Kapal Induk dan Arah Proyeksi Kekuatan TNI AL: Dari Samudra Nusantara ke Lautan Indo-Pasifik

Oleh Satrio Arismunandar*

Rencana akuisisi kapal induk eks Italia oleh TNI Angkatan Laut bukan sekadar proyek ambisius atau simbol prestise. Di baliknya, ada dinamika strategis yang lebih dalam: pertanyaan tentang ke mana Indonesia ingin mengarahkan proyeksi kekuatan maritimnya di era kompetisi Indo-Pasifik yang semakin menegang.

Selama ini, kekuatan laut Indonesia dikenal lebih defensif—berbasis pada konsep sea denial dan pertahanan wilayah kepulauan. Namun, kepemilikan kapal induk menandai babak baru: kemampuan sea control dan proyeksi daya (power projection) di luar perairan nasional.

Ini bukan hanya soal menambah kapal besar di armada, tetapi soal menyiapkan Indonesia menjadi pemain maritim dengan daya jangkau regional yang nyata.

Dari Cakrawala Nusantara ke Indo-Pasifik

TNI AL tampaknya menyadari bahwa dinamika keamanan tidak lagi berhenti di Selat Malaka atau Laut Natuna Utara. Jalur perdagangan energi dari Timur Tengah ke Asia Timur, alur laut strategis di Samudra Hindia, hingga ketegangan Laut China Selatan—semuanya berpotongan di sekitar perairan Indonesia.

Dengan kapal induk, Indonesia memperoleh kemampuan untuk mengawal kepentingannya di jalur tersebut. Kapal ini dapat menjadi pusat kendali operasi udara-laut di wilayah yang jauh dari pangkalan darat, memperkuat kehadiran Indonesia di titik-titik strategis seperti perbatasan ZEE di Natuna, Laut Arafura, hingga Samudra Hindia bagian timur.

Proyeksi kekuatan ini sejalan dengan visi Poros Maritim Dunia yang selama ini lebih banyak menjadi jargon politik. Kapal induk menjadikannya konkrit: Indonesia bukan hanya jalur lintasan maritim, tapi juga penjaga stabilitas di lintasan itu.

Kekuatan Simbolik dan Diplomasi Maritim

Kapal induk juga berbicara dalam bahasa simbolik kekuasaan. Dalam diplomasi pertahanan, kehadiran sebuah carrier strike group di perairan tertentu bisa lebih “berbicara” daripada nota diplomatik. Ia menunjukkan kemampuan sekaligus niat: menjaga, mengawasi, dan jika perlu, menegakkan hukum di laut.

Bagi Indonesia, yang selama ini mengedepankan pendekatan nonblok dan “bebas-aktif”, kapal induk memberi ruang diplomasi yang lebih fleksibel. Ia bisa menjadi alat presence diplomacy: memperkuat kerja sama dengan negara sahabat, ikut dalam latihan multinasional, atau menjadi platform bantuan kemanusiaan di wilayah bencana tanpa harus “mengancam”.

Samudra Hindia: Panggung Baru TNI AL

Meski Laut Cina Selatan kerap menjadi fokus perhatian, proyeksi strategis yang lebih jauh tampaknya akan mengarah ke barat — Samudra Hindia.

Alasan geopolitiknya jelas: rute energi dunia, keamanan Selat Lombok dan Selat Sunda, serta keterlibatan Indonesia dalam Indian Ocean Rim Association (IORA) dan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP).

Samudra Hindia adalah wilayah di mana kekuatan besar — India, Tiongkok, AS, dan Australia — kini saling menakar posisi. Tanpa kemampuan proyeksi ke wilayah ini, Indonesia berisiko menjadi sekadar “penonton” di depan rumahnya sendiri. Kapal induk akan mengubah itu: menjadikan Indonesia pemain aktif dalam arsitektur keamanan Indo-Pasifik.

Tantangan: Logistik, SDM, dan Doktrin

Namun, kapal induk bukan sihir yang otomatis membuat angkatan laut bertransformasi. Ia menuntut ekosistem pendukung yang masif: pelabuhan dengan infrastruktur carrier-capable, sistem logistik bahan bakar dan amunisi, pesawat tempur berbasis kapal, hingga perubahan doktrin operasi gabungan.

Lebih dari itu, Indonesia perlu menjawab tantangan politis: bagaimana menjelaskan kepada publik dan dunia bahwa kehadiran kapal induk ini bukan alat agresi, melainkan instrumen stabilitas regional dan pertahanan maritim nasional.

Dari Laut Nusantara Menuju Laut Dunia

Akhirnya, kepemilikan kapal induk adalah cermin niat Indonesia untuk “naik kelas” dalam percaturan maritim global. Ia mengirim pesan bahwa TNI AL siap beroperasi tak hanya untuk mempertahankan pantai, tapi juga untuk memastikan keamanan laut dari segala bentuk ancaman lintas batas — dari bajak laut hingga perang hibrida di laut terbuka.

Kapal induk ini, bila dikelola dengan visi jangka panjang dan kesadaran geopolitik yang matang, bisa menjadi titik balik. Dari negeri kepulauan yang lama menatap laut sebagai batas, menuju kekuatan maritim yang memandang laut sebagai panggung.

Kapal induk bukan sekadar kapal besar, tapi cermin ambisi besar — bahwa Indonesia tak lagi sekadar berlayar di perairannya sendiri, melainkan siap menegakkan kehadiran di samudra yang lebih luas.

-ooo-

*Dr. Ir. Satrio Arismunandar, M.Si., MBA* adalah penulis buku dan wartawan senior. Saat ini menjabat Pemimpin Redaksi media online OrbitIndonesia.com dan majalah pertahanan/geopolitik/hubungan internasional ARMORY REBORN.

Ia saat ini menjadi Staf Ahli di Biro Pemberitaan Parlemen, Sekretariat Jenderal DPR RI. Juga, Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA (sejak Agustus 2021).

Ia pernah menjadi jurnalis di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-2001), Executive Producer di Trans TV (2002-2012), dan beberapa media lain.

Mantan aktivis mahasiswa 1980-an ini pernah menjadi salah satu pimpinan DPP SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) di era Orde Baru pada 1990-an. Ia ikut mendirikan dan lalu menjadi Sekjen AJI (Aliansi Jurnalis Independen) 1995-1997.

Ia lulus S1 dari Jurusan Elektro Fakultas Teknik UI (1989), S2 Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional UI (2000), S2 Executive MBA dari Asian Institute of Management (AIM), Filipina (2009), dan S3 Filsafat dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (2014). Disertasinya tentang perilaku korupsi elite politik di Indonesia dalam perspektif strategi kebudayaan.

Buku yang pernah ditulisnya, antara lain: Perilaku Korupsi Elite Politik di Indonesia: Perspektif Strategi Kebudayaan (2021); Lahirnya Angkatan Puisi Esai (2018); Hari-hari Rawan di Irak (2016); Mereka yang Takluk di Hadapan Korupsi (kumpulan puisi esai, 2015); Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Penggulingan Rezim Soeharto (2005); Megawati, Usaha Taklukkan Badai (co-writer, 1999); Di Bawah Langit Jerusalem (1995); Catatan Harian dari Baghdad (1991); Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia (Antologi bersama, 2018); Kapan Nobel Sastra Mampir ke Indonesia? (2022); Direktori Penulis Indonesia 2023 (2023).

Pernah mengajar sebagai dosen tak tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), IISIP, President University, Universitas Bakrie, Sampoerna University, Kwik Kian Gie School of Business, dan lain-lain.

Kontak/WA: 0812 8629 9061. E-mail: sawitriarismunandar@gmail.com ***