Patrisia A. Pantouw, Musisi Indie Disabilitas yang Mengubah Keterbatasan Menjadi Kekuatan

Di sudut kota Jakarta yang dipenuhi riuh pikuk langkah dan suara yang saling berkejaran, nada-nada sederhana mengalun bukan hanya sebagai penanda sebuah pertunjukan, tetapi juga sebagai ungkapan perjalanan hidup yang dijalani dengan kesabaran dan keberanian. Nada-nada itu lahir dari pengalaman, ketekunan, dan pilihan untuk tetap berkarya di tengah keterbatasan.

Di atas panggung kecil, duduk seorang perempuan dengan kursi roda, tampak tenang dan percaya diri. Namanya Patrisia A. Pantouw, yang lebih akrab disapa Sisi. Ia tidak datang untuk mengiba simpati. Ia datang untuk bercerita, dengan suara, dengan lirik, dan dengan keberanian.

Lahir di Jakarta pada 28 September 1984 dan kini berdomisili di Cileungsi, Bogor, Sisi adalah penyanyi musik indie sekaligus Sarjana Sastra (S.S) lulusan Universitas Terbuka. Identitasnya sebagai penyandang disabilitas daksa pengguna kursi roda bukanlah batas, melainkan bagian dari perjalanan yang membentuknya menjadi utuh.

Musik Sisi lahir dari perjalanan hidup yang panjang dan tidak selalu mudah. Di tengah keterbatasan fisik yang menuntut kesabaran dan keteguhan, ia memilih untuk tidak berhenti. Sisi terus melangkah dengan keyakinan bahwa hidup tetap layak dirayakan, dan karya adalah caranya merayakan kehidupan itu sendiri. Dua lagu ciptaannya, Berjuang dan PadaMu Tuhan, kini telah tersedia di berbagai platform digital, menjadi penanda perjalanan yang ia tempuh dengan konsisten.

Namun, Sisi tidak membatasi dirinya hanya pada satu peran. Selain sebagai penyanyi indie, ia juga menekuni berbagai bidang secara mandiri: wirausaha, freelance English translator, story teller dengan boneka, hingga freelance social media content. Kerja keras dan ketekunannya menorehkan berbagai pencapaian, di antaranya terpilih sebagai salah satu dari 100 Pahlawan Keluarga Frisian Flag, masuk 25 Besar Difabisa Astra, serta menjadi pemenang program Aku Mampu Berbisnis.

Sebagai penyanyi indie, Sisi sadar betul bahwa jalan yang ia pilih bukan jalan yang mudah. Ia memproduksi, memperkenalkan, dan memperjuangkan karyanya dengan tenaga dan sumber daya sendiri. Namun ada satu hal yang membuat langkahnya menjadi lebih bermakna: niat tulus untuk berbagi.

Seluruh keuntungan penjualan tiket showcase yang ia gelar didedikasikan untuk membantu para penyandang disabilitas melalui perusahaannya, PT Sarana Disabilitas Cemerlang, sebuah ruang usaha yang ia bangun sebagai bentuk keberlanjutan dari mimpi sekaligus kepedulian sosial.

Di titik inilah musik tidak lagi berhenti sebagai hiburan. Musik menjelma menjadi aksi.

Aksi itu diwujudkan melalui sebuah showcase yang akan digelar pada 17 Januari 2026, pukul 16.00–17.30 WIB, bertempat di Gedung Yayasan Kasih Bersaudara, Jalan Raden Saleh Raya No.16, Jakarta Pusat. Acara ini menjadi ruang bagi Sisi untuk memperkenalkan karya-karyanya sekaligus mengajak publik terlibat dalam upaya pemberdayaan penyandang disabilitas.

Showcase tersebut menjadi ruang perjumpaan antara karya dan empati, antara mimpi personal dan dampak sosial. Penonton tidak sekadar menyaksikan pertunjukan, tetapi turut menyelami kisah, tentang seseorang yang memilih untuk terus berkarya, bahkan ketika keadaan sering kali memberi alasan untuk berhenti.

Motto hidup Sisi sederhana, namun memiliki kedalaman makna: “Saya ingin berkarya, berbagi, dan berguna.” Tiga kata yang tidak lahir dari slogan, melainkan dari pengalaman hidup yang dijalani dengan kesadaran penuh. Berkarya agar hidup memiliki suara. Berbagi agar keberhasilan tidak berhenti pada diri sendiri. Dan berguna, agar kehadiran benar-benar membawa arti.

Di akhir pertunjukan, tepuk tangan bergema. Bukan hanya untuk lagu-lagu yang telah dinyanyikan, tetapi untuk perjalanan yang masih terus berlangsung. Sisi tidak menawarkan kisah heroik yang berlebihan. Ia hanya memperlihatkan satu hal penting: bahwa keterbatasan tidak pernah menghalangi seseorang untuk memberi dampak. Dari sebuah kursi roda, Sisi mengajarkan tentang keberanian untuk terus melaju. Dari musik yang jujur, ia mengingatkan bahwa setiap manusia berhak memiliki panggungnya sendiri.