DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Pakar Kesehatan Bagikan Syarat Anak Dengan Autisme Bisa Belajar di Sekolah Inklusif, IQ Harus di Atas 70

image
Arsip foto - Guru memberikan materi pelajaran kepada siswa berkebutuhan khusus (ABK) dalam program sekolah inklusi di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Ma'arif, Keji, Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin, 19 Oktober 2015. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/ama/15)

ORBITINDONESIA.COM - Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dokter Hardiono D. Pusponegoro, membagikan beberapa syarat anak dengan autisme bisa belajar di sekolah inklusif.

Dalam sebuah diskusi tentang autisme di Jakarta, Kamis, 25 April 2024, Hardiono mengatakan, syarat pertama yang harus diperhatikan sebelum memasukkan anak dengan autisme ke sekolah inklusif ialah intelligence quotien (IQ), tingkat kecerdasan intelektual, di atas angka 70.

“Nomor satu, IQ dia mesti cukup untuk masuk ke sekolah inklusif, IQ-nya itu perlu di atas 70,” kata Hardiono, tentang persyaratan bagi anak dengan autisme.

Apabila IQ anak dengan autisme berada di bawah angka 70, maka dia bisa disebut sebagai disabilitas intelektual, yaitu fungsi adaptif anak berkurang yang bisa menyebabkan kesulitan bertemu atau berbaur dengan banyak orang.

Baca Juga: Dokter Anak Tegaskan, AMDK Galon Guna Ulang Tak Sebabkan Autisme

Kondisi tersebut membuat anak disarankan masuk ke sekolah khusus dibandingkan sekolah inklusif, supaya mendapat bimbingan dan materi belajar yang lebih tepat.

Syarat kedua yang dia sebutkan, yakni anak dengan autisme mempunyai perilaku baik sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan oleh sekolah. Misalnya, anak tidak berperilaku kasar dan memiliki kemauan belajar yang tinggi.

“Anak harus berperilaku bagus, bisa adaptasi dengan lingkungan. Tidak memukul, menggigit atau menusuk teman-temannya, ya. Kalau tidak, sekolah enggak ada yang mau menerima anak itu nanti,” kata Hardiono.

Baca Juga: Wakil Ketua KND Deka Kurniawan Paparkan Perbedaan Autisme dengan Hiperaktif Menurut Sumber Ahli

Anak dengan autisme diharapkan bisa berbicara dengan bahasa yang jelas meski hanya sedikit dan bisa berkomunikasi bersama teman-teman di sekolah agar pembelajaran dapat berjalan dengan lebih nyaman bagi kedua pihak.

Hardiono menekankan, sekolah tidak boleh mengabaikan atau memberikan perilaku yang tidak adil terhadap murid dengan kebutuhan khusus maupun autisme. Apabila ada kekurangan, para guru dapat dengan sabar menciptakan ruang belajar yang baik untuk anak-anak.

“Masuk sekolah itu seperti anak biasa saja. Kalau dia ada yang kurang, misal kayak anak sekarang nilai matematikanya kurang, guru bisa kasih mereka bantuan les, atau mungkin anaknya tiba-tiba mau jalan-jalan, dibawa saja keluar dulu main trampolin sebentar,” kata dia.

Baca Juga: Dokter Spesialis Anak Mesty Ariotedjo: Jaga Asupan Gula Anak Saat Libur Lebaran 2024

Sebagai bentuk pendampingan pada anak autisme maupun berkebutuhan khusus, dia tidak menyarankan sekolah untuk menggunakan konsep shadow teacher, yakni seorang guru yang selalu berada di sisi anak untuk menjaganya.

Dia khawatir apabila sekolah berlarut menerapkan shadow teacher, maka minat anak untuk belajar akan berkurang, demikian pula dengan guru yang memiliki kewajiban untuk mengajar.

“Hanya boleh di awal, kalau anak tidak bisa duduk diam di kelas boleh pakai shadow,” kata dia.

Baca Juga: Dokter Ngabila Salama Ungkap Dampak Buruk Akibat Konsumsi Gula Berlebihan Pada Bayi

Dalam kesempatan itu, Hardiono meminta setiap pihak untuk tidak membedakan sekolah inklusif maupun sekolah reguler. Menurut dia, semua tipe sekolah setara dan perlu memberikan pelayanan pendidikan yang baik bagi murid-muridnya. ***

Sumber: Antara

Berita Terkait