Iran Disanksi, Israel Dibiarkan: Akhiri Standar Ganda Senjata Nuklir Timur Tengah
ORBITINDONESIA.COM - Dalam sebuah adegan film bertitel Oppenheimer yang dirilis tahun 2023, pernyataan seorang fisikawan Isidor Rabi mengingatkan bahwa bom nuklir dapat jatuh menimpa orang yang bersalah serta orang yang tidak bersalah.
Rabi (yang diperankan oleh David Krumholtz dalam film terbaik di ajang Academy Awards ke-96 itu) kemudian melanjutkan bahwa "Saya tidak ingin puncak dari tiga abad fisika (modern) berujung kepada senjata pemusnah massal".
Kata-kata fisikawan AS dalam film Oppenheimer itu betul-betul masih bergema secara urgen dengan kondisi saat ini, terutama dengan dunia yang tengah menantikan perundingan nuklir baru antara Iran dan tiga negara Eropa (Inggris, Jerman, Prancis), yang kemungkinan bakal digelar di Turki pada pekan ini.
Kementerian Luar Negeri Iran pada Senin, 21 Juli 2025 telah mengonfirmasi bahwa putaran baru perundingan nuklir antara Iran dan tiga negara Eropa akan diadakan di Istanbul, Turki, pada 25 Juli 2025.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Esmaeil Baghaei, dikutip kantor berita Turki Anadolu, mengumumkan dalam sebuah pernyataan bahwa Iran setuju untuk melanjutkan perundingan atas permintaan pihak-pihak Eropa yang terlibat dalam kesepakatan nuklir 2015. Kesepakatan nuklir 2015 tersebut secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Negosiasi nuklir tersebut sangat penting untuk mencegah eskalasi lebih lanjut di kawasan yang sudah bergejolak, di tengah kecemasan negara-negara Barat terhadap penelitian dan fasilitas nuklir Iran yang dinilai dapat mengarah pada persenjataan.
Padahal, selama ini tidak ada bukti yang kuat terkait kecemasan tersebut. Persepsi itu muncul lebih akibat ketidakpercayaan, ketegangan di masa lalu, serta persaingan regional yang melibatkan Israel dan Teluk.
Iran, penandatangan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), secara konsisten telah menyatakan bahwa program nuklirnya ditujukan untuk tujuan sipil dan bukan untuk pembuatan senjata nuklir.
Selama ini, Iran telah menjalani inspeksi ketat oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), yang terlepas dari tekanan politik, tidak pernah mengonfirmasi bahwa Iran sedang membangun senjata nuklir. Namun, Iran secara terus menerus menghadapi sanksi, sabotase, dan tuduhan terus-menerus tentang persenjataan nuklir, terutama dari dorongan negara-negara Barat.
Hulu ledak nuklir Israel
Secara kontras, meski Israel tidak pernah secara resmi mengonfirmasi atau menyangkal kepemilikan senjata nuklir, Negeri Zionis itu secara luas diyakini telah mengembangkan persenjataan nuklir rahasia pada akhir 1960-an.
Menurut data dari Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), Israel diperkirakan memiliki sekitar 80 hingga 90 hulu ledak nuklir. Informasi ini diperkuat lebih lanjut oleh Mordechai Vanunu, mantan teknisi nuklir Israel, yang membocorkan foto dan detail program Israel pada tahun 1986.
Tidak seperti Iran, Israel bukan penandatangan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan tidak mengizinkan inspeksi internasional terhadap fasilitas nuklirnya, serta mempertahankan kebijakan "ketidakjelasan nuklir" yang telah lama dilakukan rezim Zionis tersebut.
Langkah standar ganda ini tidak terhindarkan mengikis kepercayaan terhadap hukum internasional dan memperkuat persepsi tentang kemunafikan Barat, terutama di antara Global South atau negara-negara anggota Selatan Global.
Agar diplomasi berhasil, dan pelucutan senjata menjadi bermakna, aturan nuklir harus berlaku setara bagi semua negara, bukan hanya bagi mereka yang tidak memiliki sekutu yang kuat.
Padahal, membahas persenjataan Israel yang tidak dideklarasikan secara terbuka bukanlah tindakan permusuhan, melainkan langkah penting menuju Timur Tengah yang adil dan aman, dengan tidak ada negara yang kebal terhadap akuntabilitas.
Apalagi, Timur Tengah selama ini dikenal sebagai salah satu kawasan paling bergejolak di dunia karena kerap dilanda perang, perpecahan sektarian, dan persaingan yang mengakar secara lintas generasi.
Dalam lingkungan yang memiliki kondisi yang mengarah kepada ketegangan regional seperti itu, bahkan persepsi tentang persenjataan nuklir pun dapat menimbulkan ketidakstabilan yang berbahaya.
Untuk itu, penerapan Kawasan Bebas Senjata Nuklir di Timteng merupakan sebuah kebijakan yang perlu diterapkan karena tidak hanya akan mengurangi risiko proliferasi dan konflik nuklir, tetapi juga menandakan komitmen kolektif regional terhadap perdamaian, kedaulatan, dan keamanan bersama.
Konsep Timteng sebagai Kawasan Bebas Senjata Nuklir bukanlah hal baru, karena hal ini telah didukung oleh negara-negara Liga Arab, berulang kali disahkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan diusulkan secara resmi sejak tahun 1974.
Tegakkan universalitas non-proliferasi
Namun, meskipun mendapat dukungan regional yang luas, konsep ini mandek, terutama karena adanya cadangan nuklir Israel yang tidak dideklarasikan dan kurangnya kerangka kerja terpadu untuk menegakkan non-proliferasi secara universal.
Untuk menyeimbangkan kembali kekuatan diplomasi, aktor-aktor regional seperti Mesir, Yordania, dan Turki yang telah menunjukkan pragmatisme diplomatik dan ikatan lintas ideologi, dapat berperan sebagai mediator. Iran, jika diperlakukan dengan adil, dipastikan dapat berpartisipasi dengan itikad baik.
Sementara itu, aktor-aktor global dari negara-negara berkembang, seperti anggota BRICS, Gerakan Non-Blok, dan ASEAN, dapat mendorong dialog inklusif yang berakar pada keadilan, alih-alih negosiasi yang berakar dari dinamika kekuatan hegemoni satu pihak.
Indonesia sendiri dapat berperan sebagai anggota di Gerakan Non-Blok (GNB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), untuk dapat antara lain menghidupkan kembali resolusi di Majelis Umum PBB dan Konferensi Peninjauan NPT yang menyerukan Zona Bebas Senjata Nuklir di Timur Tengah, dengan secara eksplisit menyebutkan persenjataan Israel yang tidak diakui.
Selain itu, Indonesia juga dapat mendorong langkah advokasi kepatuhan universal terhadap NPT; menuntut semua negara, termasuk Israel, untuk tunduk pada pengawasan IAEA.
Terakhir, dengan perannya di ASEAN dan G20, Indonesia juga dapat membangun koalisi dengan BRICS, Uni Afrika, dan negara-negara Amerika Latin untuk mendorong standar yang setara dalam diplomasi non-proliferasi, serta terus menyoroti bagaimana standar ganda yang berbahaya antara bagaimana Iran dan Israel diperlakukan.
Tentu saja, mewujudkan Zona Bebas Senjata Nuklir di Timteng pasti tidaklah mudah. Penolakan Israel untuk mengakui persenjataan nuklirnya, apalagi bergabung dengan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), tetap menjadi hambatan utama.
Ketidakpercayaan regional —terutama antara Iran, Israel, dan negara-negara Teluk Arab-- dinilai akan mempersulit negosiasi, apalagi kekuatan Barat dan negara-negara sekutunya seringkali memprioritaskan aliansi strategis daripada prinsip-prinsip pelucutan senjata, sehingga melemahkan tekanan global ke Israel.
Padahal, ketimpangan dalam penegakan kebijakan nuklir memperdalam rasa ketidakadilan, terutama di negara-negara berkembang. Tanpa transparansi bersama dan standar internasional yang konsisten, setiap seruan untuk pelucutan senjata berisiko dianggap politis, alih-alih berprinsip.
Perlu ditegaskan berbagai pihak bahwa prinsip keadilan menuntut agar aturan nuklir berlaku setara untuk semua negara. Dengan merangkul diplomasi yang berakar pada keadilan bukan ketakutan, aktor regional dan global dapat membantu meredakan dilema nuklir.
Jalan dalam mencapai hal tersebut memang dipastikan sangatlah sulit, tetapi perdamaian yang dibangun melalui kesetaraan dan akuntabilitas masih dapat diraih, sepadan dengan segala upaya untuk menggapainya.
(Oleh M Razi Rahman) ***