Silfester Matutina dan Tragedi Hukum Indonesia
Oleh TM Luthfi Yazid*
ORBITINDONESIA.COM - Hebat. Sakti.
Itulah kesan publik terhadap "terpidana" Silfester Matutina (SM) yang tak pernah menjalani "pidana" di penjara. Jika saja Roy Suryo, Said Didu, dan para aktivis lain tidak koar-koar di sosial media, kasus orang sakti tersebut terlupakan. Padahal jika seseorang sudah divonis penjara oleh pengadilan dan putusannya bersifat inkracht atau berkekuatan hukum tetap, maka kejaksaan mesti menjalankan eksekusi.
Seperti kita ketahui, kasus SM -- Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), kini ramai diperbincangkan publik. Kenapa? Karena SM pada 2019, telah divonis 1,5 tahun penjara.
Namun hingga kini, setelah 6 tahun vonis diketuk, SM bebas seperti halnya orang tak berdosa. Bahkan, selama "kebebasannya" SM diangkat menjadi komisaris sebuah BUMN pangan, PT Rajawali Nusantara Indonesia.
Padahal pasal 28 Ayat 1 UU No. 1/2025 tentang BUMN (perubahan atas UU No.19/2003), mensyaratkan seorang anggota komisaris diangkat berdasarkan pada integritas dan dedikasi. Apakah SM punya integritas dan dedikasi terhadap hukum? Apakah SM pantas menjadi komisaris sebuah BUMN?
Vonis terhadap SM terkait kasus fitnah kepada mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). SM dituduh memfitnah JK dalam orasinya, 15 Mei 2017. Saat itu, SM menyebut JK sebagai akar permasalahan bangsa. "Jangan kita dibenturkan dengan Presiden Joko Widodo. Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Jusuf Kalla," kata SM dalam orasi tadi.
"JK menggunakan isu rasis demi memenangkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta saat itu, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, dalam Pilkada DKI Jakarta. SM juga mengatakan bahwa JK berkuasa hanya demi kepentingan Pilpres 2019 dan kepentingan korupsi daerah kelahirannya. Kita miskin karena perbuatan orang seperti JK. Mereka korupsi, nepotisme, hanya perkaya keluarganya saja," lanjut SM.
Orasi itulah yang membuat SM dilaporkan ke Polri. Putra dari Jusuf Kalla, Solihin Kalla melaporkan SM pada 2017 terkait dugaan fitnah di atas. SM dituduh melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan fitnah melalui media sebagaimana tertuang dalam pasal 310 KUHP, 311 KUHP, serta pasal 27 dan 28 UU nomor 8 tahun 2011 tentang ITE.
Di pengadilan, SM divonis 1 tahun penjara pada 30 Juli 2018. Putusan itu diperkuat di tingkat banding yang dibacakan pada 29 Oktober 2018. Di tingkat kasasi, majelis hakim memperberat vonis Silfester menjadi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, 16 September 2019. Namun hingga saat ini putusan majelis hakim kasasi itu belum juga dieksekusi.
Anang Supriarna, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung menjelaskan, putusan pengadilan terhadap perkara SM sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Oleh sebab itu, tak ada alasan untuk menunda penahanan pimpinan Solmet -- organisasi pendukung Presiden Jokowi tadi. Tapi aneh. Sampai hari ini, kata Sekretaris Jenderal Peradi, Ade Darmawan -- belum ada surat resmi dari Kejari Jaksel yang menyatakan SM segera dieksekusi.
Kejadian ini menunjukkan betapa lemahnya aparat hukum kita sehingga tidak berdaya menghadapi seorang narapidana seperti SM.
Kenapa terjadi? Melihat posisi SM, patut diduga, ada "kekuasaan besar" yang melindungi SM. Apalagi bila dikaitkan dengan diangkatnya SM sebagai komisaris BUMN di mana saat itu statusnya masih terpidana.
Hebat bukan? Seorang terpidana diangkat jadi komisaris BUMN. Suatu hal yang tak mungkin terjadi bila hukum berjalan dengan benar. SM tidak hanya kebal hukum, bahkan pernah mengingatkan Kejaksaan bahwa dia sudah berdamai dengan Jusuf Kalla. Ini sebuah pembelaan yang mengada-ada dari seorang tidak paham hukum.
Pernyataan SM di atas, jelas bukan cara berpikir hukum yang benar alias groundless. Dalam kasus hukum pidana, kata Prof. Mahfud MD, SM tidak bermusuhan dan perlu berdamai dengan Jusuf Kalla. Musuh SM setelah dipidana pengadilan adalah negara. Bukan Jusuf Kalla.
Perlu diketahui, berdasarkan Surat Edaran MA No.1/2011, bahwa penyampaian salinan putusan kepada para pihak paling lambat 14 hari kerja sejak putusan dibacakan. Dalam kasus SM, sudah enam tahun salinan putusan tersebut dibiarkan.
Itulah sebabnya, publik menduga ada “legal engineering” di sana. Tak ada "good will" dari pihak pengacara negara/jaksa untuk mengeksekusi putusan kasasi MA tersebut. Jangan salahkan bila publik menuduh JPU telah melakukan obstruction of justice.
Begitulah tragedi hukum di Indonesia. Hukum dipermainkan kekuasaan. Akibatnya, hukum centang perenang. Publik mengalami distrust dan ini sangat berbahaya.
Kalau sudah begini, akan jadi apa negara Indonesia? Bukankah negara harus berjalan di atas rel hukum? Kita jadi ingat akan sebuah jungkapan: keadilan hukum harus ditegakkan meski langit akan runtuh. Fiat justitia ruat caelum.
Salam Justitia Omnibus!
*TM Luthfi Yazid, praktisi dan pengamat hukum. ***