Nyoto Santoso: Nyamuk di Kutub Utara
Oleh Dr. Ir. Nyoto Santoso, Pemerhati Lingkungan/Dosen Fakultas Kehutanan IPB University, Bogor
ORBITINDONESIA.COM - Siapa sangka, di tanah beku yang dulu dianggap mustahil bagi kehidupan serangga, kini muncul makhluk kecil yang suaranya mengusik telinga manusia: nyamuk.
Ya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Islandia—negeri di lingkar Arktika—melaporkan keberadaan nyamuk hidup di wilayahnya. Kejadian yang sekilas tampak sepele ini sejatinya adalah alarm keras bagi planet bumi. Jika nyamuk sudah bisa hidup di Kutub Utara, maka dunia benar-benar sedang memanas.
Kisah ini bermula dari seorang warga bernama Bjorn Haltason di Kjos, Islandia. Ia tidak menyangka bahwa jebakan sederhana berupa benang yang dicelup larutan anggur dan gula akan menarik tamu tak diundang dari dunia tropis. Seekor lalat, pikirnya.
Tapi setelah diperiksa oleh ahli entomologi Matthias Alfreðsson dari Institut Sejarah Alam Islandia, ternyata yang hinggap adalah nyamuk sungguhan—spesies Culiseta annulata, jenis yang biasa hidup di Siberia hingga Afrika Utara, tapi tidak pernah sebelumnya ditemukan di Arktika.
“Nyamuk ini seharusnya mati membeku ketika sampai di sini,” kata Alfreðsson. “Tapi sekarang mereka tampaknya mampu bertahan hidup.” Sebuah kalimat sederhana yang menggetarkan.
Kutub Tak Lagi Beku
Musim panas 2025 di Islandia tercatat sebagai yang terpanas sepanjang sejarah. Suhu melonjak hingga 26,6 derajat Celsius, atau 10 derajat di atas rata-rata. Di Greenland, lapisan es setebal ratusan meter mulai mencair dengan laju tercepat dalam 12.000 tahun terakhir. Sementara di Himalaya, yang dijuluki “menara air Asia”, gletser surut begitu cepat hingga jutaan penduduk di India, Nepal, dan Bangladesh menghadapi ancaman kekeringan jangka panjang.
Dunia yang dulu terbagi jelas antara “kutub beku” dan “tropis panas” kini kabur batasnya. Perubahan iklim bukan sekadar teori ilmuwan atau debat di konferensi iklim PBB. Ia kini berwujud nyata—berdengung di telinga warga Islandia dalam bentuk seekor nyamuk.
Kehadiran Culiseta annulata mungkin tampak tidak berbahaya. Spesies ini memang tidak membawa virus malaria atau demam berdarah. Namun, keberadaannya menandakan bahwa suhu di wilayah kutub telah mencapai titik yang cukup hangat bagi serangga untuk berkembang biak. “Jika suhu terus naik, spesies lain yang lebih berbahaya bisa menyusul,” ujar Alfreðsson memperingatkan.
Penyebaran nyamuk di dunia ternyata bukan semata karena iklim, tapi juga mobilitas manusia. Sejak tahun 1987, dua entomolog Amerika Serikat, Paul Reiter dan Daniel Springer, menemukan bahwa ekspor-impor ban bekas menjadi jalur utama perpindahan jentik nyamuk antarnegara. Di sela ban yang lembap dan berlubang, jentik-jentik nyamuk bisa bertahan hidup berhari-hari.
Kini, di era globalisasi ekstrem, ban, kontainer, dan kapal kargo menjadi "Perahu Nuh" bagi serangga tropis. Mereka menumpang arus perdagangan dan tiba di tempat-tempat yang dulunya tidak terbayangkan—seperti Islandia.
Sekali lagi, bukan sekadar kebetulan. Tapi akibat langsung dari pola hidup manusia yang boros energi dan rakus sumber daya.
Di Italia, fenomena serupa terjadi. Media Ore News pada Juni 2025 melaporkan populasi nyamuk di negeri itu naik 41 persen dalam satu dekade terakhir. Bersama lonjakan itu, risiko penyebaran penyakit tropis meningkat 65 persen.
“Kita kini menghadapi risiko malaria di Eropa,” ujar Spinello Antinori, pakar penyakit menular dari Universitas Milan.
Sementara itu, laporan Asosiasi Pengendali Nyamuk Amerika Serikat (AMCA) menunjukkan bahwa setiap tahun sekitar 700 juta orang di dunia terinfeksi penyakit akibat gigitan nyamuk. Dari jumlah itu, satu juta di antaranya meninggal dunia. Angka ini setara dengan populasi satu kota besar lenyap setiap tahun, hanya karena serangga kecil yang kini bahkan bisa hidup di Kutub Utara.
Fenomena nyamuk di Islandia bukanlah anekdot lucu tentang perubahan cuaca. Ia adalah indikator ekologi yang menunjukkan bahwa sistem bumi sedang terguncang. Ketika nyamuk bisa berkembang biak di lintang tinggi, artinya siklus hidup mereka tidak lagi terhambat oleh musim dingin ekstrem.
Suhu yang menghangat juga membuka peluang bagi bakteri dan virus tropis untuk ikut bermigrasi. Dunia sedang menuju masa ketika penyakit-penyakit yang dulu hanya dikenal di Afrika atau Asia, kini bisa muncul di Skandinavia.
Bayangkan, jika dalam beberapa dekade ke depan, malaria ditemukan di Alaska atau demam berdarah mewabah di Kanada. Bukan tidak mungkin. Semua tanda-tandanya sudah ada.
Greenland, rumah bagi gletser raksasa, kini kehilangan lapisan es sebesar 250 miliar ton setiap tahun. Di Himalaya, para pendaki gunung menyaksikan sungai-sungai es surut drastis.
Puncak-puncak yang dulu berselimut putih kini menampakkan batuan hitam legam. Semua ini berarti satu hal: bumi sedang demam.
Dan seperti manusia yang sedang sakit, gejalanya muncul di mana-mana—banjir di satu sisi, kekeringan di sisi lain, badai tropis makin ganas, dan nyamuk mulai menggigit di Kutub Utara.
Kisah nyamuk di Islandia seharusnya membuat kita gelisah, bahkan merasa “gatal” secara moral. Karena ini bukan sekadar kisah seekor serangga yang tersesat, melainkan cermin dari dunia yang kehilangan keseimbangannya.
Jika kutub pun tak lagi dingin, ke mana lagi manusia bisa berlari dari panas yang kita ciptakan sendiri? Mungkin nanti, di masa depan, anak-anak kita tak perlu bepergian jauh untuk belajar tentang perubahan iklim. Mereka cukup membuka jendela di musim panas, mendengar dengungan nyamuk di negeri es, dan menyadari bahwa bumi benar-benar sedang berubah. Makin panas dan bergejolak.***