, sulit untuk dinilai secara utuh.

Pada kunjungan terakhir saya ke rumah almarhum mantan presiden Habibie di Jakarta, kalau tidak salah pada 2017, kami berbicara tentang otobiografi beliau yang berjudul "Detik-detik yang Menentukan". Bertolak dari buku itu, kami bicarakan juga peristiwa 23 Mei 1998, ketika Prabowo secara tiba-tiba mendatangi Habibie di Istana. Habibie memberikan berbagai komentar tentang Prabowo yang tidak terlalu positif.

Tetapi bagaimana pun, saya optimis dan yakin bahwa Prabowo pun akan sanggup menjadi bagian dari deretan panjang presiden Indonesia, yang bertindak secara bertanggung jawab dan berhasil mengabdi pada bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, saya juga mengandalkan penilaian Presiden Jokowi, yang mempercayai Prabowo dan karena itu telah mendukungnya menjadi presiden baru.

Saya juga optimis mengenai masa depan Indonesia. Apabila situasi internasional tetap stabil (tidak ada perang di Asia Timur, tidak ada krisis ekonomi global yang parah, tidak ada dampak fatal dari krisis iklim), Indonesia berpotensi mencapai tujuannya, terutama di bidang ekonomi.

Andai pun ketidakadilan sosial yang memalukan itu masih menjadi masalah, perkembangan ekonomi Indonesia akan memberikan manfaat bagi rakyat kecil. Sangat saya harapkan bahwa Indonesia di bawah kepimpinanan Prabowo Subianto akan berperan lebih aktif dalam menyelesaikan krisis ekologis global, sambil melindungi alam Indonesia yang begitu indah.

Selain itu, saya juga berharap bahwa sistem pendidikan di Indonesia akan terus diperbaiki, karena masa depan Indonesia sangat bergantung pada sumber daya manusia yang terdidik, terutama di bidang teknologi.

Satu hal yang pasti: semua bangsa, semua negara lebih dari sebelumnya menjadi bagian dari komunitas takdir. Masalah-masalah yang dihadapi umat manusia secara keseluruhan hanya dapat dipecahkan melalui kerjasama internasional.

Salah satu tantangan terbesar adalah bahaya besar yang ditimbulkan oleh pencapaian teknologi, khususnya senjata pemusnah massal yang dapat menghancurkan peradaban kita. Hal ini menjadi lebih mengkhawatirkan, di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat, seperti yang terjadi di Eropa, Timur Tengah, dan Asia Timur.

Dalam konteks ini, seorang presiden Indonesia tidak terlalu berdaya. Mengingat kompleksitas masalah-masalah global, makna dan dampak pemilihan presiden Indonesia menjadi relatif kecil.

Berthold Damshäuser,  akrab dipanggil “Pak Trum“, lahir 1957 di Wanne-Eickel, Jerman. Pada 1986 - 2023 mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn. Pemimpin redaksi Orientierungen, sebuah jurnal tentang kebudayaan-kebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke bahasa Indonesia dan puisi-puisi Indonesia ke bahasa Jerman. Bersama Agus R. Sarjono menjadi editor Seri Puisi Jerman yang terbit sejak 2003. Pada 2010, ia dipilih Kementerian Luar Negeri RI menjadi Presidential Friend of Indonesia. Pada 2014 dan 2015 menjadi anggota Komite Nasional Indonesia sebagai Tamu Kehormatan Pekan Raya Buku Frankfurt. Penulis esai dalam bahasa Indonesia yang terbit di Majalah Tempo, Jurnal Sajak, dan media lain. Bunga rampai tulisannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam buku Ini dan Itu Indonesia - Pandangan Seorang Jerman. Salah satu buku terbarunya berjudul Mythos Pancasila dan terbit di Jerman pada 2021. Anggota Satupena sejak 2023, tinggal di Bonn/Jerman.

Website: https://www.ioa.uni-bonn.de/soa/de/pers/personenseiten/berthold-damshaeuser/berthold-damshaeuser; Mail: damshaeuser@t-online.de ***

Berita Terkait