Ekonomi yang Dekat dengan Hidup: Menyimak Buku "Ekonomi, Enak Dibaca dan Perlu" Karya Syahrir

ORBITINDONESIA.COM-- Di antara buku ekonomi yang kadang dingin dan sulit dicerna, Ekonomi, Enak Dibaca dan Perlu hadir sebagai oase penyejuk. Ditulis oleh Syahrir—ekonom Indonesia kelahiran 1945, pernah meraih gelar Ph.D. di Harvard, dan dikenal sebagai penganalisis tajam desain pembangunan nasional—buku ini diterbitkan pada tahun 1994, saat Indonesia memasuki era Reformasi dan menghadapi dilema antara liberalisasi dan perlindungan ekonomi.

Mengumpulkan artikel-artikel yang sebelumnya tayang di majalah Tempo antara 1987 hingga 1994, buku ini merangkul persoalan makro maupun mikro ekonomi dengan bahasa hangat, jenaka, dan selalu terasa relevan dengan realitas sehari-hari pembaca.

Mengubah Ekonomi dari Data ke Kisah

Syahrir tak pernah menulis ekonomi sebagai angka semata. Ia mengubah cerita tentang utang luar negeri, pajak, atau deregulasi menjadi narasi yang terasa hidup. Misalnya ketika ia membedah persoalan utang eksternal Indonesia sebagai beban yang bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari—kolega di warung kopi, harga kebutuhan pokok, hingga kekhawatiran akan kebijakan masa depan.

Syahrir mampu menautkan keringat petani di Solo dengan fragmen laporan IMF, membuat pembaca menyadari bahwa ekonomi bukan ilmu di menara, tetapi denyut nadi kemiskinan dan kesejahteraan. Dengan demikian, buku ini menjadi jembatan antara jargon teknokratis dan pengalaman publik yang sederhana, namun mendesak untuk difahami.

Kritik Cerdas terhadap Kebijakan, tanpa Menyerang Tokoh

Membaca Syahrir, kita tidak menemukan gaya retorika partisan atau serangan ideologis. Sebaliknya, ia mengkritik kebijakan ekonomi berdasarkan logika kebutuhan nasional dan kesejahteraan rakyat. Ketika membahas deregulasi, misalnya, ia tidak buru-buru menolak liberalisasi, tetapi mempertanyakan urgensi dan timing-nya.

Ia menyajikan dilema: bagaimana membuka pasar agar efisien tanpa mengorbankan daya saing UMKM? Ia menyuarakan keadilan struktural, bukan sekadar retorika populis. Gaya ini terasa relatable di situasi Indonesia hari ini, saat kita terus menyeimbangkan perdebatan antara proteksi industri dalam negeri dan kebutuhan terdorong arus globalisasi digital.

Relevansi di Era Kini: Ekonomi yang Masih "Perlu"

Meski ditulis tiga dekade lalu, bab-bab dalam Ekonomi, Enak Dibaca dan Perlu tetap terasa segar ketika memandang tantangan dekade 2020-an: pandemi, inflasi, dan ketimpangan digital. Syahrir menekankan pentingnya kelembagaan kuat—bank sentral yang independen, kebijakan fiskal berkelanjutan, dan perlindungan sosial yang efektif—semua itu kini semakin dibutuhkan.

Pandemik memperlihatkan betapa rapuhnya rantai pasok dan kesenjangan kesehatan, sementara inflasi memukul daya beli yang dulu Syahrir ceritakan lewat kisah sehari-hari. Hal krusialnya, Syahrir mengingatkan bahwa kebijakan ekonomi harus selalu lekat dengan kepentingan manusia—bukan angka statistik semata.

Penutup

Ekonomi, Enak Dibaca dan Perlu bukan sekadar kumpulan esai ekonomi. Ia adalah undangan untuk menjadikan ekonomi sebagai ilmu sosial yang merangkul kehidupan, bukan terpisah dari itu. Syahrir berhasil menunjukkan bahwa menulis ekonomi yang enak dibaca bukan berarti mengabaikan kedalaman, melainkan memperkuat ketelitian dengan empati dan rasa humor.

Bagi generasi baru pembaca ekonomi Indonesia, buku ini adalah warisan penting: pengingat bahwa ekonomi yang baik selalu perlu—dan penulisnya selalu hadir sebagai teman memahami ekonomi dengan kepala dingin dan hati terbuka.***