Mayat Para Jenderal di Lubang Buaya

Oleh KH Dr. Amidhan Shaberah*

ORBITINDONESIA.COM - 30 September 1965, Jakarta mencekam. Desingan peluru menghantam sejumlah petinggi militer Angkatan Darat. 

Mereka -- 7 orang perwira tinggi militer (Jenderal Ahmad Yani, Mayjen A. Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo, Letkol Pierre Andreas Tendean) --  tewas bersimbah darah. Diterjang peluru panas. 

Mayatnya dikubur di "Lubang Buaya" -- kecamatan Pondok Gede, dekat Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Eksekusi mati para perwira AD dengan kejam tanpa perikemanusiaan itu dilakukan anggota PKI atas perintah langsung pimpinan Central Committee (CC) PKI:  DN Aidit dan Kol. Untung.

Jenderal Ahmad Yani diteror dan ditembak langsung di rumahnya. Tanpa melalui interogasi dan proses hukum.

Dia meninggal saat itu juga, di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Berondongan peluru menyasar bukan hanya ke kaca-kaca jendela, tapi juga ke tubuh sang jenderal. 

Menurut Prof. Dr. Arif Budianto, ahli forensik yang ditugaskan mengotopsi mayat Pak Yani, percikan kaca masih banyak menancap di tubuh sang jenderal. 

Para Jenderal yang lain diculik dalam waktu yang hampir bersamaan. Tanggal 1 Oktober 1965, Mayjen Suprapto diculik. Ia dibawa ke suatu tempat tersembunyi, yang kemudian diketahui di daerah Lubang Buaya, Pondok Gede, Jaktim. 

Sejak dari tempat penculikan, kedua tangan Suprapto diikat ke depan. Menurut pengakuan Marsijem, anggota Gerwani yang bertugas di Lubang Buaya, dalam kondisi tangan terikat, Suprapto disiksa. Setelah itu, dia dibunuh dengan cara ditembak. Mereka yang menyiksa dan membunuh adalah para anggota Pemuda Rakyat dan anggota Gerwani. 

Nasib Mayjen MT Haryono lebih tragis. Menurut keterangan dokter yang memeriksa mayatnya, MT Haryono kemungkinan  ditembak berkali-kali. Pergelangan tangannya juga hancur.

Sementara Brigjen TNI Sutoyo yang juga diculik di rumahnya, di bawa ke Lubang Buaya dalam kondisi kepala mayat pecah karena tembakan senjata.

Salah seorang anggota Gerwani yang ikut menjadi pelaku penyiksaan di Lubang Buaya tanggal 1 Oktober 1965 -- mengaku disuruh atasannya menari-nari setengah telanjang mengelilingi para jenderal sambil bernyanyi dan melukai para perwira tinggi yang sudah tidak berdaya itu. Dia mengaku, mengetahui di dalam sumur sudah ada dua mayat di samping Soeprapto, Parman, dan Pierre Tendean. 

Dia juga mengaku melihat dengan  mata kepala sendiri penganiayaan dan pemotongan alat vital Pierre Tendean oleh Djamilah. Djamilah juga mencongkel mata Parman. Sementara Eni, anggota Gerwani lain, mengaku disuruh atasannya untuk mengiris-iris tubuh Mayjen S Parman dalam keadaan masih hidup.

Darsijem, anggota Gerwani yang lain mengaku, tiba di Lubang Buaya pada pagi hari tanggal 30 September 1965. Kesokan harinya, dia ikut melakukan penganiayaan dan penembakan terhadap Mayjen Suprapto. Pada saat itu, dia melihat dua orang yang lain sudah mati. Dia juga mengaku melihat korban berjaket coklat (Piere Tendean) ditembak oleh Cakra AURI dan Pemuda Rakyat. Sesudah mati, Pierre diseret orang berbaju hijau ke dalam sumur.

Henni, juga anggota Gerwani yang waktu itu ikut bertugas di Lubang Buaya, mengaku melihat dua tawanan datang, seorang berpakaian kimono dan sarung; satu lagi hanya berpakaian sarung. Dia mengaku ikut mengiris-iris tangan tawanan yang berpakaian sarung, kemudian dikasih air jeruk nipis. Henni juga mengaku menusuk perut Mayjen Suprapto hingga ususnya terburai keluar. 

Lalu Henni melihat Djamilah menembak Suprapto. Bersama dua orang kawannya, Henni mengaku mencongkel mata dua tawanan lalu membungkus bola mata tawanan yang memakai kimono dengan daun pisang. Henni juga melihat, ketika dimasukkan ke dalam sumur, tawanan yang mengenakan kimono dipotong tangannya hingga batas pundak, sedangkan yang mengenakan sarung dipotong kakinya hingga batas paha.

Satu lagi pengakuan anggota Gerwani bernama Endah. Dia datang ke Lubang Buaya pada tanggal 30 September 1965. Di antara pengakuannya, dia melihat ketiga tawanan, Pierre, Parman, dan Suprapto. Dia mendengar bunyi pertanyaan kepada Suprapto yang diikuti dengan pemukulan beramai-ramai dengan popor senapan" (Center for Information Analysis, 2004: 104).

Ketujuh orang yang tersebut di atas, mayatnya ditemukan dalam satu lubang yang berlokasi di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Luka-luka bekas sayatan dan tembakan, telah dibuktikan dengan visum etrepretium di RS. Gatot Subroto Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1965. 

Kejam nian PKI saat membunuh para perwira militer. Juga para ulama di Madiun, Kediri, Klaten, dan Solo. Banyak para ulama di daerah yang dibakar hidup hidup oleh PKI. 

Siapa yang menabur angin, maka ia akan menuai badai -- demikian peribahasa. 

Anehnya, kini muncul banyak buku yang menganggap PKI tidak bersalah atas peristiwa 30 September 1965 tersebut. PKI, katanya, adalah korban. Sampai-sampai  ada keturunan PKI  (Ribka Tjiptaning Proletariyati) dengan jumawa menulis buku -- "Aku Bangga Jadi Anak PKI". 

Wah! Ironi besar yang memutarbalikkan sejarah.

*KH Dr. Amidhan Shaberah

Ketua MUI 1995-2015/Komnas HAM 2002-2007***