Yani Nur Syamsu: Hijrah Polri

Oleh Yani Nur Syamsu*

ORBITINDONESIA.COM - Belum lama ini Komisaris Jenderal Polisi Chryshnanda Dwilaksana membuat sebuah pengakuan bahwa dosa terbesar Polri adalah proses rekruitmen yang jauh dari merit system.

Beberapa hari berikutnya di hadapan Kapolri dalam sebuah acara, Pak Rocky Gerung menyatakan bahwa reformasi Polri adalah penguatan supremasi nilai-nilai sipil dalam tubuh dan jiwa Kepolisian.

Selama “pikiran” dan tindakan masih jauh atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai sipil yang penuh keadaban maka selama itu pula Polri akan selalu gagal mereformasi dan memperbaiki diri.

Saya berpendapat bahwa reformasi insan Tribrata yang saat ini sedang dipersiapkan langsung oleh Presiden RI, Bapak H. Prabowo Subianto sendiri, hanya akan sukses bila dan hanya bila institusi pelindung dan pelayan masyarakat itu berhasil melakukan plot twist atau radical break dari menyelenggarakan pemolisian model De-Hoegengisasi menuju model Re-Hoegengisasi policing.

Selama ini tampak sekali bahwa Polri, entah di sengaja atau tidak, telah berusaha menjauhkan Hoegeng dari memori kesejarahan kepolisian. Nama Hoegeng jarang sekali disebut-sebut di Lembaga-lembaga Pendidikan dan dari ratusan atau mungkin malah ribuan bangunan gedung yang dimiliki, tidak ada satupun yang diberi nama Gedung Hoegeng.

Kepolisian Nasional Republik Indonesia mestinya sangat bersyukur pernah mempunyai pemimpin yang benar-benar merakyat, sangat sederhana, jujur, tegas, profesional dan terutama tidak memihak setiap kali menangani kasus besar maupun kecil.

Anggota Polri tidak perlu jauh-jauh mencari suri tauladan dalam pelaksanaan tugas. Jenderal Hoegeng memang telah tiada, tapi panutan itu tidak mesti riil serta hadir sekarang dan di sini.

Betapapun Nabi Muhammad SAW, Yesus Kristus dan Sidharta Gautama telah tiada ribuan tahun lamanya namun perangai/akhlak/unjuk kerja mereka terus diteladani hingga kini, tak lekang oleh waktu. Mengapa demikian ?! Karena suri tauladan mereka terus dikisahkan (Yudi Latif, 2014).

Tiga peristiwa besar berikut ini menggambarkan dengan sangat jelas bahwa Jenderal Hoegeng  (yang dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian oleh Jenderal Soeharto pada 15 Mei 1968) betul-betul berusaha membawa Polri menjadi penegak hukum yang tidak memihak, terbuka, profesional dan modern, meskipun tidak mendapatkan dukungan yang memadai baik dari atasannya maupun sebagian (besar?!) anggotanya sendiri.

Pada September 1970, seorang perempuan bernama Sumarijem mendatangi kantor Daerah Inspeksi Kepolisian 096 Yogyakarta. Penjual telor ayam berbadan ramping dan berkulit bersih itu melaporkan bahwa dirinya telah diperkosa oleh lima pemuda gondrong.

Namun polisi malah menjebloskannya ke penjara dan menuduhnya telah membuat laporan palsu. Di sidang pengadilan, hakim membebaskan “Sum-kuning” dari segala dakwaan.

Jenderal Hoegeng pun mencopot Dandin 096 yang dinilai tidak mampu menjadi polisi yang profesional dan tidak memihak. Banyak yang menilai kasus tersebut tidak pernah tuntas karena pelaku perkosaan sebenarnya adalah anak-anak penggede di Yogyakarta.

Sekitar sebulan berikutnya yakni pada Oktober 1970, terjadi kasus penembakan mahasiswa ITB atas nama Rene Coenrad. Terduga pelaku adalah oknum taruna Akademi Kepolisian Sukabumi.

Namun di pengadilan, yang diajukan sebagai terdakwa adalah Brigadir Dua Djani Maman Surjaman yang divonis 1 tahun 6 bulan. Ironisnya, sang taruna itu konon kabarnya berhasil merintis karier sampai menjadi perwira tinggi.

Sebagai Kapolri, sebenarnya Pak Hoegeng turun langsung menangani kasus. Mantan kepala jawatan imigrasi, Menteri Iuran Negara dan Menteri Sekretaris Kabinet ini begitu sampai di tanah air (beberapa hari sebelumnya mengikuti sidang Interpol di Brussel Belgia dan melakukan lawatan ke beberapa negeri di Eropa) langsung pergi ke Bandung, menemui Rektor ITB saat itu, Prof. Dr. Dody Tisnaamidjaja. Kepada Rektor dan para mahasiswa ITB, Hoegeng memberi jamainan, akan membawa kasus Rene Coenrad ke pengadilan.

Dalam pada itu, tahun 1968 perekonomian Indonesia masih terpuruk, ditandai oleh kemiskinan yang mendera rakyat di mana-mana. Namun ada pemandangan yang sangat kontras, di beberapa kota utama pulau Jawa berseliweran mobil-mobil build-up mewah.

Sang panglima angkatan kepolisian-pun segera menyelidikinya. Setelah melalui proses yang sangat panjang dan melelahkan, terenduslah sebuah nama Robby Tjahyadi, seorang pemuda ajaib menjelang 30 tahun.

Jebolan SMA itu berhasil menyelundupkan 228 mobil mewah, setelah sebelumnya sukses memasukkan tidak kurang 3.000 mobil mewah lainnya melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Tim inti penyelundupan hanya terdiri dari 3 orang, tetapi tindak kejahatan itu terdeteksi melibatkan puluhan pejabat tinggi sipil, polisi dan militer. Meski demikian Jenderal Hoegeng bertekad bulat untuk mengganyang semuanya tanpa pandang bulu (Aris Santoso dkk, 2009).

Namun ketidakberpihakan yang sangat kokoh dalam menangani setiap kasus inilah, yang diyakini oleh banyak pihak, sebagai alasan utama Hoegeng dipaksa menyerahkan tongkat komando pada tanggal 2 Oktober 1971.

Meskipun alasan penggantian adalah peremajaan Kapolri, namun pada waktu itu umur Jenderal Hoegeng baru 49 tahun, sedangkan penggantinya, Jenderal M.Hasan malah berumur lebih tua, 50 tahun.

*Ir.Yani Nur Syamsu, M.Sc, Kabidlabfor Polda Riau (2019-2022), penulis nuku “FORENSIK : Ilmu dan Praktik Scientific Crime Investigation di Indonesia & Dunia Internasional” (PT.Kanisius, Yogyakarta, 2024). ***