DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Penodaan/Penistaan Agama dan Kasus Holywings As Case Study

image
Pelanggaran Holywings yang viral (Foto Pikiran Rakyat)

Oleh: M. Jaya, S.H.,M.H., M.M. & Alungsyah, S.H.

ORBITINDONESIA - Pengantar

Promosi minuman keras (miras) gratis yang dilakukan Holywings kini ditangani oleh pihak Kepolisian dengan dugaan penodaan/penistaan agama. Atas kasus ini Polisi sudah menetapkan enam pegawai Holywings sebagai tersangka.

Sebelumnya, Holywings memberikan promosi berupa miras gratis bagi pengunjung yang memiliki nama Muhammad dan Maria. Unggahan promosi miras gratis itu awalnya diunggah akun Instargam @holywingsindonesia pada Kamis 23 Juni 2022.

Tulisan ini merupakan kajian yuridis dari perspektif Hukum pidana, apakah promosi yang dilakukan oleh Holywings tersebut memenuhi kualifikasi Tindak Pidana Penodaan/Penistaan agama, dan apa yang menjadi unsur-unsur Pasal-pasal yang disangkakan serta apakah manajemen dan owners (pemilik) Holywings dapat dijadikan Tersangka dan bagaimana pendapat Para Pakar Hukum tentang kasus tersebut.

Baca Juga: Merayakan Masa Anak-anak dengan A Day for Sandcastles

  1. Definisi Penodaan/Penistaan Agama

Dari aspek bahasa Indonesia Penodaan/Penistaan berasal dari kata nista. Kata nista memiliki arti yang sama dengan hina. Kata nista biasanya digunakan untuk merendahkan, menghinakan atau merendahkan sesuatu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya.

Pengertian penodaan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penodaan berarti menghinakan; merendahkan (derajat dan sebagainya).

Penistaan agama merupakan tindak penghinaan, penghujatan, atau ketidaksopanan terhadap tokoh-tokoh suci, artefak agama, adat istiadat, dan keyakinan suatu agama yang hanya didasarkan pada pendapat pribadi atau diluar kompetensinya.

Baca Juga: Representasi Kulit Hitam dalam Ruang Literasi

Sedangkan menurut Pultoni penistaan agama diartikan sebagai penentangan hal-hal yang dianggap suci atau yang tidak boleh diserang (tabu) yaitu simbol-simbol agama, pemimpin agama atau kitab suci agama.

Bentuk penodaan agama pada umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan terhadap agama-agama yang mapan.

  1. Tempat dan Pengaturan Penodaan/Penistaan Agama

Polres Metro Jakarta Selatan telah menetapkan enam orang karyawan Holywings sebagai tersangka. Keenam tersangka tersebut dijerat Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 UU RI No 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 156 atau pasal 156a KUHP.

Kemudian, Pasal 28 ayat 2 UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman hukuman paling tinggi 10 tahun penjara.

Baca Juga: Beli Hewan Kurban tidak Perlu Repot, Lewat Toko Online Ini Juga Bisa

Adapun Pasal-pasal tersebut diatas dengan uraian sebagai berikut:

  • Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana berbunyi:

(1)        Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

(2)        Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Baca Juga: Piala AFF U19: Indonesia Melawan Brunei Darussalam di Indosiar Malam Ini

Unsur-unsurnya:

  1. barang siapa,
  2. dengan menyiarkan,

Unsur ini merupakan unsur perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Penafsiran terhadap unsur ini dapat dilakukan dengan metode penafsiran yang pada umumnya digunakan terhadap kata atau kalimat dalam KUHP, di mana bentuk penafsiran yang dapat digunakan yaitu penafsiran menurut tata bahasa (gramatikal).

  1. berita atau pemberitahuan bohong,

Unsur ini merupakan unsur objektif dari tindak pidana, di mana objeknya yaitu berita atau pemberitahuan bohong.

Baca Juga: Orang yang Berkurban Idul Adha Didoakan oleh Malaikat Sampai Hari Kiamat

Berdasarkan keterangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat dikatakan bahwa menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong berarti memberitahukan kepada umum (melalui radio, surat kabar dsb) atau mengumumkan (berita dsb) setiap cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat; setiap kabar; setiap laporan; dan setiap pengumuman; yang isinya tidak sesuai dengan hal atau keadaan yang sebenarnya atau palsu.

  1. dengan sengaja
  2. menerbitkan keonaran dikalangan rakyat.

Menerbitkan keonaran dikalangan rakyat menunjukkan perbuatan menyiarkan berita bohong yang dilakukan pelaku harus menimbulkan akibat tertentu, yaitu akibat berupa terbitnya keonaran di kalangan rakyat.

Unsur ini menunjukkan bahwa Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 merupakan suatu delik dengan perumusan material atau delik material.

Baca Juga: Piala Presiden: Inilah Empat Tim di Semifinal dan Jadwal Pertandingannya

Yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat. Unsur ini yaitu menggunakan kata “dapat” menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, menunjukkan bahwa untuk delik Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak harus terbukti benar-benar dalam kenyataan telah terjadi keonaran di kalangan rakyat.

Keonaran di kalangan rakyat merupakan suatu kemungkinan atau suatu potensi yang dapat terjadi.

Bahasan terhadap Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 menunjukkan bahwa pasal ini memiliki cakupan yang dapat meliputi perbuatan menyiarkan berita/kabar bohong ataupun yang tidak sepenuhnya benar, yang dikenal sebagai hoaks.

  • Pasal 156 KUHP berbunyi:

“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Baca Juga: Piala Presiden: Depak PSM Makassar, Borneo FC ke Semifinal

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.”

  • Pasal 156a KUHP berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara selama lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

  1. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
  2. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Baca Juga: Mak Ganjar di Kalimantan Barat Deklarasi Dukung Ganjar Pranowo jadi Presiden 2024

Unsur-unsurnya:

Tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP tersebut di atas terdiri dari: a. Unsur subjektif yaitu dengan sengaja b. Unsur objektif yaitu di depan umum, mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Jika salah satu unsur sebagaimana yang dimaksudkan di atas itu ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus memberikan putusan bebas atau vrijspraak bagi pelaku.

Hal ini disebabkan karena unsur dengan sengaja atau opzet itu oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP.

Unsur objektif pertama dari tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 156a KUHP adalah di depan umum.

Baca Juga: Piala Presiden: Singkirkan Bhayangkara FC, PSIS Semarang Melaju ke Semifinal

Dengan dipakainya kata di depan umum dalam rumusan tindak pidana maka tidak berarti bahwa perasaan yang dikeluarkan pelaku atau perbuatan yang dilakukan pelaku selalu harus terjadi di tempat umum.

Melainkan cukup jika perasaan yang dikeluarkan pelaku itu dapat di dengar oleh publik, atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu dapat dilihat oleh publik.

Perasaan yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia itu dapat saja dikeluarkan oleh pelaku di suatu tempat umum, artinya suatu tempat yang dapat didatangi oleh setiap orang.

Akan tetapi jika perasaan yang ia keluarkan itu ternyata tidak didengar oleh publik, maka tindakannya itu bukan merupakan tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 156a KUHP.

Baca Juga: Tidak Perlu Bawa HP Android untuk Isi Bensin di SPBU Dengan MyPertamina

Unsur objektif kedua dari tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP adalah mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan.

Itu berarti bahwa perilaku yang terlarang dalam Pasal 156a KUHP itu dapat dilakukan oleh pelaku, baik dengan lisan maupun dengan tindakan.

Seterusnya, unsur objektif yang ketiga dari tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a huruf a KUHP adalah yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Yang dimaksud agama adalah Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu, Konghucu, dan aliran kepercayaan.

Baca Juga: Pengamat Malaysia: Indonesia Adalah Super Power Potensial yang Sedang Bangkit

  • Pasal 28 ayat 2 UU ITE berbunyi:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Maka dapat diuraikan unsur-unsur delik dalam pasal tersebut sebagai berikut:

-           Setiap orang

Unsur Setiap Orang. Kata “Setiap Orang” menunjukkan setiap individu atau orang yang merupakan subjek hukum yang mampu mempertanggungjawabkan setiap tindakannya secara hukum.

Baca Juga: Gus Gus Nusantara Deklarasi Dukung Ganjar Pranowo Jadi Presiden 2024

-           Kesalahan: dengan sengaja;

Kata “Dengan Sengaja” disini dimaksud dengan adanya niat terlebih dahulu dan sadar secara lahir dan batin dalam melakukan suatu tindakan.

Dalam hubungannya dengan unsur-unsur lain, sengaja artinya si pembuat menghendaki untuk menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, dan menghendaki atau setidaknya menyadari menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).

Si pembuat juga mengerti bahwa apa yang dilakukannya itu tidak dibenarkan.

Lebih lanjut menurut Memorie van Toelichting, kata “dengan sengaja” (opzettlijk) yang banyak dijumpai dalam pasal-pasal KUHP diartikan sama dengan willens en wetens yaitu sesuatu yang dikehendaki dan diketahui.

Baca Juga: Tidak Kelihatan Namun Meninggalkan Jejak

Ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan yaitu:

  1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)

Kesengajaan sebagai maksud yaitu bentuk kesengajaan yang menghendaki pelaku untuk mewujudkan suatu perbuatan, menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan suatu kewajiban hukum, dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu.

Sehingga pada saat seseorang melakukan tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dikehendakinya, menyadari bahwa akibat tersebut pasti atau mungkin dapat timbul karena tindakan yang telah dilakukan, orang dapat mengatakan bahwa orang tersebut mempunyai kesengajaan sebagai maksud.

Baca Juga: Meskipun Serangan Rusia ke Ukraina Tetap Berlangsung, Yenny Wahid Bela Misi Perdamaian Jokowi

  1. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet als zekerheldsbewustzijn)

Kesengajaan sebagai kepastian yaitu bentuk kesengajaan yang berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal manusia pada umumnya pasti terjadi dikarenakan dilakukannya suatu perbuatan tertentu dan terjadinya akibat tersebut tidak dapat dihindarkan.

Akibat yang timbul merupakan akibat lain dari tindakan yang dilakukannya bukan merupakan akibat yang dikehendaki.

  1. Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis)

Kesengajaan sebagai kemungkinan yaitu suatu kesadaran untuk melakukan perbuatan yang telah diketahuinya bahwa akibat lain yang mungkin akan timbul dari perbuatan itu yang tidak ia inginkan dari perbuatannya, namun si pembuat tidak membatalkan niat untuk melakukannya.

Baca Juga: Akun Twitter Ini Menghina Presiden Joko Widodo Sampai Tjahjo Kumolo

Dalam dolus ini dikenal teori “apa boleh buat” bahwa sesungguhnya akibat dari keadaan yang diketahui kemungkinan akan terjadi, tidak disetujui tetapi meskipun demikian, untuk mencapai apa yang dimaksud resiko akan timbulnya akibat atau disamping maksud itupun diterima.

Unsur Melawan Hukum: tanpa hak

Kata “Tanpa Hak” dimaksud tanpa memiliki kewenangan/ kekuasaan yang benar sebagai alasan dari perbuatannya.

Sifat melawan hukum dirumuskan dengan frasa “tanpa hak” bercorak dua, Objektif dan Subjektif.

Corak objektif ialah menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan.

Baca Juga: Piala Presiden, di Indosiar Sore Ini: PSIS Semarang Melawan Bhayangkara FC

Sementara bercorak subjektif terletak pada kesadaran si pembuat tentang menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA yang diformalkan dalam Undang-undang.

Interpretasi "Tanpa Hak" dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”), unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber.

‘Tanpa hak’ maksudnya tidak memiliki alas hukum yang sah untuk melakukan perbuatan yang dimaksud.

Alas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hukum yang lain.

Baca Juga: Piala AFF U19: Gagal kalahkan Vietnam, Indonesia di Peringkat 4 Klasemen

‘Tanpa hak’ juga mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan. Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Unsur Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).

Yakni tindakan memasang atau memperlihatkan perilaku, tindakan, berita, kabar maupun kata-kata yang mengandung unsur kebencian terhadap suatu kelompok tertentu baik itu berdasarkan suku, agama, ras maupun antargolongan (SARA) yang kemudian karena tindakan tersebut memicu konflik, amarah maupun rasa tersinggung dari kelompok tertentu yang dituju itu sendiri.

Baca Juga: Presiden Jokowi Diminta Selamatkan Wilayah Wadas Karena Bekas Markas Pangeran Diponegoro

Di sisi lain, persoalan SARA adalah merupakan persoalan kebangsaan yang sangat rentan untuk menimbulkan konflik. Indonesia sebagai bangsa yang memiliki tingkat heterogenitas yang cukup tinggi telah menjadikan “SARA” sebagai salah satu produk konflik yang sangat mudah tersulut.

Kesimpulan

  • Menurut hemat kami ada unsur kesengajaan (opzet) dalam promosi tersebut, karena mereka bisa mempergunakan nama-nama lain yang lazim tanpa menyinggung simbol agama-agama, dan pihak Holywings sering kali mempergunakan trik marketing yang sifatnya sensasional tetapi mereka terjerat dalam sensitivitas issue agama maupun simbol agama tertentu.
  • Apalagi marketing tersebut dilakukan pada media sosial resmi Holywings. Persoalan agama merupakan persoalan yang bersifat sensitif dan sakral, apalagi Islam dan Kristen/Katolik mempunyai penganut yang paling banyak di dunia maupun di Indonesia, sehingga penyelidikan dan penyidikan kasus ini harus dilaksanakan sampai ke tingkat yang paling tinggi.
  • Kasus ini tidak hanya menimbulkan implikasi agama, melainkan sosial dan kemasyarakatan.
  • Penyelidikan dan penyidikan dilakukan tidak hanya berhenti pada karyawan, tapi sampai ke level top manajemen dan pemegang saham dari kalangan manapun baik, Pengusaha, Pejabat, Selebritas, Pengacara dan lainnya, karena pada prinsipnya semua orang sama di depan hukum (equalty before the law).

Baca Juga: Serangan Beruntun ke Ukraina, Pesan Khusus dari Putin untuk Negara Barat

  • Bahkan Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra dalam keterangannya sebagaimana dimuat hukum.rmol.id yang pada intinya menyatakan bahwa polisi harus mengadili pengendali perusahaan atau dalam bahasa hukum directing mind di balik promo minuman beralkohol yang memancing reaksi umat itu.
  • Selain itu, Pakar Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan sebagaimana dimuat dalam kompas.tv, pada intinya juga menyatakan bahwa, tanggung jawab tidak hanya bisa dibebankan secara personal kepada pegawai tertentu yang melakukan kelalaian, tetapi juga kepada manajemen Holywings (perusahaan).
  • Dari pemaparan kami tersebut, pembuktian pelaku yang diduga melakukan penistaan/penodaan agama merupakan pembuktian yang sedehana yaitu dengan berdasarkan pada segala alat bukti baik itu Saksi, Ahli, Bukti Surat maupun Petunjuk diajukan dan diuji melalui suatu proses persidangan dan berdasarkan minimal 2 alat bukti disertai dengan keyakinan Hakim.
  • Majelis Hakim yang akan memutuskan apakah Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 184 sampai dengan Pasal 189 KUHAP. ***

Berita Terkait