IESR: Optimisme Prabowo Mencapai Emisi Nol Karbon Harus Tercermin di Dokumen Komitmen Iklim Indonesia
ORBITINDONESIA.COM - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai optimisme Presiden Prabowo Subianto untuk memenuhi target emisi nol karbon (Net Zero Emission/NZE) dalam Persetujuan Paris perlu tercermin pada dokumen komitmen iklim Indonesia atau Second Nationally Determined Contribution (SNDC).
Saat ini Pemerintah Indonesia tengah berada pada tahap akhir penyusunan Second NDC.
“IESR menilai target SNDC tersebut belum cukup ambisius, dimana target penurunan emisi hanya meningkat sedikit. Dibandingkan dengan Enhanced NDC (ENDC), target penurunan emisi tanpa syarat lebih rendah delapan persen, target bersyarat lebih rendah 9-17 persen di luar target sektor kehutanan dan penggunaan lahan,” kata Chief Executive Officer (CEO) IESR Fabby Tumiwa dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, 24 September 2025.
Artinya, masih ada kebutuhan penurunan emisi yang lebih besar untuk sejalan dengan jalur 1.5°C.
Fabby menyatakan, pemerintah perlu meningkatkan upaya penurunan emisi di sektor energi, alih-alih terlalu bergantung pada sektor kehutanan dan lahan. Untuk bisa selaras dengan target Persetujuan Paris, bauran energi terbarukan harus mencapai 40-45 persen di 2030 dan 55 persen pada 2035.
Walaupun baru-baru ini Presiden memerintahkan pengembangan 100 gigawatt (GW) PLTS dan baterai, menurutnya, rencana implementasinya belum jelas.
Selain itu PP Nomor 40/2025 tentang Kebijakan Energi Nasional yang baru diundangkan ternyata target bauran masih belum selaras dengan peta jalan 1,5°C.
Di samping menambah kapasitas energi terbarukan, kata dia, pemerintah perlu mulai merencanakan dan menerapkan pensiun PLTU batu bara dan merancang reformasi subsidi bahan bakar agar tercipta lapangan tanding yang setara bagi energi terbarukan.
“Kehadiran proyek 100 GW PLTS dan baterai juga akan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk merasakan langsung listrik terbarukan yang terjangkau, andal, dan ramah lingkungan. Ambisi ini harus tercakup dalam strategi penurunan emisi di SNDC,” tegas Fabby.
IESR menilai SNDC seharusnya menjadi cetak biru komitmen iklim Indonesia.
Presiden Prabowo dalam berbagai forum internasional menargetkan penghentian PLTU batu bara dalam 15 tahun, 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun, serta swasembada listrik. Namun dalam pidato di Sidang Majelis Umum PBB (23 September 2025), ia menegaskan target net zero emission (NZE) pada 2060, meski optimistis bisa lebih cepat.
Perbedaan ini, kata Fabby, menimbulkan kebingungan. Karena itu komitmen tersebut sebaiknya dituangkan dalam SNDC agar lebih kredibel dan dapat dicapai.
Untuk itu Fabby merinci empat rekomendasi bagi pemerintah. Pertama, menetapkan puncak emisi pada 2030 dan net zero pada 2050 atau lebih cepat di semua sektor ekonomi. Kedua, meninjau ulang target SNDC agar lebih ambisius dan adil, sesuai jalur 1,5°C.
Menurut Climate Action Tracker, emisi Indonesia sejalan dengan jalur tersebut berada di level 860 juta ton CO₂e pada 2030 dan 720 juta ton CO₂e pada 2035, tidak termasuk kehutanan. Target ini membutuhkan dukungan finansial dan teknis dari komunitas internasional.
Ketiga, pemerintah harus menyampaikan NDC ke UNFCCC paling lambat akhir September 2025 agar dapat ditinjau pada COP-30. Keempat, memperkuat diplomasi iklim di forum G20 dan BRICS, sekaligus mendukung agenda Presidensi Brazil di COP-30.
Sementara Koordinator Kebijakan Iklim IESR Delima Ramadhani menekankan perlunya menjadikan hasil Global Stocktake (GST) pertama sebagai kerangka penyusunan aksi iklim.
“Hal ini merupakan komponen penting dalam siklus peningkatan target (ambition cycle) Persetujuan Paris,” ujarnya.
Delima menambahkan GST pada COP28 telah menghasilkan target kunci kolektif untuk mencapai tujuan Paris. Karena itu, hasil tersebut sebaiknya menjadi dasar kebijakan Indonesia.
IESR juga merekomendasikan langkah konkret agar target iklim Indonesia lebih ambisius.
Pertama, pensiunkan PLTU tua sebesar 9 GW hingga 2035 sesuai regulasi transisi energi. Kedua, mereformasi subsidi bahan bakar fosil untuk mendorong efisiensi energi dan mengurangi impor BBM.
Ketiga, mempercepat efisiensi energi lewat standardisasi, sertifikasi, dan akses modal, sehingga industri dan bangunan bisa menekan emisi sekaligus menghemat biaya. Keempat, menindaklanjuti Global Methane Pledge untuk memangkas emisi metana global 30 persen pada 2030, sebagaimana telah disetujui Indonesia pada 2021.
Dalam pidatonya di PBB, Presiden Prabowo menegaskan optimisme Indonesia mencapai NZE lebih cepat dari 2060, dengan strategi reforestasi 12 juta hektare, penciptaan lapangan kerja hijau, serta peningkatan porsi energi terbarukan. Ia juga menargetkan Indonesia menjadi pusat solusi pangan, energi, dan ketahanan air.
IESR menekankan optimisme itu harus terwujud dalam dokumen SNDC.
“Pemerintah jangan melewatkan kesempatan untuk memperbaiki arah kebijakan, memperkuat kredibilitas target iklim, dan memastikan transisi energi berlangsung adil, inklusif, dan berkelanjutan,” kata Delima.***