Bukan Sekadar Iklan, Ini Alasan Ilmiah AMDK Pilih Air Pegunungan
ORBITINDONESIA.COM – Air pegunungan kerap dijadikan klaim utama industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Bagi sebagian orang, hal ini dianggap sekadar strategi pemasaran. Namun, pakar hidrogeologi menegaskan ada alasan ilmiah mengapa industri besar memilih sumber air dari pegunungan dibanding air tanah biasa.
Profesor Lambok M. Hutasoit, pakar hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan bahwa tidak semua air tanah aman untuk dikonsumsi. Menurutnya, meski air tanah sering mengandung mineral, tidak semua mineral itu baik. “Salah satunya ada Kromium VI yang sangat beracun. Jadi, tidak sembarangan menggunakan air tanah untuk air minum. Harus dianalisis kimianya terlebih dahulu,” ujarnya.
Selain kandungan kimia, kualitas air juga sangat bergantung pada lapisan batuan. Dari berbagai jenis batuan, yang dianggap baik sebagai sumber air adalah batu pasir, kapur, dan gamping. Sementara itu, batu lumpur dinilai kurang baik karena mudah tercemar. “Batuan yang mengandung air bisa ditemukan di kedalaman dangkal maupun dalam. Tapi yang dangkal biasanya lebih rawan kontaminasi, baik dari toilet, selokan, maupun limbah lain,” jelas Lambok.
Hal senada disampaikan oleh Profesor Heru Hendrayana, ahli hidrogeologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menegaskan bahwa air tanah dangkal memang lebih rentan terpolusi. “Yang dangkal ini biasanya buruk kualitasnya karena bisa terkontaminasi septic tank, sampah, dan limbah rumah tangga. Sedangkan air tanah dalam relatif lebih higienis dan sehat,” katanya.
Inilah yang membuat industri AMDK besar lebih memilih air pegunungan yang berasal dari akuifer dalam. Menurut Heru, industri biasanya tidak sembarangan mengambil air, melainkan melibatkan penelitian mendalam oleh ahli hidrogeologi untuk memastikan sumbernya. “Mereka meneliti asal-usul air tanahnya agar benar-benar dari pegunungan, bukan asal ambil,” tambahnya.
Heru juga menjelaskan bahwa air pegunungan tidak selalu berarti air yang diambil persis di kaki gunung. Jarak puluhan kilometer pun masih bisa dihitung sebagai bagian dari sistem hidrogeologi pegunungan. “Contohnya Bogor banyak airnya berasal dari Gunung Salak. Di Jogja dan Klaten, sumber airnya dari Gunung Merapi. Jadi, tidak harus dekat dengan gunung, yang penting berasal dari akuifer dalam,” jelasnya.
Selain lebih aman dari polusi, air pegunungan umumnya memiliki kandungan mineral alami yang lebih kaya dibanding air tanah dangkal di perkotaan. Inilah yang menjadi salah satu nilai tambah air pegunungan untuk kebutuhan AMDK.
Namun, mendapatkan air pegunungan bukan perkara mudah. Industri AMDK besar harus berinvestasi besar dalam pengeboran sumur dalam. “Satu kali pengeboran bisa mencapai Rp2 miliar. Itu sebabnya hanya industri besar yang bisa melakukan,” ungkap Heru.
Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa klaim air pegunungan bukan sekadar jargon pemasaran. Industri AMDK melibatkan penelitian ilmiah, tenaga ahli hidrogeologi, dan investasi besar agar produk yang sampai ke tangan konsumen benar-benar aman, sehat, dan berkualitas.***