Opini Syaefudin Simon: Tuhan dari Desa Kluncing

Oleh Syaefudin Simon*

ORBITINDONESIA.COM - Tuhan dari  mana? Ternyata dari Desa Kluncing, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi. Itulah yang tertulis di KTP Tuhan. 

Di Brazil, banyak orang bernama Jesus. Di Kalimantan ada orang  bernama Gusti Muhammad. Pahlawan kita 
yang terkenal bernama Pangeran Diponegoro. Jadi tak salah jika Tuhan "berada dalam sosok manusia" secara ril dan obyektif di Kluncing. 

Tuhan, Pangeran, Gusti dan sejumlah nama Asma’ul Husna yang disematkan dalam nama orang  -- semua itu, hakikatnya sama dengan nama Tuhan. Manusia memang gambaran Tuhan paling otentik. Karena itu filsuf dan penyair India Sir Muhammad Iqbal paling suka mengutip hadist Qudsi -- takhallaqu biakhlaqillah. Berakhlaqlah seperti akhlaq Allah. 

Apa itu akhlaq Allah yang paling utama? Menegakkan keadilan. 

Tuhan adalah sebuah sosok Yang Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Adil dan Maha Segalanya. Karena itu, namaTuhan hanya layak disandingkan dengan sosok penguasa atau simbol-simbol kekuasaan yang menguasai segalanya. Bukan hanya kekuasaan politik yang antah berantah --  sehingga orang seperti Jokowi kesengsem ingin mendirikan dinasti kekuasaan yang ril di atasnya. Tapi juga Tuhan menjelma dalam otoritarianisme domestik. 

Lihatlah masalah-masalah domestik yang kini ditundukkan "hukum-hukum Tuhan rekayasa penguasa". Atas nama Tuhan, misalnya,  perempuan Indonesia harus memakai  jilbab penutup aurat total, kecuali dua biji matanya. 

Di Padang dan Aceh, misalnya, perempuan tidak boleh berada di luar rumah di atas jam 11 malam. Itulah hukum Tuhan.

Dalam film Timbuktu yang meraih Palme d’Or Cannes 2014, diceritakan kehidupan masyarakat Kota Timbuktu, Mali,  Afrika Barat, setelah dikuasai kelompok Jihadis. Dalam cerita itu, ada peristiwa lucu. Ketika milisi Jihadis mengumumkan bahwa setiap perempuan harus menutup seluruh tubuhnya, termasuk tangan dan kaki, seorang perempuan pedagang ikan  marah. 

“Hai kamu ini apa-apaan, mosok aku yang penjual ikan harus memakai sarung tangan? Perintah Tuhan mana yang menyusahkan orang kecil sepertiku,” kata pedagang ikan ini. 

Milisi Jihadis tersebut diam. Bingung. “Tapi aku diperintahkan khalifah agar perempuan memakai sarung tangan bila berada di luar rumah,” katanya.

“Memangnya khalifah itu Tuhan,” kata perempuan itu. Ketika keduanya berdebat, datang lah seorang ulama ahlusunnah. “Wahai anak muda, Tuhan itu ada di dada atau di kepalamu?”. 

Lalu, kenapa anda membawa Kalashnikov dan mobil Toyota? Itukah hukumTuhan? Ia tak bisa menjawab. Sang Jihadis pun diam. Lalu pergi.

Selesai dari pasar ikan, sang Jihadis pergi ke masjid. Di tengah jalan, ia mendengar suara musik. Ia harus menghentikan langkahnya karena hukum syariah mengharamkan musik. 

Tapi, apa yang terjadi setelah sang jihadis mendekat ke sumber suara musik? Lagi-lagi dia bingung.Ternyata musik itu tengah mengiringi  lagu-lagu yang memuji Tuhan dan Nabi Muhammad. 

"Bagaimana mungkin menghentikan musik yang mengiringi lagu-lagu pujian untuk Tuhan dan Nabi Muhammad?" gumamnya.

Ia masih teringat kata-kata ulama tadi. Tuhan ada di kepala atau di dada?

Dalam kondisi bingung, sang Jihadis pun pergi. Kali ini, dia menyetop anak-anak muda yang sedang main bola.

“Main bola hukumnya haram,” katanya. Alasannya, awal mula permainan bola, bolanya adalah kepala Sayyidina Husein, cucu Rasulullah! 

Bagaimana perasaan anak-anak-muda Mali yang gila bola tiba-tiba diharamkan main bola oleh hukum Tuhan? Mereka pun tetap main bola tanpa bola. Seperti layaknya permainan sepak bola, mereka berebutan bola fiktif dan menendang bola ‘gaib’. 

Ramai dan menarik. Ketika sang jihadis datang, dia bingung. “Mana bolanya?” pikir dia. Tak ada.Anak-anak muda itu melakukan senam, jogging, dan lari-lari kecil seperti baru istirahat usai main bola.

Sang Jihadis bingung. “Tak ada yang harus dilarang.Tetap sesuai syariah,” katanya.

Abad 21, dunia sering bingung. Di tengah pesatnya kemajuan teknologi, tiba-tiba hukum syariah bermunculan di mana-mana. Entitas ISIS di Irak dan Suriah menerapkan hukum Islam. Di Somalia, kelompok Jihadis yang mengibarkan bendera ISIS, juga sangat galak menerapkan hukum Islam. 

Tapi sayang, tak mudah menerapkan hukum syariah Islam di Mali. Pada salat jamaah, misalnya, tak mudah membariskan makmum seperti di masjid-masjid Timur Tengah. Masjid di Mali bentuknya beda. Tiangnya rapat, banyak ruang, banyak kamar sehingga sulit mengadakan salat jamaah dengan jumlah besar. 

Barisan jamaah pun sulit untuk diluruskan sesuai perintah Rasul karena tersekat-sekat ruangan. Para Jihadis pun bingung. Mali memang tidak sama dengan Irak dan Suriah, katanya.

Dalam diskusi apresiasi film Timbuktu di Pisa Cafe, Jakarta belum lama ini, aktivis Elza Peldi Taher melihat kasus Mali dengan penerapan hukum syariahnya sangat menyusahkan masyarakat.  

“Saya orang Padang. Saya juga bingung kenapa semua murid sekolah di Kota Padang harus memakai jilbab, tak peduli apa agamanya,” kata Elza.

Ini hukum syari’ah model apa? Juga larangan wanita berada di jalan setelah jam 11 malam. Apakah itu hukum Islam? “Jiwa orang Padang itu bisnis. Pedagang makanan, khususnya perempuan, menyiapkan kebutuhan dagangnya di malam hari. 

Mereka ke pasar malam-malam dan pulang menjelang pagi,” ungkapnya. Gara-gara hukum syariah, ekonomi masyarakat Padang pun mundur. Di Bukit Tinggi, daerah Pariwisata, hotel-hotelnya sepi karena ada hukum syariah yang mengharuskan orang yang menginap di hotel, khususnya laki-laki dan perempuan, harus menunjukkan surat nikah. 

“Pariwisata di Bukit Tinggi anjlog karena hukum syariah, padahal 50 persen lebih penghasilan masyarakat Bukit Tinggi berasal dari pariwisata,” kata  Buya Elza.

Kimbuktu di Mali, Padang di Indonesia. Kedua kota ini terentang jarak puluhan ribu kilometer. Di Mali yang 90 persen  penduduknya Muslim, hukum syariah diterapkan kelompok sempalan Jihadis yang pro-ISIS, di Indonesia yang 90 persen muslim hukum syariah diterapkan pemerintah daerah tertentu. 

Pemerintah Indonesia anti-ISIS dan sampai sekarang sekuat tenaga membasmi pengikut ISIS, sementara Pemerintah Mali anti-ISIS tapi tak mampu mengusir ISIS. Namun aneh, nasib Timbuktu nyaris sama dengan Padang. 

Masyarakat Timbuktu berusaha melawannya, tapi masyarakat Padang tak berdaya. 

Kenapa terjadi? Jangan-jangan karena kebesaran namaTuhan sulit ditolak masyarakat muslim. Tuhan telah menjadi brand  yang amat berkuasa. Karena itu, memanfaatkan nama Tuhan untuk kepentingan politik dan kekuasaan amat efektif. Itulah problemnya bila nama Tuhan dipolitisir. 

Tapi mbok yao -- jangan mempolitisir nama Tuhan untuk kasus tewasnya Affan Kurniawan. Sampai mengundang tokoh-tokoh Islam untuk meredam amok massa. Demo rusuh berhari-hari itu tak ada kaitan dengan agama dan terorisme. Tapi menggugat ketimpangan sosial dan kezaliman yang terus meluas di negeri ini. 

Semoga reshuffle kabinet kali ini, benar-benar menghadirkan keadilan di bumi ibu pertiwi!

*Syaefudin Simon, penulis SATUPENA. ***