Ali Samudra: Zakat dan Makna Baru Fi Sabilillah
Oleh: Ali Samudra*
ORBITINDONESIA.COM - Zakat bukan hanya kewajiban agama yang berkaitan dengan harta, tetapi juga wujud kepedulian sosial yang menghubungkan orang yang mampu dengan mereka yang membutuhkan. Melalui zakat, kekayaan tidak berhenti di satu tangan, melainkan beredar dan memberi kehidupan bagi banyak orang. Setiap kali seorang mukmin menunaikannya, ia sebenarnya sedang berdoa melalui perbuatannya: “Ya Allah, jadikan hartaku ini bermanfaat di jalan-Mu.”
Di antara delapan golongan penerima zakat, ada satu kategori yang maknanya lentur dan terus berkembang: fi sabilillah — di jalan Allah. Istilah ini tidak menunjuk pada satu bentuk perjuangan semata. Jalan Allah bisa berupa perjuangan di medan dakwah, di ruang kelas pendidikan, di laboratorium riset, atau bahkan dalam kerja sederhana menjaga tempat ibadah agar tetap hidup dan bersih.
Zaman berubah, dan kompleksitas kehidupan umat Islam menuntut tafsir yang lebih luas. Karena itu, pemahaman terhadap fi sabilillah perlu diperbarui — agar zakat tidak berhenti sebagai ritual tahunan, melainkan menjadi instrumen peradaban.
Delapan Asnaf dan Prinsip Keadilan Distribusi
Allah SWT menetapkan delapan golongan penerima zakat dalam QS. At-Taubah [9]:60 — yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab (budak), gharim (orang berutang), fi sabilillah, dan ibnu sabil (musafir).
Namun Al-Qur’an tidak mewajibkan pembagian zakat kepada seluruh asnaf sekaligus. Imam Syafi‘i menganjurkan agar zakat dibagi kepada semua golongan bila memungkinkan, sedangkan Abu Hanifah, Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal memperbolehkan zakat diberikan kepada satu atau beberapa golongan saja jika itu lebih bermanfaat.
Ibn Qudāmah dalam Al-Mughnī (Dar al-Fikr, 1983) menegaskan: “Tidak wajib membagikan zakat kepada seluruh asnaf; boleh disalurkan kepada satu golongan saja jika kebutuhan mereka lebih mendesak.”
Dengan demikian, zakat bersifat selektif — diarahkan pada kelompok atau program yang paling membawa maslahat. Kaidah fikih menegaskan: “Al-‘ibratu bil-maslahah lā bil-‘adad” — yang diutamakan adalah kemaslahatan, bukan jumlah penerima.
Evolusi Makna Fi Sabilillah
Dalam tafsir klasik, fi sabilillah sering dimaknai sempit: untuk jihad fisik di jalan Allah. Namun seiring perjalanan sejarah Islam, para ulama membuka makna baru yang lebih sesuai dengan konteks sosial.
Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh az-Zakah (1969) menegaskan bahwa fi sabilillah mencakup seluruh aktivitas yang menegakkan agama Allah, termasuk pendidikan, dakwah, media Islam, dan pemberdayaan ekonomi umat.
Noor Achmad (Jurnal Ijaz BAZNAS, 2023) menyebut istilah ini bersifat multi-interpretatif, karena setiap masyarakat memiliki kebutuhan dan bentuk perjuangan yang berbeda.
Mohamad Jubri dkk. (IIUM Journal of Islamic Finance, 2024) menunjukkan bahwa di Malaysia, dana fi sabilillah digunakan untuk pendidikan tinggi, riset, dan pengembangan ekonomi.
Sementara Dar al-Ifta al-Misriyyah dalam Fatwa No. 2161 (2019) menegaskan bahwa zakat tidak digunakan untuk membangun masjid, tetapi boleh digunakan untuk kegiatan dakwah dan pendidikan Islam — keduanya dianggap perjuangan di jalan Allah.
Fi Sabilillah dalam Konteks Modern dan Fatwa MUI 2015
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa No. 001/MUNAS IX/2015 memperluas cakupan fi sabilillah dengan mempertimbangkan kebutuhan umat masa kini.
Fatwa tersebut menyatakan bahwa dana zakat dapat digunakan untuk:
1. Program dakwah, pendidikan, dan peningkatan kapasitas umat.
2. Kemaslahatan publik, seperti air bersih, sanitasi, dan fasilitas sosial.
3. Bantuan kemanusiaan dalam situasi darurat, selama kebutuhan asnaf utama telah terpenuhi.
Dengan syarat, penggunaannya harus disertai niat dan transparansi bahwa dana itu benar-benar untuk kemaslahatan yang fi sabilillah, bukan untuk kemewahan atau kepentingan pribadi.
Fatwa ini menandai paradigma baru: fi sabilillah bukan hanya milik pejuang di medan perang, tetapi juga milik pendidik, tenaga kesehatan, da‘i, peneliti, dan siapa pun yang bekerja di jalan Allah untuk membangun kemajuan umat.
Zakat sebagai Jalan Peradaban
Zakat adalah jembatan antara kekayaan dan keberkahan, antara kepemilikan pribadi dan kesejahteraan sosial. Ia tidak hanya membersihkan harta, tetapi juga menghidupkan nurani kemanusiaan. Zakat yang disalurkan untuk pendidikan, pemberdayaan, dan kesejahteraan masyarakat adalah bentuk nyata fi sabilillah masa kini — perjuangan di jalan ilmu, akhlak, dan keadilan. Kini jalan Allah terbentang luas: di ruang kelas yang melahirkan generasi beriman, di tangan para relawan sosial, di dunia digital tempat dakwah menyebar lintas batas. Siapa pun yang menegakkan nilai kebaikan sesungguhnya sedang berjalan di jalan Allah.
Maka, fi sabilillah bukan istilah yang membeku dalam kitab fikih, melainkan napas amal yang terus berdenyut di sepanjang zaman. Zakat yang menembus hati, menyalakan harapan, dan menumbuhkan ilmu — itulah zakat yang benar-benar hidup di jalan Allah.
Pondok Kelapa, 31 Oktober 2025
*Ali Samudra, Pembina Masjid Baitul Muhajirin.Tulisan ini merupakan pengantar Pengajian Ba'da Sholat Jum'at 31 Oktober 2025, Masjid Baitul Muhajirin - Pondok Kelapa - Jakarta Timur.