Global Warming dan Gagalnya Panen Padi di Jepang
Oleh Dr. Ir. Nyoto Santoso
ORBITINDONESIA.COM - Panas menyengat! Itulah suhu udara di Jepang Agustus 2025. Suhu udara di Negeri Sakura kini tengah mencetak rekor tertinggi.
Kondisi ini, berpotensi memangkas produksi padi nasional, memicu ancaman kelangkaan beras dan lonjakan harga baru kebutuhan pangan. Publik pun meradang. Karena biaya hidup terus naik. Celakanya, meski harga beras naik, stok beras pun langka. Sehingga antrian orang beli beras di toko dan super market mengular.
Wilayah utama penghasil padi seperti Tohoku dan Hokuriku mencatat curah hujan terendah pada bulan Juli dalam 80 tahun terakhir. Sedangkan gelombang panas yang terjadi Agustus 2025 ini sangat dahsyat, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Suhu seakan membakar Tohuku dan Hokuriku -- daerah sentra padi di Jepang.
Kondisi cuaca panas ekstrem menggangu musim panen. Dan tahun ini, gagal panen makin besar di Jepang. Akibatnya harga beras pun melonjak tonggi. Naik hingga 50 persen. Bahkan 100 persen. Rakyat pun tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam mengatasi fenomena global warming tersebut.
“Akibat panas dan kekeringan, hampir bisa dipastikan hasil panen dan volume distribusi akan menurun,” kata Kazunuki Ohizumi, profesor emeritus dari Universitas Miyagi yang mengkhususkan diri dalam kebijakan pertanian, mengenai musim panen tahun ini.
Akankah Jepang akan mengalami krisis nasional karena langkanya beras akibat naiknya suhu udara tersebut? Yang jelas, Jepang kini tengah merasakan dahsyatnya global warming. Udara makin panas, tumbuhan mengering, dan tanah merekah. Tak hanya beras, bahan makanan lain pun seperti sayuran dan buah-buahan makin langka.
Kini, tak hanya Jepang yang terkena krisis pangan. Malaysia, Thailand, dan beberapa negara Asia Tenggara mulai terkena dampak global warming. Suhu udara panas, tanah mengering, dan tanaman pangan mati.
Melihat kondisi global warming yang makin menyengat ini, kita jadi teringat buku karya David Wallace-Wells yang berjudul "The Uninhabitable Earth: Life After Warming" (2019). Buku ini memperingatkan manusia: bahwa bumi akan tidak layak huni pada tahun 2100, jika global warming dibiarkan tanpa kendali. Ya, bumi akan menjadi tempat yang sangat sulit dihuni oleh manusia. Kenapa?
Tulis David WW, kematian akibat suhu udara yang panas ekstrem akan menjadi rutin, bukan pengecualian. Wilayah tropis bisa menjadi terlalu panas untuk dihuni manusia.
Dampaknya, ratusan juta orang terancam secara langsung oleh panas udara yang mematikan. Gagal panen, kelaparan, suhu tinggi, kekeringan, dan banjir akibat naiknya permukaan air laut akan menjadi fenomena rutin. Mencairnya es di Greenland dan Antartika menjadikan permukaan air laut naik. Kota pesisir seperti Jakarta, Miami, Dhaka, Shanghai akan terancam banjir permanen. Sedangkan pulau-pulau kecil hilang tertelan air laut.
Awal tahun 2025 ini, dunia dikejutkan oleh peristiwa kebakaran hutan dahsyat di Los Angeles (LA), California, AS. Kebakaran itu melibas 17.234 hektare hutan dan perumahan. Lima orang tewas. Selain menyebabkan korban jiwa, peristiwa tersebut mengakibatkan kerugian ekonomi yang luar biasa. Mencapai ratusan miliar dolar.
Kebakaran hutan yang terjadi di Los Angeles merupakan masalah yang terus-menerus mengancam wilayah tersebut. Terutama di musim panas dan gugur. Kebakaran ini bukan peristiwa yang pertama kali terjadi. Kebakaran yang cukup parah, sebelumnya pernah terjadi pada tahun 1960 di Angeles National Forest (ANF).
Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di Los Angeles tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga dipengaruhi oleh adanya aktivitas manusia. Lahan yang cukup luas disertai dengan jenis iklim kering dan angin kencang, mengakibatkan wilayah Los Angeles rentan terhadap kebakaran, terutama di musim panas. Joe Ten Eyck selaku koordinator program kebakaran hutan/antarmuka perkotaan untuk Asosiasi Pemadam Kebakaran Internasional, mengatakan bahwa faktor cuaca memiliki peran yang sangat penting dalam kebakaran hutan tersebut.
Kebakaran hutan di LA disebabkan oleh kekeringan berkepanjangan. Saat itu curah hujan tercatat kurang dari 10 persen dari curah hujan rata-rata. Kekeringan ini mengakibatkan tanaman yang ada di wilayah itu kering, sehingga mudah terbakar. Selanjutnya, faktor angin Santa Ana yang kering di musim gugur California, turut menurunkan kelembaban. Sekaligus mempercepat penyebaran api.
Secara geografis topografi Los Angeles merupakan wilayah berbukit yang menyebabkan api lebih cepat menyebar. Menurut BBC News, topografi lereng curam dapat menyebabkan api bergerak lebih cepat ke area yang lebih tinggi, meningkatkan risiko kerusakan yang lebih luas, dan proses evakuasi menjadi terhambat.
Kondisi seperti itu terdapat di Australia, Mediterania, dan Siberia. Kebakaran hutan besar sering terjadi di tiga wilayah luas tersebut.
Di sisi lain, akibat global warming yang makin meningkat, "fresh water drain" terjadi di sungai-sungai besar. Sungai Eufrat dan Tigris yang sangat terkenal di Irak, misalnya, sudah lama mengering. Air sungai Indus, Mekong, dan Nil sekarang mulai surut karena suplai dari gletser berkurang.
Di masa depan, konflik regional akan mudah meletus akibat rebutan air dari sungai-sungai besar yang melintasi berbagai negara. Di Asia Selatan, misalnya, konflik antara Pakistan dan India makin besar karena perebutan sumber air dari sungai-sungai besar di Hindustan.
David WW dalam "Uninhabitable Earth" memprediksi, jika global warming tak bisa diredam, dalam waktu dekat akan terjadi economic collapse (keruntuhan ekonomi).Kerugian akibat perubahan iklim ini bisa mencapai ribuan triliun dolar.
Negara mana yang dapat mengatasi 'giant crises' akibat global warming tersebut? Nyaris tak ada. Karena itu untuk mengatasinya, harus ada kerjasama internasional yang terpadu.
Jika pemanasan global mencapai 3–4°C pada 2100 dari kondisi sekarang, tulis David WW, gelombang panas ekstrem, kekeringan panjang, dan banjir pesisir akibat naiknya permukaan laut akan benar-benar terjadi. Memang manusia belum punah. Tapi milyaran manusia terpaksa harus pergi meninggalkan tempat tinggalnya yang sudah tak mungkin dihuni lagi. Celakanya, saat itu, banyak wilayah yang "uninhabitable" -- tak bisa ditempati manusia.
Jepang, kini sudah mulai merasakan dampak negatif global warming yang mengerikan. Panen pangan gagal. Tak lama lagi, negara-negara Asia Tenggara akan menyusul. Eropa dan Afrika kini mulai terpanggang suhu yang panas dan kering. Jika kondisi ini dibiarkan, jalan menuju kiamat besar makin lebar.
Karena itu, kita penduduk bumi harus segera ikut mengatasi global warming. Menanam pohon, menghemat air, dan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil adalah tiga cara efektif bisa mengurangi pengaruh global warming.
Pinjam istilah David Suzuki, act locally, think globally. Berbuatlah sesuatu yang berdampak pada pengurangan kenaikan suhu bumi di tempat kita. Hasilnya, dunia bisa merasakannya. Act locally. Think globally!
*Dr. Ir. Nyoto Santoso
Dosen Fakultas Kehutanan IPB University, Bogor. ***