Catatan Denny JA: Ketika "No Viral, No Justice"
Menjelaskan di Balik Aksi Protes dan Kerusuhan 2025 - Media Sosial Mengubah Aksi Protes
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - Kalimat itu kini menggema di lorong digital: No viral, no justice. Ia bukan lagi sekadar slogan satir, melainkan hukum sosial baru yang menentukan apakah tragedi akan disorot atau dilupakan.
Agustus 2025. Nama Affan Kurniawan mendadak meledak di media sosial. Pemuda 21 tahun itu meregang nyawa setelah motornya terhimpit dan tubuhnya dilindas mobil polisi saat pembubaran aksi di Jakarta.
Rekaman amatir warga menangkap detik mencekam: jeritan, tubuh Affan yang tergeletak, lalu suara lirih: “Tolong viralkan, biar ada keadilan.”
Video itu menyebar menjadi api yang menyambar padang ilalang yang kering. Dalam hitungan jam, jutaan orang menontonnya. Hashtag #JusticeForAffan melesat ke puncak trending topic.
Dari layar ponsel, amarah rakyat meluber ke jalan. Hanya dalam beberapa hari, 32 provinsi bergolak, 107 titik berubah menjadi aksi protes.
Tragedi Affan memperlihatkan paradoks zaman digital: seruan keadilan kini datang lebih dulu dari algoritma timeline ketimbang dari palu hakim di ruang sidang.
-000-
Jika abad ke-20 protes lahir dari pamflet, rapat bawah tanah, dan orasi jalanan, maka abad ke-21 menghadirkan panggung baru: media sosial.
Manuel Castells dalam Networks of Outrage and Hope (2012) menyingkap bagaimana dunia digital mengubah wajah perlawanan. Kemarahan yang dulu terbatas pada jalanan sempit, kini menjelma menjadi gelombang global.
Sebelum media sosial, demonstrasi bergantung pada organisasi formal, yang sering terbelenggu represi negara.
Kini, internet menciptakan jaringan cair, horizontal, dan inklusif. Twitter (X), Facebook, YouTube, hingga TikTok menjadi arena di mana amarah dipertemukan, diartikulasikan, lalu diubah menjadi aksi kolektif.
Castells mencontohkan Arab Spring, Indignados di Spanyol, hingga Occupy Wall Street di AS. Polanya serupa: peristiwa kecil yang viral memantik solidaritas massal lintas batas geografis, ideologi, bahkan kelas.
Viral di medsos menjadi oksigen protes; jaringan digital menjadi tubuhnya.
-000-
Kemarahan lahir dari ketidakadilan: korupsi, kesenjangan, represi. Namun dalam ekosistem digital, amarah itu tak berhenti pada putus asa.
Ia berubah menjadi harapan, karena rakyat bisa mengorganisir diri tanpa menunggu restu elit politik.
Media sosial, kata Castells, bukan sekadar alat komunikasi, melainkan ruang demokrasi baru. Kekuasaan yang dulu timpang kini terguncang: negara dan korporasi tak lagi sepenuhnya menguasai arus informasi.
Rakyat menemukan kebebasan dalam retweet, keberanian dalam share, dan solidaritas dalam hashtag.
-000-
Indonesia tak sendirian. Dunia telah menyaksikan:
• Arab Spring (2011): Facebook menjadi senjata revolusi, menggulingkan rezim otoriter.
• Hong Kong (2019): Telegram melahirkan leaderless movement—gerakan cair, cepat, sulit dipadamkan.
• Black Lives Matter (2020): Tagar #BlackLivesMatter menyalakan solidaritas lintas benua.
• Indonesia (2025): Budaya pop digital bercampur protes. Video Affan disertai musik viral, meme satir, hingga potongan stand-up comedy. Tawa getir justru memperkuat daya sebarnya.
Kesamaannya jelas: media sosial memberi rakyat kecil megafon global, kekuatan komunikasi yang sebelumnya hanya milik negara atau korporasi.
-000-
Namun viralitas menyimpan sisi gelap.Saat kerusuhan 2025, video lama dari Suriah dipalsukan sebagai kerusuhan di Jawa Barat; foto kecelakaan Filipina diedit seolah korban di Jakarta.
Hoaks melaju lebih cepat daripada klarifikasi. Emosi mendahului logika.
Fenomena ini universal. Di AS, Black Lives Matter juga dilanda manipulasi digital; di Timur Tengah, rezim melawan dengan propaganda daring.
Maka muncul pertanyaan getir: apakah media sosial memperkuat demokrasi, atau justru merusaknya? Jika kebenaran bisa diproduksi ulang dengan mudah, apa yang tersisa dari demokrasi tanpa fondasi fakta?
Bagi generasi digital, viral bukan hanya sarana advokasi—tetapi juga panggung eksistensi. Likes, views, shares kini kerap lebih penting daripada pasal yang diubah atau kebijakan yang direvisi.
Protes pun berisiko bergeser: dari perjuangan keadilan, menjadi pencarian validasi layaknya selebgram.
Media sosial membuat hidup terasa nyata hanya ketika dilihat orang lain; protes pun menjadi sekaligus perlawanan dan pertunjukan. Aksi protes juga menjadi sebuah show. Teater.
-000-
Dengan 220 juta pengguna internet, Indonesia salah satu masyarakat digital terbesar dunia. Setiap protes berpotensi menjadi letupan nasional dalam sekejap.
Pertanyaannya: apakah negara hanya akan merespons amarah di jalan, atau juga mendengar resonansi yang bergetar di layar ponsel?
Jika negara hanya mengandalkan represi, kerusuhan akan berulang. Sebaliknya, bila pemerintah masuk ke ruang digital dengan empati, transparansi, dan kecepatan, media sosial bisa menjadi jembatan, bukan bara.
Revolusi abad digital datang bukan dengan bunyi tembakan, melainkan dengan bunyi notifikasi.
-000-
Tragedi Affan Kurniawan menjadi saksi: media sosial kini adalah palu keadilan kedua. Ia bisa membangkitkan solidaritas, namun juga menyulut kerusuhan.
No viral, no justice adalah kenyataan getir sekaligus peringatan. Jika keadilan hanya sejauh algoritma mengizinkan, demokrasi tereduksi menjadi permainan trending topic.
Namun harapan tetap ada. Viralitas dapat diarahkan bukan hanya untuk memantik kerusuhan, melainkan juga membangun literasi, solidaritas, dan demokrasi yang matang.
Bayangkan Indonesia 2045: media sosial bukan sekadar medium protes, tetapi ruang bersama membentuk peradaban digital yang adil dan berempati.
Sejarah abad ke-21 akan ditulis bukan hanya oleh mereka yang turun ke jalan, tetapi juga oleh mereka yang berani menekan tombol share.*
Jakarta, 17 September 2025
Referensi
• Castells, Manuel. Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age. Polity Press, 2012.
• Tufekci, Zeynep. Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest. Yale University Press, 2017.
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/1CU4yUAoTR/?mibextid=wwXIfr ***