Mencari Akar Demo Rusuh Agustus 2025

Oleh Dr. Abdul Aziz M.Ag.*

ORBITINDONESIA.COM - Demonstrasi yang rusuh di berbagai daerah pekan terakhir Agustus lalu sangat mencekam. Beberapa gedung perkantoran dan rumah beberapa tokoh politik di berbagai kota terbakar. Puluhan orang tewas dan terluka. 

Banyak orang bertanya  untuk apa demo rusuh itu? Untuk  menolak kenaikan gaji DPR? Untuk mempercepat UU Perampasan Aset? Untuk menyingkirkan koruptor? Hanya itu? 

Tampaknya, itu berlebihan. Bukankah semua tuntutan itu bisa disampaikan dengan demo damai? 

Itulah pertanyaan standar yang muncul dari orang melihat demo rusuh tanpa keterlibatan jiwa raganya terhadap kondisi Indonesia yang carut marut. Kondisi carut marut ekonomi yang menyengsarakan orang kecil itu, belakangan ini sulit dipecahkan. 

Dalam satu dekade terakhir, misalnya, pemerintah berutang ke berbagai lembaga keuangan nasional dan internasional, mencapai sekitar 10.000 trilyun rupiah. Utang tersebut, konon, untuk membangun infrastruktur seperti jalan tol, bendungan, bandara, dan lain-lain. Kelihatan bagus sih. Tapi sayang, tanpa perhitungan panjang.

Akibatnya banyak bangunan infrastruktur itu nirguna. Jalan tol yang lengang. Bendungan yang mangkrak tanpa irigasi penyaluran air yang memadai. Bandara yang sepi dan ditumbuhi semak belukar. Akibatnya, nilai tambah infrastruktur sebagai pembangkit ekonomi gagal. Selama satu dekade, pertumbuhan ekonomi kurang dari 5 persen. Itu sebuah pertumbuhan ekonomi yang tidak cukup untuk mengantisipasi pertambahan tenaga kerja. Akibatnya pengangguran pun naik. 

Di pihak lain, korupsi pun tumbuh cepat, seiring pembangunan infrastruktur. Menurut pengamat ekonomi Dr. Anthony Budiawan, dalam satu dekade rezim Jokowi, ekonomi Indonesia terus terpuruk -- berbanding terbalik dengan utang yang terus bertambah. Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) tersebut menyimpulkan pembangunan ekonomi yang ditopang utang brutal tersebut salah fatal. 

Ada dua kesalahan fatal, kata Anthony. Pertama, pembangunan infrastruktur dilakukan tanpa kajian matang ekonomi. Kedua, pembangunan infrastruktur tanpa pengawasan anggaran yang ketat, sehingga menimbulkan korupsi brutal. Menurut Anthony, korupsi dalam pembangunan infrastruktur di Era Jokowi mencapai lebih dari 35 persen. Sepertiga lebih dari anggarannya. Ini sudah keterlaluan. 

Lalu, kenapa kemerosotan ekonomi Indonesia begitu dahsyat di tengah pembangunan infrastruktur luar biasa itu? Ternyata, akar masalahnya bukan sekadar minimnya fisibiliti studi dan korupsi -- tapi lebih jauh lagi, menyangkut masalah keadilan. 

Ketiadaan keadilan ini -- pinjam Prof. Mahfud MD -- menjadikan ekonomi Indonesia kropos di dalam. Karena penegakan hukum minim, suap, dan korupsi merajalela seiring dengan hancurnya nilai-nilai keadilan -- bangunan ekonomi dan sosial politik pun runtuh. 

Dalam konteks inilah, Prof. Mahfud menilai ketidakadilan yang kini menggerogoti struktur ekonomi dan sosial adalah biang keladi dari demo rusuh tersebut. 

Mahfud menegaskan bahwa demonstrasi adalah hak konstitusional rakyat sebagai bentuk kritik terhadap pengelola pemerintahan atau lembaga politik. Namun dia menegaskan bahwa aksi yang telah melewati batas—kerusuhan brutal, korban jiwa, hingga penjarahan -- sudah mengancam stabilitas negara. Meski demikian, kita pun harus berpikir -- kenapa semua itu terjadi? 

Mahfud mengkritik adanya ketidak konsistenan dalam penegakan hukum: “Ada yang jalan, ada yang tidak. Ada yang hanya masalah sepele aja gak bisa diselesaikan, ada yang besar diumumkan tetapi kemudian tindak lanjutnya gak jelas.”  Kasus pagar laut, korupsi di Pertamina, dan pemidanaan Tom Lembong -- adalah tiga contoh dagelan hukum yang membuat rakyat sakit hati. Dalam tiga kasus tersebut, terlihat keadilan hukum dipermainkan oleh konspirasi politik dan oligarki. Menyedihkan. 

Jika kondisi ini dibiarkan, negara akan hancur. Filsuf Yunani Kuno  Lucius Calpurnius Piso Caesoninus yang hidup 43 tahun sebelum Masehi menyatakan "Fiat Justitia ruat caelum". Hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh. 

Dahsyatnya implikasi keadilan, Allah sampai mengingatkan umat manusia dalam surat Al-Mulk [67]: 3, bahwa alam semesta ini diciptakan dengan keadilan (keseimbangan). Sedemikian krusial keadilan dalam Islam sehingga pedagang yang memanipulasi timbangan sekecil apa pun, dosanya diibaratkan Sayyidina Ali sebagai orang yang menghancurkan tatanan alam. 

Di Indonesia, tragisnya, keadilan yang dasar-dasar hukumnya sudah tertulis dalam Pancasila dan UUD 45, kini porak poranda. Keadilan dan hukum jadi permainan. Rejim menjadikan hukum sebagai instrumen untuk menopang kekuasaannya yang korup.

Dampaknya keadilan sirna. Rakyat menderita. Kerusuhan meletus di mana-mana.

Dr. Abdul Aziz M.Ag.
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta. ***